Chapter 13

29 4 0
                                    


"Aku ingin semua orang tahu tentang kita."

Meski bukan pertama kali mendengarnya, tetap saja Third terkejut tiap kali Khai mengucapkannya. Dia berhenti mengamati kaki mereka yang melangkah seirama, kemudian mendongak, tertawa sedikit. "Bagaimana kau akan melakukannya?"

"Yah, mudah saja. Lihat ini." Khai melepaskan pegangan tangan mereka dan berlari ke puncak tanjakan. Dia menangkupkan kedua tangan di seputar bibir, menjadikannya corong sementara dia berteriak, "Pengumuman, semuanya! Aku berpacaran dengan Third Techapol sejak semester lalu dan kami amat sangat berbahagia!"

Third tergelak sambil berjalan menyusul Khai. "Kau gila."

Tetapi Khai tidak mengindahkannya. Pemuda itu masih berteriak pada langit kelabu di atas mereka. "Kami pergi makan bersama dan bertelepon tiap malam, seperti yang dilakukan semua orang pacaran di luar sana. Apa yang akan kalian lakukan dengan itu?"

Khai mengakhirinya dengan mengacungkan kedua jari tengah tinggi-tinggi ke atas. Third menggelengkan kepala.

"Kau tahu, kau benar-benar—"

Lalu dia melihat ayahnya berkelebat di belakang Khai. Memukul kepalanya keras-keras hingga pemuda itu ambruk ke tanah.

Dunia di sekitar Third mulai lumat menjadi ruang tengah yang telah familier, dan Third ditelan oleh kenyataan yang mengerikan. Ini rumahnya. Ini kejadian yang pernah terjadi padanya. Ayahnya menjulang dengan tangan terkepal serta wajah merah padam menahan amarah, tetapi yang kini meringkuk di depan pria itu bukanlah dirinya, melainkan Khai. Merunduk tanpa daya, terlucuti dari semua kepercayaan diri dan ketenangannya, sehingga hanya menyisakan anak kecil yang babak belur.

Sedangkan dirinya. Dia berdiri di perimeter ruang tengah, menonton, tidak mampu mencegah pukulan menyakitkan serta teriakan memekakkan itu. Dia menyaksikan bagaimana Khai berhenti bergerak; bagaimana tepian tubuhnya mulai geripis dan melongsor bak tumpukan abu, sebelum perlahan-lahan mengabur dari pandangannya.

Tidak, tidak, tidak.

Ayahnya menatap Third bengis. "Ini adalah kesalahanmu, Third."

Seluruh tubuh Third mengejang, matanya terbuka lebar-lebar. Jam weker di atas nakas berdering tak henti-henti, memekakkan dalam kamar yang sunyi di celah antara malam dan pagi yang masih melebur.

Mimpi. Itu hanya mimpi. Third memejamkan mata, perlahan-lahan mengembuskan napas melalui mulut, sebelum mematikan jam weker kemudian bangkit duduk. Sekali lagi dia mengatur napas, menunggu hingga detak jantungnya berangsur-angsur normal. Dia bukannya tidak mengerti mengapa mimpi itu datang kepadanya sebagai teka-teki mosaik yang memusingkan. Dia telah memikirkannya sejak malam sebelumnya, sejak minggu sebelumnya.

Ini hari pertama tahun ajaran baru.

Dengan langkah terseret Third pergi ke kamar mandi. Pemuda di seberang cermin lebih tampak seperti mayat hidup, dengan mata melesak serta lingkaran hitam yang mengelilingi. Kulitnya begitu pucat sampai-sampai nyaris transparan, seperti selembar kertas yang sudah kusut. Third tidak ingin berlama-lama memandangnya. Tidak ada yang pantas dicintai dari dirinya.

Mengenakan seragam, dan sengaja tidak mengganti kacamata dengan lensa kontak, Third mengambil tasnya dari meja belajar sebelum berjalan menuruni tangga. Seperti biasa, ibunya sedang sibuk membuat sarapan.

"Selamat pagi, Third," kata wanita itu, cepat-cepat meniriskan sayuran yang baru saja dicuci dan mengelap tangannya. "Ibu sudah menyiapkan kotak bekal untukmu. Tunggu sebentar."

Third membuka mulut untuk menolak, tetapi segera mengatupkannya lagi. "Aku akan makan di rumah."

Ibunya terkesiap. "Sungguh?"

That WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang