12.12.2029
"Mencintaimu adalah hal yang paling aku sesali seumur hidup"
Kalimat yang aku ulangi berkali-kali setelah sekian lama terkubur dalam kebodohan, dengan pencapaian sia-sia ketika aku mengharapkan cinta dari seseorang.
Meningkatnya permintaan generator BIO-1000 merupakan langkah untuk menciptakan pemanfaatkan limbah organik rumah tangga menjadi tenaga listrik, biogas ini merupakan campuran gas yang sebagian besar terdiri dari metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2), serta sedikit gas lainnya seperti hidrogen sulfida (H2S). Metana inilah yang menjadi komponen utama BIO-1000 yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar.
Berita di saluran radio itu terus mengiang ngiang di telingaku, kemajuan energi terbaru, bioteknik, maupun pembaharuan lainnya. Manusia semakin maju dan berkembang, tetapi semua tidak ada artinya untuk hidupku yang mendekati ajal.
Smartwatch di pergelanganku menunjukkan aktifitas lemah dari detak jantung, daya tubuh yang semakin menurun, dan juga kesadaran yang semakin memudar. Aku semakin tidak rela jika mati konyol dalam kondisi seperti ini.
Seharusnya dari awal, aku tidak mengundurkan diri dan tetap mengikuti arahan prof. Katherine. Kini tidak ada harapan lagi, kematian di depan mata dan aku tidak bisa kembali, aku pasrah. Penyesalan dimana, aku mulai berhubungan dengan pria keparat sekaligus mantan suamiku Edward. Jika bisa kembali, aku akan menyadarkan diriku dan membalaskan dendam ini.
"Nyonya Olivia, apakah anda masih mendengar saya?"
"Menurut data pada statistik, detak jantungnya melemah, tidak ada perkembangan lanjutan Prof. Kate." Perawat berambut pirang itu sangat teliti ketika memeriksa monitor, dan data dari jam digitalku.
"Sayang sekali, dia masih muda, usianya baru 26 tahun dan telah kehilangan janinnya." Perawat sebelah prof. Kate ikut mengasihaniku. Janin yang meninggal karena dibunuh oleh ayahnya sendiri, setidaknya dia tidak lahir dan bertemu bajingan itu, aku juga bukan wanita yang pantas menjadi ibu.
"Bagaimana klien bisa kemari dalam keadaan sekarat?" Lanjut pernyataan prof. Kate. Ya, aku bahkan tidak menyadari tubuhku yang bersimbah darah saat itu. Aku hanya memikirkan cara untuk bertahan hidup.
Napasku terengah-engah, aliran oksigen seperti tidak bisa membantu lagi, pandangku gelap, hingga mata ini lelah dan mengeluarkan tetesan airmata. Suara mesin heart rate terdengar bergeming, aku tidak tahu apa yang terjadi, apakah aku mati atau berpindah raga.
✽ ✽ ✽
Dedaunan gugur tepat diatas kepalaku, rambut panjang bergelombang menyematkan daun yang bertebaran, membuatku terlihat berantakan. Piyama kusam yang kupakai membuat kesan seperti manusia kumal tak terurus. Bagaimana mungkin aku peduli pada penampilan, disaat hanya suamiku yang menjadi fokus saat ini. Pernikahanku sudah berjalan 2 tahun, tapi Edward tidak ada perubahan sama sekali. Aku pikir dia akan berusaha lebih keras untuk membangun rumah tangga yang lebih baik, nyatanya itu hanya mimpi.
Meski begitu, apa aku kecewa? Tentu tidak, untuk apa menyesali keputusan yang sudah bulat kuambil. Tidak ada yang salah dalam pernikahanku, aku yakin setiap orang memiliki permasalahan rumah tangga.
Keriuhan terdengar tatkala melihat kaki kecil berlari melewatiku, senyuman manis dari tampang polos itu membuatku terenyuh. Seandainya sekarang aku sedang menimang buah hati dengan Edward, pasti rasanya sangat menyenangkan. Aku ingin memiliki sedikit cahaya dalam kehidupan pernikahan kami yang suram. Setidaknya anak itu nanti bisa menjadi harapan bagi ikatan kami. Aku menatap langit berawan sebari mengingat kembali masa lalu.
Perjalananku dengan Edward tidaklah mulus, dari awal bertemu aku sudah tertarik padanya. Ketika itu, bertepatan masa ospek yang sedang berlangsung, aku mendengar suara sorakan beberapa senior mengarah pada kami.
"Bersiap semuanya, lekas berkumpul di aula untuk menyambut mahasiswa baru!" Seru seorang senior memakai almamater.
Saat itu aku berpakaian blus warna hijau, agar tidak terlalu mencolok di hari pertama pengenalan kampus. Rambut sebahu yang sengaja diikat seperti kuda poni, dan totebag di pundak bertuliskan 1968 Hexigon University. Suasana yang penuh lautan manusia membuatku agak sesak. Aku memiliki serangan panik ringan yang tidak tahan berada terlalu lama dalam kerumunan.
Kakiku mulai lemas, dan badanku terbungkuk karena lelah berdiri mendengarkan sorak sorai dari kakak senior.
"Berdiri! Kau bayi? Lemah sekali sudah tertunduk seperti itu. Cepat tegak atau pulang sekarang!" Sentakan itu tidak aku lupakan, suara lantang dari senior bertumbuh tinggi dengan wajah ditekuk dan mata penuh ketidaksukaan.
"Raphael! Sudah abaikan saja, ayo kita lanjut mengarahkan mereka." Panggil seorang teman disampingnya.
Setelah itu seseorang menepuk pundakku dan memberikan botol minum, aku menatap sebentar dan meneguk air dari botol itu. "Kau harus lebih berhati-hati, jika tidak ingin menjadi target mereka, kalau itu terjadi maka kau akan mengalami neraka disini."
"Terima kasih minumnya, darimana kau tau itu?" Aku hendak mengembalikan botol.
Lelaki berkacamata persegi itu menatapku tanpa menjawab pertanyaan. Saat pertama kali aku melihat wajahnya, nampak raut yang menyedihkan seolah dia sedang kesulitan. Dia tidak menerima botolnya dan pergi begitu saja meninggalkanku.
Mungkin awalnya empati, tapi perasaan ini semakin bertumbuh, sehingga aku ingin menjadi tumpuannya. Ketika itulah aku mengenal Edward. Lelaki seangkatanku yang membuatku jatuh hati, karna rasa emosional yang sulit dijelaskan. Beruntungnya lagi aku sekelas dengan Edward, dia tidak terlalu terbuka dan cenderung pendiam, makanya aku yang mendekatkan diri terlebih dahulu. Perlahan aku mengajaknya berteman hingga dia bisa menerima kehadiranku.
Dikelas, memang kami tidak banyak punya teman, itu karena mereka tidak tertarik untuk bergaul dengan Edward dan mendapatkan masalah dari kakak senior. Edward juga tidak terlalu peduli dengan pengabaian orang-orang karna dia terlalu cuek.
Tentunya, ini yang menyebabkan perasaanku bertepuk sebelah tangan, perhatianku tidak pernah dibalas oleh Edward, tetapi aku tidak masalah.
Aku semakin lama mengetahui karakter Edward yang tertutup, dia orang baik. Dia tidak pernah marah atas kelakuan senior atau teman sekelasnya yang sudah keterlaluan, itu sebabnya aku seperti melihat diriku sendiri dalam tubuh Edward. Orangtuaku bercerai ketika kecil, aku tinggal berdua dengan ibu. Sejak itu aku kehilangan sosok ayah, aku kesepian dan diabaikan. Sehingga melihat Edward membuatku mengasihani diriku sendiri.
Edward sering dirudung dengan candaan oleh teman atau kakak senior. Aku muak melihat Edward menjadi bahan mainan mereka, jadi aku selalu memberanikan diri membelanya. Walau pada akhirnya, kita menjadi pasangan yang menjadi target bulan bulanan para senior. Aku masih bertanya, apa salah Edward hingga dirinya terseret oleh orang-orang menyebalkan itu?
Kami makan siang sebelum masuk ke kelas.
"Ada yang ingin aku bicarakan." Aku menelan saviar di kerongkongan.
Edward hanya menatap sambil mengunyah sandwich di tangannya.
"Mungkin agak konyol, tapi aku memiliki perasaan lebih dari teman. Hari pertama di pengenalan mahasiswa baru, aku terus penasaran denganmu, dan ingin mengenalmu lebih dalam. Sebab itu, aku jadi terus mendekatimu."
Pertama kalinya aku mengungkapkan perasaan, pikiranku kacau dan hatiku tidak karuan. Apa yang aku lakukan jika mendapat penolakan? Bagaimana jika hubungan kami berakhir karna ini?
Gelisah yang kurasakan semakin besar, disaat Edward hanya diam menatapku.
"Baiklah, lakukan saja jika itu membuatmu nyaman." Jawaban dari Edward membuat hatiku bergetar, apa tandanya dia menerimaku? Aku merasa lega, perasaanku disambut dengan baik.
Itu pikirku pada awalnya, sampai aku menemukan fakta tidak menyenangkan tentang Edward.
KAMU SEDANG MEMBACA
Break Your Heart
RomanceAku berjuang untuk tetap berdiri. Darah terus mengalir dari luka di perutku, dan rasa sakit yang menyengat membuatku hampir tidak bisa berpikir jernih. Dalam keadaan setengah sadar, Aku teringat kembali pada apa yang terjadi: pelarian dari seseorang...