History - Rich Brian

1.3K 93 8
                                    


We got history, got me feeling nostalgia when you look at me.

Rasanya seperti aku ingin membenamkan kepalaku ke dalam kloset terdekat dan berteriak keras-keras di dalamnya.

Aku menyesal mengiyakan ajakan Mark untuk ikut menemui adiknya. Di sebuah restoran masakan Cina, di jalan utama distrik tempat kami bekerja. Untuk kencan buta.

"Adikku ini sedang mencari 'teman'. Kau sedang jomblo, kan?" Begitulah kira-kira cara Mark membujukku untuk ikut bertemu dalam kencan buta tersebut. Dan karena aku juga tidak punya kegiatan malam itu--terlebih karena restoran tempat bertemu itu salah satu restoran terkenal yang belum pernah ku cicipi--, aku memutuskan untuk ikut saja. Toh, kata Mark, adik dia ini model. Kali-kali saja jodoh buat masa depan. Hehe.

Jadi, untuk itu aku mengajak Donghyuck, temanku semasa kuliah di Toronto untuk ku kenalkan pada Mark.

Namun setelah sampai sana, bukannya bertemu 'jodoh buat masa depan', yang ada aku justru reuni dengan 'jodoh dari masa lalu'.

Mark dengan teganya meninggalkan kami--aku dan adik Mark--setelah mengenalkan dan berkenalan. Berdua! Dengan alasan memberi waktu untuk kami berduaan. Halah! Si Bapak Tua itu pasti yang ingin berduaan dengan Donghyuck!

Duh! Kenapa aku tak tanya dulu sih siapa adiknya Mark?!

Kami canggung. Dan sayangnya, dia masih sedingin saat kami--lebih tepatnya aku--memutuskan hubungan. Berbagai hidangan pembuka yang dalam keadaan biasa akan membangkitkan jiwa culinary holic-ku, kali ini macam lenyap dari peradaban.

Duh (lagi)! Kenapa dari sekian banyak orang di bumi manusia ini, harus Jeno Lee yang ini?!

"Aku engga pernah tau kalo kamu punya kakak." Aku bersuara, mencoba mencairkan suasana beku di antara kami. Jeno masih abai. Pandangan dia tak jelas kemana, tetapi jelas menghindari kontak mata denganku.

"Mark itu sepupuku." Terang Jeno secara singkat, padat, dan jelas. Lalu, dia minum secangkir baijiu setelah berkata seperti itu. Bak tak sudi hanya untuk sekedar menatap mukaku.

Ruangan yang tertutup dengan pembatas ini membuat suasana canggung di antara kami makin lama makin ketara.

Rasa-rasanya seperti, Jeno masih menyimpan benci kepadaku. Tak mengherankan nyatanya. Dulu aku mengatakan padanya kalau "kita ini tidak sejalan" dan aku mengakui kalau aku seorang bajingan waktu itu.

Pada akhirnya, aku yang menyesal telah meninggalkan Jeno. Waktu yang aku gunakan untuk menerima kenyataan nyatanya tak sebentar. Butuh dua musim dingin dan tiga perayaan tiup lilin tanpa Jeno.

"Jen"

"Hm?" Balikan yuk.

Penginnya ngomong begitu, tapi muka mau ditaruh mana?! At least, aku bisa buat Jeno mau balikan kalau dia ada di bawahku--eh maksudnya pelukanku!

No jaim-jaim kalau sudah begitu. Lima tahun saling kenal dan dua tahun saling berbagi kehangatan. Sudah pastilah aku hafal kebiasaan Jeno sampai ke akar-akar.

"Jaem? Jangan melamun! Kebiasaan." Jeno melambai-lambaikan tangan di depan wajahku. Untuk pertama kali setelah berpuluh menit berada di ruangan ini, aku dapat melihat wajah Jeno amat jelas. Dalam beberapa detik, kami bersitatap. Detik berikutmya, dia kembali memalingkan muka.

Tak banyak yang berubah dari segi fisik. Hanya aura dan pembawaannya saja yang berubah menjadi lebih dewasa dibanding kali terakhir kami bersama, dan...

...bibir Jeno tampak semakin kissable.

"Eh?! Anu... Sampai kapan kamu di sini?" Jeno minum lagi, seperti sedang berusaha bersikap tak canggung.

My Playlist: Coz JaemJen Is My JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang