#4 - Titik Kembali

14 8 0
                                    

Sakit sangat sakit, dengan kesadaran yang tersisa aku memaksakan kedua kakiku untuk berdiri sekuat tenaga berjalan tersaruk-saruk meninggalkan mereka berdua. Darah terus mengalir dari tubuhku tak berhenti, aku ingin meminta tolong tapi kondisi sepi ketika itu, Grace tidak mencegahku keluar dari rumah, dia sibuk dengan Edward yang terluka.

Aku menemukan mobil Edward yang masih panas belum dimatikan. Aku menaikinya langsung menginjak gas dan pergi dengan menahan darah diperutku.

Pikiranku kalut, disaat itu aku teringat prof. Katherine dan berusaha menuju ke sana. Dengan kecepatan mobil serta lalu lintas yang sepi, aku hanya berdoa bisa bertahan hingga akhir.

Aku sampai di halaman laboratoriumnya, di dalam mobil aku tidak kuat lagi. Mataku kabur sampai kepalaku tertunduk menyalakan klakson mobil, lalu kesadaranku pun hilang.

Kembali ke masa kini, setelah tim prof. Katherine berhasil memberikan tindakan medis pertama untuk menyelamatkanku, dan memisahkan janinku yang sudah meninggal.

Napasku terengah-engah dengan tumpukan oksigen yang tidak bisa membantu lagi, pandangku gelap, hingga mata ini lelah dan mengeluarkan tetesan terakhirnya. Suara mesin heart rate berdengar bergeming, aku tidak tahu apa yang terjadi, apakah aku mati atau berpindah raga. Keyakinanku sepenuhnya hanya mempercayakan nyawa pada eksperimen prof. Katherine.

✽ ✽ ✽

Aku pikir semuanya akan sunyi, tidak pernah terlintas dipikiranku kalau akhirat akan seberisik ini, aku membuka mata perlahan karena suara bising itu.

"Oliv, Olivia bangun!" Terlihat seorang gadis muda menggoyangkan tubuhku dengan panik. "Cepatlah, ini gawat! Kakak senior mengganggunya lagi!" Apa maksud gadis itu, aku tidak mengerti, bukankah harusnya dia menanyakan kenapa aku mati? Dia terlihat seperti manusia.

Aku memegang tangannya, menyentuh dengan kedua tanganku, ada rasa hangat dan detakan nadi di pembuluh darahnya. Dia manusia, dia hidup, lalu kenapa dia bisa melihatku? Apa aku belum menjadi arwah?

"Kenapa kau bengong? Sudahlah, ayo cepat ikut aku! Edward dalam bahaya." Aku seketika berhenti.

Edward? Bajingan itu, kenapa dia mengenalnya? Aku merasa aneh dengan situasi ini, gadis itu terus menarikku mengantarkan ke tempat tujuannya. Aku melangkah sambil melihat sekitarku. Bangku berjajar dengan rapih, orang-orang berbincang dan mengerjakan tugasnya.

Aku berada dikampus tempatku berkuliah dulu, melewati lorong yang penuh dengan orang berlalu lalang, terpampang mading berukuran besar di dinding yang aku lewati, langkah memaksaku berhenti ketika membaca tulisan 'Olimpiade antar kampus musim ke 2 di bulan Oktober 2024'

Bulu kudukku berdiri tiba-tiba, tubuhku memiliki respon yang aneh, apa yang terjadi? Aku kembali ke masa 5 tahun lalu bukan berada di alam akhirat. Gadis yang sedari tadi menarikku terdiam ketika melihat aku berhenti terpatung di depan mading.

"Olivia, apa kau baik-baik saja? Aku merasa kau sangat aneh sejak bangun tidur, mimpi buruk? Tapi ini bukan waktu yang tepat, pacarmu sedang di bully lagi." Aku menatap kembali gadis dengan raut wajah kebingungan.

Pacar yang dia maksud tidak salah lagi, pasti Edward si bajingan itu. Jika benar aku berada dimasa lalu, maka proses pemindahan tubuh yang dilakukan prof. Katherine telah terjadi. Tidak mungkin, aku sudah merasa sudah mati sebelum proses itu dimulai. Aku bingung, pikiranku tidak tertata dengan baik, sekarang aku hanya mengikuti ucapan gadis ini. Edward, aku harus melihat dengan mata kepalaku sendiri.

Langkahku kembali menuju lokasi yang diberikan oleh gadis pirang dengan rambut sebahu itu.

Kami berhenti dibelakang kampus, tepatnya di taman dengan pohon berakar besar mengintari tembok luar gedung. Disana terdapat 3 orang dengan Edward salah satunya, pria itu berlutut dengan menundukkan kepala. Rambut pendek berwarna coklat dengan kacamata ditelinganya, mengenakan setelan kemeja kotak dikancing hingga leher, pria yang paling tidak ingin aku temui itu kini ada di depan mata sedang terdiam lesu.

"Wah, ksatria datang mau menyelamatkan pangerannya." Ejek dari salah satu pria berambut cepak dengan kaos oversize putih.

Gadis tadi terdiam dibelakangku, seperti tidak siap menghadapi pria dihadapan kami. Salah satu diantaranya berdiri, menggunakan kaos hitam tanpa lengan, hingga terlihat dengan gagahnya otot dikedua lengannya, dia menatapku dengan sinis, rambutnya hitam gondrong sebahu dan wajahnya tegas. Dia mengambil kuncir di pergelangan tangan, lalu mengikat rambut gaya ponytail ke belakang.

"Olivia, itu namamu?" Dengan wajah sangarnya mendekatkan diri ke depanku seperti menantang. "Kau ingin bergabung dengan kekasihmu?"

"Woyy sepertinya dia tuli! Dia tidak meresponmu Raphael." Ucap lagi pria disebelahnya.

Raphael? Tunggu. Aku mengingat nama itu, pantas saja rupanya tidak asing.

Benar. Pria di depanku, dia sumber masalahku dan Edward selama di perguruan tinggi. Aku ingat jelas, aku bertemu dengan Edward karena senior ini, Raphael beda 2 tingkat diatasku, dia kating yang disegani karena koneksi ayahnya. Sebab perundungan Raphael juga, aku menolong Edward sehingga bisa dekat dengannya.

Aku tertunduk, airmataku seketika mengalir, aku melihat kedua tanganku, nafasku terengah-engah seakan tidak percaya dengan kondisi diriku. Aku benar-benar kembali ke masa lalu, aku pasti telah melewati mesin waktu.

Perasaanku saat ini tidak karuan, jika dibilang senang tentu sudah pasti, namun amarah yang ada didalam diriku juga tidak padam. Melihat kini aku bisa hidup kembali, rasanya ingin meluapkan amarah yang belum selesai disampaikan.

Aku tertawa lepas tanpa memperdulikan semua orang yang menatapku aneh. Mereka menatapku dengan kebingungan dan memberikan ekspresi seperti melihat orang bodoh.

"Kau sudah kehilangan akal?" Raphael menatapku yang tertawa sendiri.

"Maaf senior, aku terlalu senang hingga rasanya ingin menari. Senior apa kabar? Melihatmu setampan ini, seharusnya dulu aku sudah jatuh hati." Aku menggoda sebari bercanda hingga membuatnya terkejut, tidak hanya itu, kedua temannya juga tidak menyangka aku mengatakan itu.

Aku mengalihkan perhatian ke Edward yang menatapku dengan tidak percaya. Tatapan yang sangat menjijikkan, aku seperti melihat mata seorang pembunuh yang sudah menghilangkan nyawa janin dalam kandunganku, ketika melihat wajahnya saja membuatku ingin muntah. Tanganku otomatis melayangkan tamparan keras ke pipinya.

Edward terlihat syok dengan perlakuanku padanya. Tentu saja, Edward muda tidak akan pernah menyangka dirinya terkena tamparan, oleh seorang wanita yang sangat memujanya.

"Kita putus bajingan!" Suaraku lantang, tentu membuat kejutan baru untuk Raphael dan yang lainnya. Seperti sedang menonton drama, aku melepaskan emosiku dihadapan mereka.

Sejenak suasana menjadi hening, aku membalikkan badan hendak pergi, tapi tangan Edward menahan seperti menunggu kejelasan atas kejadian ini.

"Aku akan membunuhmu jika tidak melepaskan tanganku!" Aku menatapnya penuh kebencian.

Raphael menangkis tangan Edward sebelum aku melepaskannya.

"Jangan begitu, kau tidak cocok jadi antagonis disini." Raphael menatap kedua mataku seperti hendak mencoba membaca pikiran, aku menatap kedua mata abu-abunya. Mata kami berpandangan satu sama lain, pupilnya seperti cahaya yang menenangkanku. Aku menunduk untuk berhenti menatapnya.

"Aku tidak bermaksud membuat keributan. Maaf, kalian bisa melanjutkan urusan dengan bajingan itu. Aku akan pergi." Gadis muda yang membawaku masih terdiam bingung. Aku menghampirinya.

"Ayo kita pergi!" Aku kini bergantian menarik tangannya, dia hanya diam mengikuti langkahku yang terburu-buru.

"Apa ini? Raphael lihat itu. Cecunguk ini baru saja dicampakkan!" Bruno nama pria yang bersama Raphael melanjutkan ejekkannya.

Raphael masih terasa memperhatikanku dari jauh. Mungkin dia masih tidak percaya dengan tindakanku pada Edward.

✽ ✽ ✽

Beberapa lama langkah kami menjauh, hingga gadis itu berhenti dan membentakku.

"Aku Alice temanmu! Kenapa kau seperti orang lain Olivia?" Dia melepaskan tanganku ketika di lorong.

Dia bilang orang terdekatku, tapi seingatku dulu tidak memiliki teman selain Edward. Apalagi teman wanita, aku tidak terlalu dekat dengan gadis-gadis di kampus. Apa ada hal yang aku lupakan karena terlalu sibuk memikirkan Edward? Sepertinya benar, mungkin aku sempat melupakannya.

"Maafkan aku Alice, pikiranku sedang kacau." Jawabku.

Break Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang