Chapter 2

69 6 0
                                    


"Sebenarnya aku juga ingin mengajakmu kencan, berdua saja."

Third mengoperkan rokok pada Khai dengan alis terangkat tinggi. "Apa yang membuatmu bicara begitu?" tanyanya sambil meniupkan asap dari mulut.

"Apa yang membuatmu bicara begitu?" Khai membalikkan pertanyaan. "Bukankah kita berpacaran?"

"Ya, tapi kau mendengar yang dikatakan Two tempo hari," desah Third sambil mengubah posisi menjadi berbaring telentang, kepalanya berbantalkan pangkuan Khai. "Pergi berduaan dengan sesama cowok membuatmu menjadi banci."

"Third. Kau tahu itu tidak benar."

"Tidak apa-apa, aku bukannya buta dengan persepsi orang-orang sekitar." Third mengerling ke arahnya dan tersenyum kecil. "Itu alasan awal aku bergabung dengan kelompok kalian. Agar menjadi lebih maskulin. Agar setidaknya aku bisa mematahkan stereotipe, padahal aku memenuhi semua senarai stereotipe itu."

Berlama-lama Khai memandang Third: matanya yang bulat, bibirnya yang ranum, rambutnya yang lebat dan dipotong dengan rapi. Dia tidak akan menjadi hipokrit; ketika awal bertemu Third tahun lalu, dia memang merasa pemuda itu akan menghabiskan masa SMA sebagai pondasi piramida. Third terlalu ramping, terlalu kalem, terlalu cantik untuk masuk dalam hutan rimba bernama sekolah mereka.

Siapa yang menyangka persepsi itu dapat dibalik hanya dalam waktu satu tahun. Third menyimpan begitu banyak kekuatan di antara kedua pundaknya yang sempit. Keberaniannya dapat dibagi-bagikan kepada semua orang di sekolah mereka, dan masih akan lebih besar daripada milik para pembuat onar.

Sedangkan Khai. Dia tidak lebih dari seorang pecundang.

"Hei." Third tertawa. "Kau akan menjatuhkan abu rokok ke wajahku?"

"Oh, keparat." Cepat-cepat Khai mengetukkan batang rokok yang diam-diam dimamah api ke tempat sampah di sebelah bangku taman.

"Berikan padaku jika kau tidak mau. Aku kedinginan."

Khai menyingkirkan tangan Third yang terangkat, kemudian mencondongkan badan semakin jauh untuk mengisap sigaret. Tetapi Third mengangkat tangannya yang lain, sengaja mengganggunya. Mau tidak mau Khai terkekeh dan menggoyangkan tangan mereka yang masih saling menggenggam.

"Aku tidak mengajarimu merokok untuk menjadi pecandu."

"Psh, dasar pelit." Third memberengut, tetapi sejurus kemudian dia kembali menatap Khai dengan binar-binar yang tidak bisa disembunyikan. "Ke mana kau akan membawaku kencan?"

Kenyataan bahwa Third masih memikirkan hal itu membuat Khai merasa harus merunduk dan mencium hidungnya, membuat pemuda menggemaskan itu terkikik geli.

"Kau ingin pergi ke mana?"

Third menggumam penuh pemikiran, walaupun pada akhirnya tetap berkata, "Apakah terserah padaku?"

"Tentu saja. Aku bisa pergi ke mana pun jika bersamamu."

"Kupikir kalian akan terlambat lagi, seperti biasanya."

Seruan Two dari pintu masuk taman membuat Khai secara otomatis menegakkan badan. Dengan gerakan kasual Khai mengisap rokok untuk terakhir kali, sebelum menggerus ujungnya di tepi tempat sampah dan membuangnya. "Kau akan selamanya mengungkit kejadian satu kali itu, bukan begitu?"

"Apa yang kalian lakukan, berpangkuan seperti itu?" tanya Two dengan kening berkerut setelah tiba di depan mereka berdua. Serta merta Khai merunduk dan memeluk kepala Third di pangkuannya.

"Tolong bantu kami, Tuan Baik. Anak saya kedinginan jika harus tidur di luar malam ini."

Mengabaikan gelak tawa Two, Third mendorong dagu Khai keras-keras ke atas, kemudian bangkit duduk. "Kali ini kau yang terlalu lama. Bukankah kau bilang acaranya mulai pukul delapan malam? Tidak banyak bus yang pergi ke arah sana, kau tahu."

That WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang