Ada satu bagian dari hidupku yang sulit dijelaskan. Pun perasaan itu sengaja aku biarkan mencari jalannya sendiri untuk berlabuh. Bas, if home was a person ... mungkin kamu sama halnya denganku yang menyimpan banyak ketakutan; ketidakpastian dan masih banyak lagi. Rasanya aku ingin menertawakan diri sendiri kala itu; sebuah pengakuan tentang pulang. Dari banyaknya manusia, hanya sebuah angan ... pun semoga kamu tidak keberatan. Maksudku, tidak keberatan ketika aku pinjam namamu untuk menemaniku dalam hal apapun ... apa kau percaya? Atau sudah lama terlalu percaya diri? Ah tidak, Bas, aku tidak berharap banyak. Aku tahu berharap sama manusia tuh kecewa. Aku takut, setiap kali bertemu dengan manusia lain yang kebaikannya aku cintai dan aku rindukan ... aku takut terjebak dalam harapan yang tanpa kusadari aku rajut saban harinya.Ada rasa sakit yang begitu familiar bagi penderita Arrhenphobia—mungkin salah satu pemicunya adalah percaya bahwa ia pernah sebegitu jatuhnya terhadap seseorang yang ia inginkan. Untuk melindungi rasa sakit itu, Bas, aku berhenti berharap banyak sama seseorang yang memperlakukanku dengan begitu baik atau berbeda dari manusia kebanyakan. Dan aku mencoba melawan rasa sakit itu dengan terus percaya; ketika aku memiliki cinta—sesuatu yang kuberikan akan kembali padaku suatu saat nanti. Entah kapan.
If home was a person ... that's you. Seseorang seperti kamu. Lalu rindu-rindu yang ku maksud selama ini ... lebih dari rona Senja yang menghampirimu setiap sore, bukan sekedar biru langit yang tak pernah marah ketika langitnya bercumbu dengan awan kelabu atau temaram, bukan juga tentang goresan pena yang menghiasi rona wajahmu dalam diam. Rinduku tak sesederhana itu. Namun dibalik rindu yang terus mengangan, aku justru lebih senang menjadi bagian dari rindu itu sendiri. Pun ketika aku jatuh cinta, aku akan menjadi bagian dari cinta itu sendiri. Itu kenapa aku nggak pernah tega melihat seseorang yang ku sayangi terluka hatinya di depanku, sekalipun ia jauh. Aku pun sama tak teganya melihat orang yang ku kenali terluka hatinya; dalam diamnya mereka. Aku akan melakukan sesuatu hingga mereka merasa terselamatkan oleh kepedulianku. Setidaknya, mereka bisa tersenyum sekilas. Itu sudah lebih dari cukup.
Kalau kau tanya kenapa, aku sedang menciptakan suasana rumah untuk anak kecil dari dalam diriku yang terluka. Ibarat aku yang melihat langsung bagaimana luka itu terbentuk, kasih sayangku tahu bagaimana caranya bekerja. Tapi kadang, nggak ada yang bisa aku lakuin Bas selain diam sembari berdoa—berharap semoga mereka selalu baik perasaannya. Itu harapan paling berani yang aku inginkan dari seorang manusia. Ibarat angin yang mengirimkan pesan itu dariku; aku kembali diterpa angin yang sama untuk merasakan sebuah sensasi dimana aku memetik senyumku dari kuncup doaku tadi.
If home was a person ... dari sudut pandangku yang suka sekali berjalan kesana kemari menemukan rumah yang kataku ia paham kapan mengetuk pintu—aku pelan-pelan mengetuk pintu sendiri. Membuka lebar bagi luka-luka untuk sekelebat lewat atau menetap sebagai tamu untuk beberapa saat; ia ku pahami lekat-lekat meski bayanganmu menjadi sekat. Kamu selalu hadir bak jutaan kupu-kupu yang hinggap di taman bungaku, mengunjungi satu persatu nektar yang hendak kau hisap atau hanya sekedar sepersekian detik hinggap.
Kamu memang tidak pernah tahu bagaimana suaramu ku artikan sebagai lantunan teduh di atap-atap rumah atau di teras-teras, yang dengan sesederhana rapuhku menerjemahkan bahasamu bahwa aku harus lebih kuat setelah rapuh itu.
Kamu memang tidak pernah tahu bagaimana bayangan sosok mu adalah serangkaian ilusi yang meski samar, namun berkabar. Tentang sedih yang merangkum bahagia perihal menanti sua. Lalu tentang senyum yang merayap masuk, menawarkan peluk. Seperti tiada jarak yang terpaut, namamu melekat tajam dalam ingatan. Apakah kamu pernah hadir begitu saja tanpa kupertanyakan alasannya? Jawabannya, tidak. Ketika namamu seakan merapal sebuket janji untuk kantor pos yang kelak ku datangi, tentangmu mengantarkan pesanan bahagia lewat kurir kata-kata yang selalu mencoba mendatangkan dalih dengan meyakinkan perasanku di tengah porak-poranda.
'Jangan berlarut-larut bersedih ya? Bukan untuk tidak boleh, hanya saja aku khawatir tiada senyum indah yang menghiasi cantikmu sebab kau terbiasa menangis. Tatap saja langit di kotamu itu, aku akan ada di sana. Memandang netramu dari kejauhan untuk menyingkirkan rasa takutmu. Aku akan melambaikan tanganku untuk menyapamu, menawarkan pulih yang datang dengan ramah beserta warna pelanginya'.
Aku tidak mengerti, apakah tentangmu tak pernah sesederhana disulam menjadi puisi atau memang akan ada ramalan tentang kita yang menjadi nyata nanti?
Ah, lupakan. Sudah jelas itu hanya sekedar ekspektasi.
Tapi bilamana Tuhan merestui ... aku akan menjadi manusia bahagia untuk itu yang berusaha untuk tidak terjerumus menyombongkan diri. Sebab dirimu sudah banyak merajut aksara untuk perempuan yang dulu pernah merasa tidak layak.
Semoga Bas, takdir apapun yang memihak kepada kita ... aku ingin kau tabah dan tetap dicintai dengan hebat oleh seseorang yang tidak bisa menyakitimu saking besarnya rasa sayangnya ia kepadamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Baskara! [ HIATUS ] ✅
AléatoireCukup tersisa-akal sehat yang sering diburuk sangka. Tiba-tiba segalanya begitu kamu, maka goresan tinta yang sederhana ini bermula saat aku melepas rindu berlebih dan rasa cemas yang membelenggu. Tentangmu adalah rima puisi yang sama, sebagaimana...