Rinai

32 15 19
                                    

Namanya Rinai. Hanya kata. Pertama kali ia berkunjung mengetuk pintu hatiku dan perlahan-lahan meninggalkan jejak-jejak air di wajah saat musim semi entah yang ke berapa euforia merayakan senyumanku. Aku tak ingat betul kapan waktunya. Kala itu, aku tak lagi menangisi luka yang tertoreh dari seseorang yang ku sebut pembelajaran. Namun, dalam ketidaksengajaan yang sedikit pelik di suatu malam, aku menangis karenamu.

Aku tidak menyangka. Marah pun untuk apa? Waktuku tidak seluang itu untuk menghakimi suatu kesalahan. Bukankah kau dan aku juga manusia biasa? Iya ... aku memang sedih. Sedih sekali. Tak banyak kata-kata yang bisa ku tuliskan, hanya berpikir; bagian mana yang perlu diterima?

Mungkin, orang lain bilang aku bodoh. Tapi aku tidak semena-mena itu untuk menghakimi sesuatu, barangkali ada hal yang memang masih takut untuk sebuah kejelasan.  Barangkali pura-pura tidak tahu adalah untuk menyelamatkan diri. Barangkali tidak ikut campur urusanmu adalah sebuah kebijakan. Yang jelas, memaafkan adalah hal yang paling penting dalam hidup.

Terkamu, aku bisa menuntut penjelasan dari apa yang kau lakukan; tapi Tuhan yang Maha Tahu, Bas. Tuhan lebih tahu kehidupanmu dan aku bukan Tuhan.

Aku juga pernah khawatir kepadamu pada suatu hari, tentang kehilangan orang tersayang yang bisa kapan saja pergi dari kita. Waktu itu, entah bagaimana bisa perasanku terganggu hanya sebuah kabar tentang ayahmu. Umur memang memiliki masa tenggat kadaluarsanya. Dan mungkin aku pernah di posisi yang sama denganmu dalam konteks yang berbeda; untuk itu aku merasa takut bagaimana keadaanmu setelah kepergian orang-orang yang kamu sayangi. Aku khawatir senyummu tak lagi sama. Aku khawatir kedua bahumu yang selama ini dipugar tegar oleh tabah, menjadi sering lunglai seketika.

Bas, terima kasih. Waktu itu kau menghiburku dan memintaku untuk tidak terlalu khawatir. Untuk pertama kalinya sejak mengenalmu aku merasakan isakan tangismu yang lirih. Puisimu yang menyenandungkan pinta juga usahamu untuk lebih tegar lagi dalam episode selanjutnya.

Bas, aku pernah mengunjungi postingan tuamu di suatu kota. Aku tergugu pilu. Aksaramu mencabik senyumku. Entah kebentur apa kepalaku hingga bertanya, '𝑏𝑎𝑔𝑖𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑛𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑘𝑖𝑡, 𝐾𝑎𝑘?'

Aku tidak begitu baik mengenalmu, barangkali hanya terlalu peduli. Setiap goresan tinta yang bermakna sendu yang begitu rapi kau sembunyikan di bagian terdalammu, aku sedikit menemukan celahnya. Dari sanalah timbulnya pertanyaan sederhana yang mungkin kau akan bosan mendengarkan suaranya; '𝘒𝘢𝘬, 𝘬𝘢𝘶 𝘣𝘢𝘪𝘬-𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘯𝘪?'

Seiring berjalannya waktu, setiap menemukanmu pada rasa sakit, aku harap saat itu tidak ada manusia yang benar-benar berniat menyakitimu. Aku harap saat itu lukamu yang perih akan sembuh bersama waktu; bukan berharap disembuhkan dengan orang baru di hidupmu.

Bas, semoga pada tiap temaram yang kau habiskan juga pada remah-remah kantuk yang dipunguti di ujung pagi adalah sudut pandang untuk cinta yang tak berlainan lagi.

Hello, Baskara! [ HIATUS ] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang