Apapun Yang Terjadi - Hindia

32 3 0
                                    

Katakan lah, perpisahan mereka berdua adalah hal paling bodoh. Selama banyak tahun sudah dilewati. Selama banyak tahun sudah banyak maaf diterima. Bahkan Jeno sulit melihat Jakarta tanpa Jaemin.

Dua bulan berlalu. Jeno dan Jaemin berpisah, memilih jalan masing-masing yang pernah ditemukan titik tengahnya. Hari ini Jeno harus kembali duduk di smoking zone coffee shop yang ada di tengah Jaksel. Di hadapannya, ada Jaemin yang sedang menghidupkan sebatang rokok hasil lintingan sendiri. Sementara puntung rokok impor milik Jeno sudah berceceran pada asbak.

Tak ada yang benar-benar punya waktu untuk membungkus tembakau pada jam makan siang. Tapi Jaemin selalu bersikeras mengatakan jika melinting jauh lebih nikmat dari rokok pabrik. "Nggak ada rasa darah buruh pabriknya."

"Iya, tapi ada rasa upah rendah petani bakaunya."

Jaemin tertawa kecil. Sebatang rokok lintingan di tangannya sudah membara. Sementara Jeno kembali menghidupkan batang keduanya semenjak sampai di sini.

Pesanan mereka datang dengan cepat. Dua gelas es kopi dengan jenis berbeda dan seloyang pizza bertoping basil. Tapi hidangan tadi tak langsung tersentuh, menunggu batang-batang rokok itu habis. Seiring dengan senyum-senyum kecil yang dilempar satu sama lain.

"Lo masih sama ternyata."

"Kita baru putus 2 bulan, anjeng," protes Jeno. Jaemin menghembuskan asap rokoknya pada langit, lalu tertawa lagi. "2 bulan udah lama, njir. Lagunya Bernadya aja 'sudah satu bulan'."

"Oh, gitu. Udah ada yang gantiin gue?" tanya Jeno sebelum menyesap batang rokoknya. Jawaban Jaemin lama berbuah. Ia menggeleng pelan, tapi berlanjut dengan sebuah narasi. "Gue bolak-balik grindr-twitter, cuma dapet hook-up partner doang."

Selanjutnya, batangan rokok mereka tau-tau sudah habis. Pizza mereka cukup mendingin, dan es kopi tadi mulai mencair. Angin dingin Jakarta di malam hari harusnya tak membuat Jeno menggigil. Baru 2 bulan ia pindah ke Bali.

Di lain sisi, ribut-ributnya Jakarta masih temaram di telinga Jeno. Bagaimana coffee shop selalu ramai dengan orang yang saling tak kenal, tapi suara mereka saling bersahutan dan mendengung bak lebah. Saling melontarkan tawa, atau serius bak rapat komite disipliner. Terpenting, ketidak acuhan Jaemin yang sama seperti orang-orang lain.

"Eh, gue bulan depan dapet cuti. Gantian gue yang ke tempat lu lah," ucap Jaemin, sembari memakan sepotong pizza tipis itu.

"Kenapa tempat gue?"

"Sesimple, Bali."

"Ya, tapikan lo bisa ke tempat selain gue."

Jaemin tak langsung menjawab. Ia justru memandangi Jeno lama sambil mengunyah potongan pizza. Cukup lama sampai pada Jeno menyeletuk "Dikunyah 33x bang? Lama bener nelennya."

"Keras anjing pinggirannya."

"Jadi bubur dah tu."

Lalu kembali ke kehingan mereka dan ribut-ribut di luar gelembung mereka. Masih dengan Jaemin yang menatapi Jeno tanpa berkedip. Sekali menyeruput es kopinya, lalu mendorong gelas itu ke arah sang mantan. "Cobain deh, enak."

Tangan Jeno spontan menerima gelas tadi. Menukar dengan gelas es kopinya yang baru diseruput satu kali. Keduanya saling menyeruput kopi yang ditukar. Menatap satu sama lain, lalu membiarkan gelas-gelas tadi pada posisi terakhir.

Jeno tersenyum singkat, mengingat kebiasaan mereka saat masih berpacaran. Saling tukar kopi dan makanan, lalu berakhir memakan yang bukan pesanannya. Dingin angin malam Jakarta mendadak menjadi lebih hangat, dan juga relung hati Jeno.

"Balikan yuk."

"Ha?"

Adalah alasan kenapa Jeno jauh-jauh kembali ke Jakarta. Ia bilang pada Jaemin untuk bertemu di sela waktu, sembari dirinya mengurus pekerjaan. Tapi nyatanya, Jeno sengaja mengambil cuti beberapa hari tanpa beban pekerjaan apapun untuk terbang menemui Jaemin.

"Ayo balikan. LDR juga gapapa," ucap Jeno. Ia tak bergeming atau memalingkan wajah setelah mengatakan itu. Justru sekarang ia yang memandangi Jaemin dengan saksama, tanpa sebatang rokok di tangan atau potongan pizza yang tinggal satu.

Dilain sisi, Jaemin masih mencoba mencerna ajakan Jeno. Ingatannya soal percakapan terakhir mereka di ruang makan apartemen mereka mendadak menggema. Kala itu, Jeno memegang sebatang rokok impornya dan dihadapannya ada asbak yang penuh puntung. Lalu mata Jeno yang berkeliaran ke berbagai arah, beserta satu botol anggur putih yang tinggal ⅓ di meja makan.

"Why?" tanya Jaemin. Keningnya menyerit. Matanya bergerak ke berbagai arah.

Jeno berkedip beberapa kali, menunduk sebentar dan sekali memanyunkan bibirnya. "Ya, kalo lo maunya kayak gini, kenapa nggak sekalian LDR aja?"

"Beda lah," tukas Jaemin.

"Bedanya apa? Lo juga tetep sering call sama gue, lo juga masih sering ngereply sg gue. Bahkan lo bilang, mau ke tempat gue waktu ke Bali. Bedanya apa sama waktu kita LDR-an?"

"Ya beda, Jen."

"Coba jelasin deh ke gue."

Jaemin diam sebentar. Tembakau yang sudah ia linting mendadak sudah membara dan terampit di bibirnya. "Ya, waktu itu kita kondisi pacaran. Lu di Jogja 2 tahun buat kuliah. Ada time spentnya sampe lu balik ke Jakarta."

"Ya kita tinggal bikin perjanjian mau ketemu berapa bulan sekali."

"Beda, Jen," ucap Jaemin. Ia menyesap rokok lintingannya sebentar sebelum kembali melanjutkan penjelasannya.

"Kalo kondisinya sekarang, gue nggak bisa jamin kalo gue nggak akan nyakitin elu."

"Ya kita open relationship. Lu bebas hook-up sama siapa aja, cuddle sama siapa aja. Tapi lo tetep sama gue."

"Gabisa Jen. Akhirnya nanti kita malah bakal putus kayak orang musuhan. Terus gue kehilangan lo sebagai teman gue."

Jeno sudah terpikir sampai sana. Ia tahu kalau Jaemin akan berkata demikian dan membuang-buang uang 2 jutanya untuk pergi ke Jakarta.

"Kalo gitu gue gamau jadi temen lu lagi."

Dan lagi-lagi, Jaemin hanya tersenyum. Menghisap lagi rokok lintingannya dan menghembuskan ke langit. "Yah, seenggaknya gue sama lu putusnya baik-baik."

Walau sudah menduga, tetap ada rasa getir di hati Jeno. Ia tetap tersenyum, walau sarkas. "Lu beneran gamau?"

"Aku nggak mau nyakitin kamu lebih dari kemarin, Jen."

Jeno tak akan berkata apa-apa lagi. Ia pikir sudah cukup percakapan tadi. Dengan ia mengajak Jaemin bertemu dan duduk di hadapannya, ia sudah siap kehilangan orang itu sebagai apapun dalam hidupnya. Maka di akhir pertemuan, Jaemin menurunkan Jeno di hotel tempat ia menginap. Melemparkan senyum terakhir, dan bertukar ciuman terakhir.

Bulan selanjutnya, Jaemin tak jadi pergi ke Bali. Postingan terakhirnya ada di Thailand, bersama seorang laki-laki lain yang tidak Jeno kenal. Dengan itu, mantap Jeno memencet tombol unfollow pada laman instagram Jaemin.

"Babe, sekarang ke Jimbaran, yay or nay?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Playlist: Coz JaemJen Is My JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang