Trauma - Seventeen

202 38 3
                                    

.

Kalau bisa meruntukki diriku sendiri, maka aku bakal menyalahkannya habis-habisan. Rasanya benar-benar menyiksa, tapi apapun yang kulakukan agaknya useless. Yang ada hanya aku semakin dan bertambah tersiksa, hari demi hari.

"Jeno-ssi? Are you there?" panggil salah satu konselor dari seberang sana. Pertemuan daring ini terasa membosankan dan tak membantu sama sekali. Pikiranku berterbangan ke mana-mana selama sesi konseling. Aku tak bisa hanya duduk diam saja dan fokus pada materi yang diberikan konselorku. Pasti ada saja gerakan yang tak sadar kulakukan.

Kamera depan ponselku menyala. Meski begitu, aku tak peduli sedikitpun jika aku duduk meringkuk sambil menggigiti jempolku sendiri. Sadar-sadar, ternyata aku dipanggil-panggil sejak tadi karena ada darah yang mengalir di tanganku. Jempolku luka, tapi aku bahkan tak bisa merasakan perih.

Cepat-cepat aku langsung mematikan kamera dan berlari menuju dapur. Membuntal luka bekas gigitan di jempolku dengan tisu yang banyak. Setelah itu, aku cuma duduk diam di sana tanpa melakukan apa-apa.

Ini bukan jam 2 malam, tapi kenapa rasanya mencekam? Suasana di sekitarku berasa seperti berusaha menerkamku semakin jatuh dalam tanpa membiarkanku bernapas sedetik pun. Aku masih bernapas. Tapi ada rasa sesak yang sejak lama sulit hilang dari dalam dadaku. Padahal, aku berani bertaruh kalau aku tak punya riwayat penyakit paru-paru maupun jantung sama sekali.

Meski cuaca hari ini panas, bahkan aku sampai berkeringat deras, aku tetap merasa kedinginan. Ada ruang kosong yang seharusnya diisi. Saking dinginnya, aku sampai harus memeluk diriku sendiri bahkan setelah berlari ke kamar dan membalut diri dalam selimut.

Selama berdiam dalam rengkuhan selimut, aku bisa mendengar jika di luar ayah dan ibu sedang berbincang seru tentang warung sup di seberang gang rumah. Aku ingin makan dan lapar. Tapi semua makanan di rumah atau yang diberikan padaku tak ada satupun yang menggugah seleraku. Aku ingin makanan manis.

Berdiam diri sambil meratapi nasib begini tak akan membuatku lebih baik. Ponselku tadi terlempar ke ujung kasur waktu aku membalut luka. Walau agak kejauhan, tapi beruntung tanganku dapat menggapai benda itu. Karena terbentur tadi, dia mati daya. Begitu kuhidupkan lagi, berpuluh-puluh notifikasi pesan masuk dan membuat perasaan aneh itu menjalar lagi.

Dengan tangan yang bergetar hebat, aku berusaha menonaktifkan aplikasi chat yang terus-terusan membuat ponselku berdenting. Menghapus notifikasi yang muncul di layar utama dan langsung membanting ponselku ke kasur. Aku merasa sesak, tapi masih bisa bernapas dengan bebas. Tremor pada tanganku masih juga tak mau berhenti. Ada suara 'ngiiiing' keras yang langsung menulikan sebelah telingaku sementara. Aku benci ini! Aku benci!

Dudukku semakin meringkuk dan tanganku berusaha menutupi telinga walau mengalami tremor hebat. Aku menggigit bibirku berharap jika rasa sakitnya bisa mengalihkanku dari situasi yang paling kubenci ini! Satu telingaku yang masih berfungsi bisa menangkap rintihanku yang menyedihkan, mengiba-iba entah pada apa. Aku bahkan tak punya tempat yang dapat kupercaya.

Selama itu pula pikiranku berkelana menuju Jaemin. Memanggil ingatan-ingatan dalam bentuk bayangan kebersamaan kami yang belum pernah meregang terlalu jauh. Memikirkan hal itu membuatku semakin menangis. Terlebih pikiranku menggiringku untuk berprasangka yang macam-macam, mengesampingkan semua bayang-bayang indah tadi dengan kabut gelap. Menutupi bayangan tadi sampai hilang dibalik gelap. Aku benci ini!

Tarik napas, hembuskan. Mungkin beberapa kali aku bernapas tanpa aturan seperti orang yang habis tenggelam. Beruntung, pikiranku masih bisa menjernih hingga aku teringat cara bernapas yang benar. Setidaknya hal ini bisa membuat perasaan panik dan takut tadi berangsur-angsur hilang.

"Kamu kenapa?"

Sewaktu aku mendongak, Jaemin sudah berjongkok tepat di depanku. Menginjakkan kaki di atas kasur dan selimutku. Memandangku dengan tatapan iba saat melihatku yang sangat amat menyedihkan ini.

Aku menggelengkan kepala. Walau masih ada sedikit air mata yang mengalir, pun juga perasaan tak nyaman yang masih menelingkupi, aku berusaha memberinya senyuman sehangat mungkin. Kalaupun aku kacau, paling tidak aku berharap bisa membagi sedikit kehangatan padanya. Jaemin yang tak pernah tersenyum. Jaemin yang tak pernah memperlihatkan kebahagiaannya.

"Aku... cuma takut."

Dia memejamkan mata. Udara disekitar rasanya berangsur-angsur menjadi sejuk. Jaemin sendiri sudah berpindah tempat dan duduk di sampingku. Ikut menatap pintu kamar yang tertutup dengan beberapa pakaian yang tergantung di sana.

"Aku malas," Jaemin langsung menoleh padaku, tapi tanpa berkata apa-apa. Dia hanya diam dan menatapku begitu saja. "Aku malas keluar dan takut bertemu orang."

"It is me?" tanya Jaemin berterus terang. Aku tak menjawab apa-apa. Hanya membiarkan angin terus berhembus dan mengajak helaian rambutku menari.

Dia tak sepenuhnya salah. Kalau dibilang ketakutan terbesarku apa, yaitu Jaemin.

"Kamu tau aku nggak bakal ngelakuin itu," tukasnya sambil memakan sebuah biskuit--entah dari mana. Jujur, aku langsung tertawa mendengarnya berkata begitu. "Aku nggak percaya manusia. Aku benci orang-orang."

Remahan kue tadi jatuh dan mengotori selimutku. Aku ingin protes tapi tidak jadi begitu dia memunguti remahan itu dan memakannya juga. Agak jorok, tapi terserahlah. Itu Jaemin.

"Kenapa? Padahal manusia itu menarik," celetuknya.

"Manusia semuanya pembohong. Orang-orang itu penipu."

Dia tak bereaksi apa-apa. Cuma diam sambil memakan biskuitnya yang tak habis-habis. Mungkin aku sudah tak panik lagi setelah mendapat teman berbicara. Walau Jaemin yang ini hanya bayanganku, aku merasa benar-benar terbantu dengan keberadaannya.

"Pergi sana."

Jaemin menggeleng. Dia masih tetap duduk di sampingku dan sibuk memakan biskuitnya. "Kenapa harus pergi? Aku kan cuma bayanganmu."

Justru itu, kalau kamu terus di sini, aku takut semakin percaya padamu. Karena kamu cuma bayanganku, kamu bukan Jaemin sungguhan, aku tak tahu bagaimana pendapatmu yang sebenarnya.

"Kamu mau apa?" tanyanya tiba-tiba. Aneh, tapi itu Jaemin. Aku ingin makanan manis. Mungkin, "Boba milk tea sama croffle--ah, atau donat juga enak...

"Kamu tau kan, aku takut sekaligus terlalu sayang sama kamu?"

Dia mengangguk. Nyatanya, walau berkali-kalipun Jaemin berkata tak akan pernah meninggalkanku, itu semua terasa seperti bualan belaka. Yang membuatku merasa semakin takut padanya adalah kepercayaanku. Satu-satunya yang dapat membantu sekaligus membunuhku dalam satu waktu. Lebih-lebih ketika semua itu luluh lantak.

Aku takut kalau suatu saat kepercayaanku pada Jaemin benar-benar hancur. Jika itu sampai terjadi, apa aku bisa percaya pada 'apapun' lagi? Mungkin tidak. Sulit untuk melakukannya.

"Aku benci orang-orang," gumamku lagi tanpa sadar.

Jaemin, dalam bayanganku sekalipun, bukanlah orang yang akan mudah mengeluarkan kata-kata atau respon menenangkan. Tapi ketika dia merengkuhku cukup erat, aku cukup terkejut dibuatnya. Dengan pelan-pelan sekali, dia berbisik tepat di samping telingaku. "Sebentar lagi, aku dateng."

Lalu bayangan Jaemin benar-benar menghilang dari kamarku. Kembali menyisakan kosong, sepi, dan dingin padaku sendirian. Perasaan mencekam tadi kembali dan berusaha menerkamku kembali. Semuanya kembali berkabut gelap dan sulit untuk berpikir. Apa yang harus kulakukan?

"Jeno! Ada Jaemin nih!"

"Yo, Lee Jenou! Aku bawa boba sama croffle yang lagi hits nih!"

.





13-10-21
By Cici and Caca

My Playlist: Coz JaemJen Is My JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang