01

357 253 105
                                    

Malam ini langit tampak mendung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam ini langit tampak mendung. Gelapnya tak seperti biasanya. Tak ada satupun bulan dan bintang yang menghiasi langit. Karena itu, Joya yang sedari tadi berada di teras rumah untuk mengerjakan tugas sekolahnya, akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam. Khawatir hujan akan turun sebentar lagi.

Ia dengan perlahan membuka pintu kamarnya, karena takut akan membangunkan neneknya yang sedang tertidur. Joya memang tidur bersama dengan neneknya, karena itu adalah permintaan dari sang nenek. Dan juga, tidak ada kamar lain jika mereka harus tidur berpisah. Jam sudah menunjukan pukul 22.00 WIB.

Joya memilih duduk di meja belajarnya, dan melanjutkan tugas sekolahnya. Tak terasa 1 jam berlalu, kini Joya telah selesai menyelesaikan tugasnya, dan langsung memasukkan semua buku-bukunya ke dalam tas. Namun langkahnya terhenti, saat dirinya mendengar suara keras dari arah jendela yang sepertinya terkena kencangnya angin malam. Joya langsung bangkit dan pergi menutup jendela kamarnya. Saat hendak menutupnya, kedua manik mata Joya tak sengaja melihat kilatan cahaya di langit selatan. Lalu diikuti dengan suara petir yang sangat keras. Joya sesegera mungkin menutup jendela kamarnya.

"Joya, kamu belum tidur nak?" suara itu refleks membuat Joya menoleh. Mungkin karena suara jendela dan petir yang sangat keras, membuat neneknya harus terbangun.

"Iya nek, ini sebentar lagi Joya mau tidur kok. Tinggal beresin buku-buku Joya ke dalam tas. Nenek lanjutin tidurnya ya, udah malam. Gabaik buat kesehatan nenek," jawab Joya yang disambut dengan senyuman hangat neneknya, yang beberapa saat kemudian kembali tertidur.

Seperti biasa sebelum tidur, Joya harus ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya sebelum menjalankan rutinitas sakralnya itu. Yup, benar sekali, menggunakan skincare. Saat keluar dari kamarnya, Joya tidak sengaja mendengar suara dua orang yang sedang beradu mulut, beradu argumen. Joya hafal sekali siapa pemilik suara itu. Bagaimana tidak?karena itu adalah suara yang hampir tiap hari selalu menghiasi suasana di rumah Joya. Itu suara milik mamanya dan om Cakra.

Setelah kedua orangtuanya bercerai dan memiliki kehidupan baru masing-masing, Joya tak biasa memanggil ayah tirinya itu dengan sebutan ayah, melainkan om. Karena sebutan ayah, hanya untuk ayah Damar seorang, tidak untuk siapapun lagi. Setelah mendengar perdebatan itu, Joya mengurungkan niatnya untuk pergi ke kamar mandi. Ia memilih kembali masuk ke dalam kamarnya, dan berharap masalah yang terjadi di antara mereka bisa cepat terselesaikan.

Joya kembali duduk di meja belajarnya, dadanya terasa sesak. Sangat sakit rasanya. Namun Joya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Saat sedih, Joya biasa melampiaskannya pada buku diary-nya. Namun malam ini, rasanya sudah tidak ada tenaga lagi untuk menulis sepatah kata demi kata di lembaran buku diary-nya itu. Joya lalu membenamkan wajahnya dibalik kedua telapak tangannya.

Kalau mama masih sama ayah, mungkin semuanya gak akan se rumit ini, batinnya.

Memori masa lalu kembali berputar di kepala Joya.

"Ayah, besok Joya mau beli roti rasa keju, minuman matcha, permen, cokelat, buku bergambar, pensil warna juga ya ayah, disuruh ibu guru di sekolah," ucap Joya sembari memeluk gulingnya. Mereka berdua sedang berada di kamar Joya. Seperti biasa setiap malam, ayahnya akan menemani Joya sampai tertidur sembari mengusap pelan kepala Joya dan mengelus punggungnya.

"Iya sayaang, ayah kasi semua yang Joya mau." Joya yang mendengarnya refleks berteriak "Horeee" sembari melepas gulingnya dan berganti memeluk sang ayah.

"Joya sayang kan sama ayah?" pertanyaan itu langsung mendapat anggukan cepat dari Joya.

"Kalau Joya sayang ayah, Joya mau gak janji sama ayah?"

"Janji apa ayah?" jawabnya.

"Joya harus janji ya, Joya harus jagain mama. Joya gaboleh nakal, gaboleh nyusahin mama dan gaboleh bikin mama sedih. Joya bisa kan lakuin itu dan janji sama Ayah?"

"Iya ayah Joya janji. Kan Joya sayang sama mama. Sayang banyak - banyak. Ayah kenapa, kok ngomongnya gitu?" tanya Joya.

"Ayah sayang sama Joya, sama mama Ayra juga. Tapi ayah gabisa disini lagi. Ayah harus pergi sayaang. Tapi ayah janji, setiap bulan, ayah bakalan datang kesini menemui Joya. Nanti ayah bawakan mainan yang banyak dan makanan kesukaan Joya. Joya mau kan?"

"Ayah mau pergi kemana? Joya gamau ayah pergi. Nanti siapa yang nemenin Joya sampai tidur? siapa yang elus kepala Joya dan ngusap punggung Joya. kalau Joya di usilin lagi sama anak cowo, siapa yang mau marahin mereka ayah? nanti siapa yang nemenin Joya main masak - masakan lagi. Ayah jahat, ayah gasayang Joya lagi."

Joya kecil menangis, ayahnya pun berusaha menenangkannya. "Ayah sayang sama Joya. Joya putri kecil ayah. Putri kecil ayah yang sangat manis. Maaf sayang. Tapi ayah harus pergi. Ayah gaakan pernah lupain Joya," ucapnya sembari memeluk Joya dengan sangat erat. Sangat erat, yang ternyata adalah pelukan terakhir yang Joya rasakan sebelum ayahnya pergi meninggalkannya.

Joya ingat betul, bagaimana rasanya saat ia terbangun di pagi hari tanpa ada ayah di sampingnya. Ayah pergi, meninggalkan secarik kertas, dan makanan serta barang permintaan Joya yang ia letakkan di samping tempat tidur Joya. Joya tidak tahu bagaimana harus menggambarkan perasaannya kala itu, begitu sakit, sangat sakit, namun tak akan pernah bisa ia lupakan.

Tidak lama kemudian, Joya mendongakkan kepalanya dan menyeka air mata yang terus mengalir dari kedua pelupuk matanya. Lagi dan lagi, kenangan yang menyakitkan itu kembali terlintas di kepala Joya. Sekalipun mengingatnya hanya membuat dada Joya semakin sesak, namun ketika berada di kondisi seperti ini, hanya ayahnya lah yang ia butuhkan. Ia merindukan pelukan hangat itu. Pelukan yang mampu menenangkan Joya. Rasanya, mau sebanyak apapun dan seberapa berat masalahnya. Jika masih ada ayah di sampingnya, semua akan baik - baik saja.

Jam dinding di kamar Joya berbunyi, yang menandakan sudah masuk pukul 00.00 atau 12 malam. Joya segera naik ke tempat tidurnya sambil sesekali melihat ke arah neneknya yang mungkin sudah berada di alam mimpi. Joya hampir lupa, ia belum memberikan selimut yang biasa neneknya pakai saat tidur. Karena itu, Joya membuka lemarinya dan mengambil dua selimut berwarna cokelat. Tak lupa juga, Joya memakaikan selimut itu ke tubuh neneknya, karena cuaca malam ini sangat dingin. Suara gemericik air hujan yang menari - nari di atas atap rumah pun mulai terdengar keras. Membuat Joya semakin memeluk erat selimutnya. Hingga akhirnya, Joya pun tertidur pulas.

Pangeran SaktiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang