Chapter 6

39 4 1
                                    


"Aku tidak yakin aku bisa melalui sepanjang hari tanpa menciummu."

Third cekikikan, memalingkan muka tetapi tidak menghindar ketika bibir Khai berganti menyasar lehernya. "Itukah alasanmu lagi-lagi datang begitu awal?"

"Kapan lagi kita punya waktu berdua saja?" gumam Khai di kulit Third yang berwangi segar. Dia mengecupnya halus, menikmati kehangatan serta denyut nadi di baliknya. "Sekarang aku harus terjebak di studio sepulang sekolah untuk latihan."

"Kau bisa saja tidak melakukannya. Kalau kau berhenti menjadi orang baik yang selalu berkata 'ya'."

Dengan cepat Khai memundurkan wajah, membelalak menatap Third. "Kau berpikir aku orang baik?"

"Yah, kau mau-mau saja diminta menggantikan posisi seseorang," bisik Third, kembali mengejar bibir Khai meski hanya untuk berbicara di atasnya. "Bagaimana aku harus menyebutmu, jika bukan orang baik?"

Khai menyandarkan tangan di dinding sebelah Third, menjadikannya tumpuan sementara dia condong semakin ke depan, menyatukan tubuh mereka. "Bagaimana kalau aku melakukannya untuk membuatmu terkesan?"

"Omong kosong." Third memutar bola mata.

Dinginnya pagi tidak lagi mengganggu selama Khai dapat mencumbu Third. Bibirnya yang manis, lidahnya yang panas—hanya tiga hari belakangan dia tidak bisa menciumnya, tetapi Khai tidak pernah merasa sedemikian mendamba. Dia menurunkan tangan ke kedua pinggang ramping Third, meremasnya lembut seiring ciuman mereka semakin dalam. Panas ini tidak cukup; dia membutuhkan lebih.

"Kau benar-benar datang kemarin," bisik Third, lantas merintih menikmati kecupan yang dijejakkan Khai di sepanjang pundaknya.

"Datang ke mana?" tanya Khai sambil membuka lebih banyak kancing kemeja Third. Jika bisa, dia ingin memuja seluruh bagian tubuh Third, setiap lekuk dan tonjolnya.

"Ke restoran. Kupikir kau akan langsung pulang."

"Mustahil aku pulang jika punya kesempatan untuk bisa melihatmu lebih lama."

"Berhenti menelanjangiku, aku kedinginan," kekeh Third setengah terengah. Khai mendongak.

"Kupikir kita akan melakukannya."

"Pada pukul tujuh pagi? Dasar mesum." Third mendorong pelipis Khai menggunakan telunjuk, kemudian cepat-cepat mengancingkan kemejanya lagi. Dari caranya menggosok-gosok kedua lengan sambil sedikit bergidik, tampaknya dia benar-benar kedinginan. Tidak mengherankan; bahkan lapangan yang selalu terbakar sinar matahari dapat tampak sendu dan sembap tanpa adanya kehidupan. Tempat persembunyian mereka di atap juga tak kalah membeku.

Khai melepas jaket dan menyampirkannya ke kedua pundak Third. "Kau mau kembali ke kelas?"

"Sepuluh menit lagi," desah Third, lalu duduk bersila dengan punggung menyandar dinding. Khai menyusul duduk di sebelahnya. "Biasanya aku tinggal di kelas sampai salah satu dari kalian tiba, jadi perubahan suasana seperti ini terasa cukup menyenangkan."

"Kenapa kau selalu datang pagi-pagi?"

Third menengadah, mengangkat satu tangan dengan jari-jemari terentang ke arah matahari. "Aku tidak suka berlama-lama di rumah."

"Huh."

"Klise, kan?" Third menoleh sambil tersenyum. Senyum kesopanan yang hanya ditujukan agar mereka tidak perlu membahas topik itu lebih jauh.

"Aku hanya berpikir ini alasan sempurna untuk mengajakmu menginap di rumahku."

"Berengsek kau." Third menonjok lengan Khai.

That WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang