Prolog

630 17 3
                                    

Hey, namaku Aldi. Seorang murid kelas 2 di sebuah SMA yang cukup terkenal di daerah tempatku tinggal dulu. Aku memiliki seorang adik perempuan bernama Andine yang saat ini masih duduk di kelas 3 SMP. Dan tak lupa kedua dua orang tuaku yang tengah berdiri di sampingku ini.

"apa benar ini tempatnya?" Ucapku dengan sebuah tas berisi pakaian tergantung di tangan kananku. Di depanku nampak sosok bangunan yang lumayan besar dengan pagar yang cukup tinggi "iya benar, ayah baru saja membelinya dari kenalan ayah dengan harga yang cukup murah" ucap Ayahku. Ayahku bernama Rony, beliau bekerja di sebuah bisnis perhiasan dan batu mulia di ibukota, dan dari pekerjaanya itulah ayah memiliki banyak kenalan dan relasi dari berbagai macam tipe orang.

"tapi Yah, kenapa Ayah membeli rumah di atas bukit seperti ini?" tanya ibuku yang baru saja turun dari mobil sedan yang kami kendarai. Ibuku ini bernama Ratih. Beliau adalah seorang wanita karir yang selalu sibuk dengan pekerjaanya, bahkan sekarang pun smartphone miliknya tidak dapat lepas dari genggaman perempuan berjuluk Office lady itu "dari segi ekonomis sih memang murah, tapi bukankah lebih baik jika kita beli yang agak mendekati kota?" imbuhnya

"sudahlah... ayo kita masuk dulu" kata ayahku yang kemudian mengeluarkan segenggam kunci dari saku celananya. Pintu pagar yang kami lewati agaknya telah berdiri puluhan tahun, terlihat jelas dari karat dan bunyi pintu yang berdecit keras ketika kami buka.

"hmm lumayan. Cat rumahnya masih bersih" sanjung ibuku

"benar kan? Apa aku bilang" Ayahku yang merasa beruntung telah membeli rumah tersebut agaknya sedikit bangga.

Kami bertiga kemudian memasuki rumah, tunggu dulu... bertiga?

"Oy yah, adik masih ada di mobil" ucapku pada ayah yang sudah terlebih dahulu masuk ke dalam rumah yang baru saja kami beli tersebut.

"Ah. Bisa tolong kamu bangunkan? Ayah akan melihat-lihat sebentar"

Aku yang mendengar perintah dari ayahku tersebut langsung berjalan menuju mobil sedan kami yang terparkir tepat di depan pintu gerbang rumah. Dari balik jendela mobil yang hitam, aku melihat jelas sosok adikku, Andine yang tengah tertidur lelap dengan sebuah boneka pisang di dalam pelukannya.

"Din... bangun" ucapku pelan. Namun adikku masih juga belum terbangun, nampaknya tidurnya terlalu lelap "kita sudah sampai, mau sampai kapan kau tidur?" kataku sembari menggoyang pelan tubuhnya yang mungil.

"apaan sih? Aku masih ngantuk" Andine yang akhirnya terbangun kemudian mengusap pelan kedua matanya

"apa kau mau aku kasih jurus membangunkan milikku lagi?" ucapku sedikit kesal dengan tingkah adikku yang satu ini

"gak... enggak pokoknya! Huh..." adikku yang terpaksa bangun itu kemudian turun dari mobil namun masih memeluk boneka pisang kesayangannya "dimana ini?" imbuhnya

"rumah baru kita. ayo ayah sudah menunggu di dalam" ucapku sambil mendorong pelan tubuh adikku yang baru saja menginjak umur 14 tahun seminggu yang lalu itu "iya, ga usah dorong-dorong aku jalan kok" ucapnya pelan.

-Krieet

Suara pintu depan yang berdecit itu membuat telingaku sedikit geli. Aku dan adikku yang baru saja memasuki rumah baru kami itu agak kagum dengan betapa luasnya rumah yang berdiri tepat di atas bukit tersebut "ini rumah atau istana?" tanyaku

"Aldi, Andine ayo kemari" terdengar suara Ibuku yang memanggil kami berdua dari dalam sebuah ruangan. Kami yang mengenali sumber suara tersebut kemudian memasuki ruangan di mana Ibu memanggil kami.

"Nampaknya rumah ini adalah milik salah seorang bangsawan belanda, lihat lukisan ini" ucap Ibu sambil menunjuk ke sebuah lukisan seorang perempuan yang mengenakan gaun yang biasa dipakai seorang bangsawan. Aku memandang ke arah lukisan tersebut, tapi entah mengapa perasaanku mengatakan bahwa ada sesuatu yang aneh dengan lukisan ini.

"Ada apa kak?" panggilan Andine membuatku menarik diri dari lukisan tersebut "ah tidak perempuan di lukisan ini sangat cantik" ucapku mengalihkan perhatian

"lebih cantikan aku dong, haha"

"Pede-mu itu"

Ibu masih melihat-lihat sekitar ruangan yang nampaknya adalah sebuah ruang makan itu, sedangkan aku dan Andien mencari keberadaan Ayah yang kata Ibu tengah memeriksa di lantai 2. Tangga rumah yang terbuat dari batu marmer dan lampu gantung yang nampak berkilau menambah mewah rumah yang kami jelajahi tersebut.

"Yah-!" ucapku sedikit keras. Namun tidak ada sedikitpun suara yang menjawab panggilanku tersebut.

"Ayah di mana?" tanya adikku. Aku hanya menggangkat kedua bahuku pertanda tidak tahu

"kita coba cari saja, kau ke sana dan aku ke arah sini"

"ogah, kita cari bersama" Andien kemudian meremas lengan bajuku dan berdiri tepat di belakangku.

"hee... takut ya?" sindirku yang kemudian dibalas oleh sebuah cubitan keras di lengan kananku.

Kami berdua menjelajahi kamar demi kamar untuk menemukan Ayah kami yang katanya sedang memerika lantai ini "Sepertinya ini kamar utama" ucapku yang baru saja memasuki kamar yang nampaknya lebih besar dari kamar-kamar yang baru saja kami jelajahi.

"kak... kita keluar yuk, aku ga suka dengan kamar ini" rengek Andine

"paan sih? Mumpung di sini kita lihat-lihat dulu napa?" kataku pelan

Di kamar utama tersebut terdapat sebuah ranjang berukuran King dan sebuah lemari yang lumayan besar, nampak cocok untuk tempat bersembunyi. Aku memberanikan diri membuka pintu lemari tersebut.

"Siapa disana?! Hahaha kayak seorang detektif" ucapku kegirangan

"kayak anak SD saja"

"Andine? Aldi? Sedang apa kalian di situ?" ucap Ayah yang kebetulan melihat tingkah konyolku menirukan sebuah film detektif itu

"ayah kemana saja sih? Kami berdua cari dari tadi" ucap Andine kesal

"ayah baru saja selesai mengecek loteng, nampaknya perlu sedikit di bersihkan loteng rumah ini"

Selesai dengan tugas kami untuk mencari ayah kami bertiga turun ke lantai dasar dan mendapati Ibu yang masih sibuk dengan smartphone miliknya "bagaimana?" tanya Ibu

"aman, sepertinya rumah ini sudah siap ditinggali" ucap Ayah. Ibu kemudian berdiri dan menarik koper miliknya menuju ke lantai dua sedangkan ayah berjalan menuju ke arah dapur untuk mengecek gas dan persediaan makanan.

"mau sampai kapan kau meremas lenganku?" tanyaku pada Andine yang masih menggenggam erat lengan bajuku itu

"cerewet, huh" dilepasnya lengan bajuku dan dipeluknya boneka pisang yang sedari tadi menemani kami berkeliling.

"kau mau kamar di bawah atau di atas?" ucapku yang kemudian memanggul tas berisi pakaian milikku.

"kita bersebelahan aja ya? Plis" pintanya sedikit memelas. Aku yang tahu sifat-sifat dari adikku yang satu ini terpaksa mengalah dan membiarkannya mengikutiku dari belakang "paling enggak ya bawa sendiri kopermu" adikku hanya tertawa melihatku menenteng dua buah koper di kedua tangannku.

Aku berjalan menuju ke kamar paling ujung di lantai dasar, dan seperti yang kami sepakati adikku berada di ruangan tepat di sebelahku.

-Klak

Aku membuka pelan pintu kamar yang aku pilih, gorden putih dan sebuah ranjang berukuran besar menyapaku. Sebuah lemari yang identik dengan yang aku temukan di kamar utama juga terlihat berdiri kokoh di ruangan ini.

Aku melemparkan tas milikku ke atas meja kecil di ujung ruangan dan merebahkan diriku di ranjang empuk tersebut.

"ah.... Nikmat" aku kemudian mengambil smartphone milikku dan mengecek apakah ada pesan masuk di dalamnya.

"hmm..." ada 3 pesan masuk di handphone kesayanganku itu "bukankah aku sudah bilang mau keluar kota? Ah sudahlah aku balas besok saja" aku mengurungkan niat untuk membalas pesan temanku yang menanyakan keberadaanku itu. Rumah ini lumayan menyenangkan, tapi nampaknya agak terlalu besar hanya dengan kami berempat di tempat ini.

Rasa lelah yang akibat perjalanan jauh dari rumah lamaku ke tempat ini akhirnya berdampak padaku. Suara jam dinding yang berdetak pelan, perlahan mengantarku menuju ke alam seberang yang biasa orang bilang dengan alam mimpi.

I'm Coming for You : Midnight (Discontinued)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang