Chapter 10

38 5 0
                                    


"Kalau itu maumu, aku hanya bisa memimpikan kencan pertama kita yang sungguhan."

Third berhasil menghentikan dirinya sebelum tertawa terlalu keras. Dia menoleh melalui pundak, memastikan pintu kamarnya masih tertutup, kemudian kembali menghadap buku latihannya di atas meja.

"Berhentilah bersikap dramatis. Kau lupa besok ujian dimulai?" bisiknya. "Aku tidak mau pergi ke mana pun sepulang sekolah karena harus segera belajar."

"Kita bisa belajar bersama," sahut Khai tidak terima di seberang sambungan. Third mengulum senyum geli.

"Apakah kau bahkan tahu caranya belajar?"

"Sialan, Third. Serendah itukah aku di matamu?"

Third terkekeh pelan dan melingkari satu pilihan jawaban. Hampir semua buku latihan yang dikerjakannya memiliki soal yang serupa, sehingga Third mungkin bisa menjawabnya dengan mata tertutup. "Aku tetap tidak mau. Lagi pula, mustahil kita sekadar belajar jika hanya berdua saja."

"Yah—anggap itu sebagai hadiah karena telah belajar?"

"Dasar mesum." Bunyi langkah kaki menaiki anak tangga segera saja membuat Third menegang. "Hei, Khai. Aku harus menutup teleponnya sebentar."

Ketika pintu kamarnya dibuka di belakang punggungnya, Third telah menyimpan ponsel di bawah sampul buku dan sekadar menopang dagu sambil membaca barisan soal di atas kertas. Dia menoleh setelah tiga detik, seakan-akan baru sadar.

"Oh, Ibu."

"Sekarang sudah pukul sebelas, Third," kata ibunya sambil berjalan masuk. Wanita itu meletakkan mug berisi susu hangat di atas meja belajar, kemudian tersenyum. "Segeralah tidur agar besok kau bisa mengerjakan ujian dengan pikiran segar."

"Sedikit lagi, Bu. Tinggal beberapa soal lagi."

Ibunya mengelus-elus rambut Third dengan lembut. "Kau selalu belajar dengan amat keras. Kau tahu Ibu tidak keberatan meski kau tidak mendapat peringkat pertama."

"Nilai-nilaiku akan masuk dalam pertimbangan seleksi masuk perguruan tinggi, tentu saja aku harus mempertahankan peringkat."

"Dari dulu kau selalu berkemauan kuat, kau tahu itu?"

"Mau bagaimana lagi. Besok ujian dimulai dan masih banyak yang belum kami kuasai." Third mendongak. "Aku akan menyelesaikan ini, Ibu. Sebaiknya Ibu juga segera tidur."

Namun, ibunya masih bergeming. Ekspresi wanita itu mulai tidak menentu. "Third ... sebenarnya ayahmu ingin tahu pergi ke mana saja kau, sampai-sampai tidak pernah menghadiri kegiatan di gereja."

Sergapan ketakutan yang familier mencapai hati Third, terlalu cepat untuk bisa dicegah. Dia mencengkeram bolpoin lebih erat.

"Ibu melihatku. Aku sibuk dengan kegiatan di sekolah. Aku belajar."

"Ibu tahu, Sayang. Tentu saja Ibu tahu," kata ibunya cepat sambil mengusap-usap pundak Third. "Hanya saja, ayahmu khawatir kau terseret dalam pergaulan yang salah. Banyak anak seusiamu yang menghabiskan waktu dengan berpesta dan minum-minum."

Sekali lagi Third tersenyum, satu yang telah terasa amat familier di bibirnya. "Ibu tidak perlu mengkhawatirkan itu soalku. Tempat terjauh yang pernah kami kunjungi adalah pusat perbelanjaan; kami semua terlalu miskin untuk bisa melakukan lebih banyak."

Setidaknya itu membuat ibunya ikut tersenyum. Wanita itu menepuk-nepuk kedua pundaknya, sekali lagi mengingatkannya untuk segera beristirahat, kemudian pergi meninggalkan kamar. Hanya setelah dia yakin langkah kaki ibunya tidak lagi terdengar, Third dapat melempar kepala ke belakang dan mengembuskan napas keras-keras.

That WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang