Chapter 5

44 3 0
                                    


"Mungkin memang sebaiknya kita tidak bertemu satu sama lain untuk sementara waktu."

Khai menggaruk-garuk garis rambutnya, mencoba mengumpulkan kembali kendali dirinya yang nyaris longsor setelah mendengar permintaan Third. Dia menarik napas panjang, lalu menegakkan kepalanya lagi dan menatap kekasihnya lurus-lurus. Seperti biasa, Third Techapol tampak tenang dan terkendali.

"Kenapa kita harus lakukan itu?"

"Two dan Bone berpikir kita bertengkar," kata Third terus terang. "Mereka berasumsi ini ada hubungannya dengan kejadian akhir pekan lalu. Tapi apa yang bisa kukatakan? Sejujurnya aku juga berpikir kita sedang bertengkar. "

"Kita tidak bertengkar!" seru Khai frustrasi. Bahkan angin yang menderu kencang di atap tidak mampu menurunkan suhu wajahnya yang terasa mendidih. "Aku hanya sedang berpikir—"

"Kau tidak perlu memikirkannya," potong Third cepat. "Aku serius. Inilah yang terjadi ketika kau mencoba memikirkan hubungan kita."

Jika Third bukan kekasihnya—jika Third bukan Third—mungkin Khai sudah mempertimbangkan kemungkinan menonjok wajahnya. Sudah cukup dia merasa tidak berdaya karena tidak sanggup melakukan apa-apa, kini Third juga berkata sebaiknya dia tidak memikirkannya. Seolah-olah hanya dirinya seorang yang menganggap hubungan ini patut diperjuangkan.

"Lalu apa yang harus kulakukan tentang ini?" tanya Khai, telunjuknya bergantian menuding dirinya dan Third. "Aku tidak suka melihatmu merasa harus bersembunyi hanya karena kau menyukaiku. Aku ingin kau juga bisa bebas membicarakan hubungan kita, seperti semua orang."

Ujung bibir Third terangkat sedikit, seperti sudah menduga itu yang akan dikatakan Khai. "Justru karena aku menyukaimu, aku lebih memilih bersembunyi. Dengan begitu, kita bisa bersama-sama untuk waktu yang lebih lama."

Khai menyurukkan kedua tangan ke rambut, menarik napas panjang dengan frustrasi semata-mata agar tidak meledak sungguhan. Tidak ada yang bisa menembus kekeraskepalaan Third, itu salah satu dari hal pertama yang dipelajari Khai dari pemuda di depannya.

"Khai," tangan Third meraih sebelah pergelangan Khai, dengan lembut menurunkannya dari kepala, "suatu hari nanti kau akan menyadari bahwa pengakuan orang lain bukanlah hal terpenting dalam hubungan kita. Aku hanya tidak ingin kau mempelajarinya dengan cara yang keras. Itu akan terlalu menyakitkan."

Selama beberapa saat Khai hanya memandang Third, senyum samar serta tatapannya yang sendu, mencoba mengartikan keduanya. Dia mengembuskan napas ketika gagal melakukannya dan beralih meraih tangan Third yang lain, menggenggam keduanya dengan erat.

"Kau sudah beberapa kali mengatakannya," katanya lirih, "apakah kau pernah melaluinya?"

Khai tidak mengharapkan pertanyaan sensitif itu dijawab sekarang juga, tetapi Third lantas mendongak ke langit siang, tatapannya menerawang menembus ruang dan waktu yang sudah lama lewat.

"Sejak awal menyadari aku menyukai lelaki, aku punya tipe ideal yang sama, kau tahu," kata pemuda itu, pipinya sedikit bersemu oleh damba. "Mereka harus tinggi dan tampan, karena aku adalah orang gampangan seperti ini. Mereka boleh kelihatan cuek, tapi mereka harus punya hati yang amat baik, perhatian yang amat besar, dan, tentu saja kesabaran amat luas. Lebih bagus lagi kalau mereka punya senyum memikat dan tawa yang renyah."

Third menunduk lagi, senyumnya ikut meredup. "Ada satu orang yang memenuhi kriteria itu saat aku masuk asrama. Seorang kakak kelas. Dia yang bertugas mengawasi bagian asrama yang kutempati, jadi tentu saja dia atentif—dan tentu saja aku menyukainya. Aku masih berusia tiga belas ketika itu, tidak tahu apa-apa soal dunia, jadi aku menyatakan perasaanku padanya ..."

That WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang