Chapter 16 - END

71 8 1
                                    


"Maafkan aku."

Andaikata Khai berbicara dua detik lebih awal saja, Third mungkin tidak akan mendengarnya di antara gemuruh susu yang sedang dipanaskan. Suaranya yang lemah dengan mudah tersaput hilang, seakan-akan sebenarnya dia pun enggan berkata. Third membiarkan permintaan maaf yang kesekian kalinya itu mengambang sementara dia menuangkan susu ke mug.

Pada akhirnya, dia meletakkan kedua mug di atas meja makan dan duduk di seberang Khai. "Kau sudah cukup minta maaf malam ini. Dan tidak satu pun dari daftar panjang itu sebenarnya sebuah kesalahan yang patut dimintakan maaf."

"Sial, bahkan di saat seperti ini aku tetap diomeli," kata Khai seraya menyeringai, dan untuk kali ini Third membiarkannya. Baguslah jika pemuda itu sudah merasa lebih baik sehingga bisa menggodanya. "Aku ... yah, kurasa aku meminta maaf karena sudah bertingkah ganjil."

Tanpa berbicara Third memperhatikan Khai meneguk susu hangat. Perlu sekitar dua puluh menit hingga Khai berhasil mengumpulkan kembali kendali dirinya, dan bahkan setelah itu kekasihnya hanya tertunduk murung di depan meja makan. Di situasi seperti ini, ketika mereka secara harfiah berada dalam jangkauan dengar orang tuanya, Third hanya bisa menawarkan susu hangat serta genggaman tangan.

Betapa memalukan.

"Aku akan pulang sebentar lagi. Jangan khawatir," tambah Khai, menyalahartikan bungkamnya Third.

Dan dia bahkan tidak bisa meminta Khai tetap tinggal. Third harus menarik napas untuk menyingkirkan kefrustrasian yang meremas dadanya. "Aku bisa mengantarmu."

"Jangan konyol. Sekarang sudah lewat tengah malam."

"Aku serius."

Senyum Khai meluntur. Pemuda itu sekali lagi menunduk, memandangi ibu jarinya yang mengusap-usap dinding mug. "Kupikir ... mulai sekarang kau tidak perlu pergi ke rumahku."

"Kenapa?"

Jeda yang lebih panjang menyambut, dan sesuatu dari keheningan berat itu membuat Third berfokus kepada lebam di pipi Khai serta jejak air mata yang tertinggal sebagai garis kusam di kulitnya. Seragam sekolahnya itu pasti belum dilepas sejak berjam-jam lalu. Dia kembali berusaha menatap mata Khai.

"Apa yang terjadi di rumahmu?"

Khai mulai melarikan tangan ke rambut; gestur yang hanya muncul saat dia gelisah. "Bukan itu ..."

"Khai," panggil Third lembut. "Aku tahu kau datang ke sini karena sebuah alasan. Biarkan aku mendengarnya."

"Ayahku datang," kata Khai begitu cepat, begitu mudah dari bibirnya, seakan-akan sebenarnya sudah lama dia ingin mengucapkannya—dan segera dia sesali pula. Sambil mendesah, Khai menurunkan tangan dari rambut ke wajahnya, menghindari tatapan terkejut Third selama melanjutkan, "Dan dia ingin aku pindah bersamanya."

Third terhenyak. "Pindah? Tapi kau sudah kelas dua belas."

"Pria itu tidak akan peduli meskipun aku berada di ambang kematian," gumam Khai di bawah napasnya sembari menautkan kesepuluh jemari untuk dijadikan sandaran dahi. "Aku tahu ini terdengar konyol, tapi ... aku tidak mau pindah bersamanya, Third."

"Bagian mana yang konyol dari itu?" tanya Third, kebingungan dengan nada suara Khai yang melandas oleh malu dan kalah. "Tentu saja kau tidak mau. Kota ini rumahmu, sekolahmu juga di sini, walaupun aku tidak bisa berkata sekolah menyenangkan belakangan ini .... Poinnya adalah kau punya semua alasan untuk menolak."

Khai mendengus, lalu berangsur-angsur dia mulai tertawa. Bukan tawa menyindir atau kesal: benar-benar gelak tawa yang membuat kedua pundaknya berguncang dan Third disergap cemas orang tuanya akan terjaga karena mendengarnya. Third sedikit terlonjak ketika Khai mendadak melemparkan kepala ke belakang.

That WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang