Chapter 3

49 4 3
                                    


Temui aku di tempat persembunyian kita saat jam penjaskes.

Secara refleks Khai menoleh melalui pundak, tetapi meja Third yang berada tepat di belakangnya masih kosong. Dia mendesah sambil meluruskan pandangan kembali ke ponsel, kemudian mengetikkan 'OK' dan segera menutup flip-nya. Seolah-olah dengan begitu dia dapat menghentikan laju kehancuran yang tak terhentikan seperti domino.

Akhir pekan lalu merupakan bencana, dan Khai tidak dapat menanggulanginya kecuali berdiri seperti orang bodoh di hadapan kedua temannya. Seperti orang bodoh pula, dia tidak bisa mencegah Third menghambur meninggalkan mereka.

Pantas saja Third amat menakuti gaya tak terlihat ini. Mereka memang dapat terpisahkan karenanya, dan bahkan Khai tidak mampu memperjuangkannya.

"Third benar-benar membolos, huh?" desah Two sambil menghenyakkan badan di kursi depan Khai. Dia sedang mengunyah roti isi, dan serta merta berhenti karena Khai menatapnya tak berkedip. "Apa? Kau tidak sadar sekarang sudah jam istirahat?"

Khai memang tidak menyadarinya. Dia seakan-akan berjalan di atas cangkang telur semenjak menginjakkan kaki di kelas pagi ini—dia yakin sekali seseorang akan berteriak bahwa dia homo keparat dan semua orang akan menertawakannya—dan hanya perlu beberapa jam berada di puncak kewaspadaan untuk membuat semua inderanya tumpul akibat kelelahan.

"Kau sudah meminta maaf pada Third?" tanya Two, belum menyerah mengajaknya bicara. "Kudengar dari Third kau mabuk sekali malam itu ... Demi Tuhan, kenapa pula kau minum amat banyak ketika kau tidak bisa menghadapi alkohol?"

"Third berbicara padamu?"

"Yah—aku datang ke rumahnya hari Minggu kemarin," kata Two sambil mengedikkan pundak. "Third bilang kalian minum lebih dari segelas yang diberikan, dan bahwa itu merupakan sebuah kesalahan. Maksudku, aku tahu itu adalah kesalahan sejak awal. Aku hanya mencoba memeriksa ulang karena tidak ingin pertemanan kita hancur karena sebuah kecelakaan."

"Kesalahan, huh," gumam Khai, menopang dagu dengan kedua telapak tangan. Itu bukan kesalahan; tidak ada yang salah dari dua orang yang saling mencintai untuk mengungkapkan cinta mereka. Tetapi tentu saja Khai tidak dapat membuktikan itu kepada seluruh dunia.

Two menepuk pundak Khai dengan gaya kebapakan. "Jangan terlalu murung begitu. Tidak ada orang yang melihat selain kami berdua. Reputasimu aman bersama kami, kawan."

Khai menatapnya lekat-lekat. "Kalian tidak akan memberitahu siapa-siapa?"

"Kau pikir siapa aku?" Two membusungkan dadanya. "Aku tidak akan mengkhianati teman-temanku sendiri."

"Walaupun aku gay?"

Two terdiam sejenak—dan Khai mengernyit cemas menantikan reaksinya—tetapi pemuda tambun itu lantas tertawa. "Kawan, ayolah. Satu kali mencium laki-laki tidak akan membuatmu homo. Kau mabuk, itu sebabnya."

Ada tikaman rasa sakit di jantung Khai. Jadi inilah yang harus dilalui Third setiap kali identitasnya dianggap sebagai sebuah kesalahan, sebuah skenario terburuk yang tidak akan menjadi kenyataan. Khai menghela napas panjang, lalu mengangguk. "Kupikir kau benar."

"Tapi beritahu padaku," kata Two sambil beringsut mendekat, matanya bersinar-sinar nakal. "Bagaimana rasanya mencium Third? Terkadang dia bisa terlihat amat imut seperti cewek."

Sekilas, hanya untuk sepersekian detik, Khai ingin menonjok wajah Two. Dia memundurkan badan sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Aku tidak mau membahasnya."

"Baiklah, maaf. Aku tahu itu adalah pengalaman traumatis." Two mengangkat kedua tangan ke udara sebagai gestur berdamai. Bel di atas mereka berdering. "Oh, saatnya kita pindah ke gimnasium."

That WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang