7

68 9 0
                                    

Di suatu sore yang cerah, Renjun dan Jeno bermain kejar-kejaran di halaman istana. Renjun, dengan senyum penuh kegembiraan, berlari secepat yang ia bisa, berusaha menghindari tangan Jeno yang siap menangkapnya. Tawa mereka bergema di seluruh istana, menunjukkan betapa akrabnya mereka berdua.

"Jeno, kamu nggak akan bisa nangkap aku!" teriak Renjun sambil berlari menuju sudut istana yang lebih gelap dan jarang dilalui orang. Jeno tertawa kecil, mempercepat langkahnya untuk mengejar Renjun.

Merasa dirinya sudah cukup jauh dari Jeno, Renjun melihat sebuah tempat yang tampak seperti tempat persembunyian yang sempurna—sebuah pintu kecil yang setengah tertutup di bagian belakang istana. Ia mendekatinya dengan hati-hati, melangkah masuk ke dalam tanpa menyadari bahwa tempat itu adalah ruangan yang selalu dilarang oleh orang tuanya untuk ia kunjungi.

Ruangan itu gelap dan dingin, berbeda dengan bagian lain dari istana yang penuh cahaya dan hangat. Namun, rasa ingin tahu Renjun mengalahkan perasaan takutnya. Ia bersembunyi di balik sebuah lemari tua, menunggu Jeno untuk mencarinya. Jantungnya berdebar kencang, setengah karena permainan, setengah karena nuansa aneh dari ruangan itu.

Waktu berlalu, dan Renjun mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tidak ada suara langkah kaki Jeno yang biasanya mendekat saat ia sedang mencari Renjun. Suasana di ruangan itu semakin membuatnya merasa tidak nyaman. Ia mulai berpikir untuk keluar dari persembunyiannya, tetapi rasa penasaran masih menahannya di tempat.

Di saat yang bersamaan, Jeno yang kehilangan jejak Renjun mulai khawatir. Ia berkeliling istana, memanggil-manggil nama Renjun, tetapi tak ada jawaban. Jeno lalu teringat ruangan terlarang yang selalu diingatkan oleh orang tua Renjun untuk tidak didekati. Pikirannya langsung tertuju pada kemungkinan terburuk.

Sementara itu, di dalam ruangan, Renjun mulai merasa aneh. Bayangan di sekitar ruangan tampak bergerak, dan suara berbisik yang lembut mulai terdengar di telinganya. Rasa takut mulai menguasainya, dan ia memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya. Saat ia beranjak keluar, pintu yang tadi terbuka setengah kini tertutup rapat.

"Jeno...?" Renjun memanggil pelan, namun tidak ada jawaban.

Ketika ia mencoba membuka pintu, pintu itu tidak bergerak sama sekali. Renjun mulai panik. Tangannya gemetar saat ia berusaha keras membuka pintu, tetapi usahanya sia-sia. "Jeno! Tolong aku!" teriaknya dengan suara yang bergetar.

Di luar, Jeno mendengar suara Renjun yang samar. Ia berlari ke arah ruangan terlarang itu, dan tanpa ragu, ia membuka pintu dengan kuat. Ketika pintu terbuka, Jeno melihat Renjun berdiri di tengah ruangan, matanya penuh dengan ketakutan.

"Renjun, kamu nggak apa-apa?" tanya Jeno cemas sambil memeluknya erat.

Renjun mengangguk pelan, tetapi tubuhnya masih gemetar. "Aku... aku takut, Jeno. Di sini aneh," gumamnya dengan suara pelan.

Jeno mengusap kepala Renjun dengan lembut, berusaha menenangkan adiknya. "Ayo, kita keluar dari sini. Tempat ini memang nggak aman."

Mereka keluar dari ruangan itu dengan cepat, dan saat pintu tertutup di belakang mereka, perasaan dingin yang mencekam perlahan-lahan hilang. Renjun tak lagi berani menoleh ke belakang, dan Jeno memastikan mereka segera kembali ke bagian istana yang lebih aman.

Sesampainya di tempat yang lebih terang, Jeno memegang tangan Renjun erat-erat. "Renjun, janji ya, kita nggak akan masuk ke ruangan itu lagi."

Renjun mengangguk pelan. "Aku janji, Jeno."

Meskipun permainan kejar-kejaran mereka berakhir dengan ketakutan, Jeno dan Renjun tahu bahwa mereka harus lebih berhati-hati ke depannya. Renjun belajar bahwa ada alasan mengapa orang tuanya melarangnya mendekati ruangan itu, dan ia bertekad untuk tidak melanggar aturan lagi.

Renjun dan Jeno berjalan kembali ke bagian utama istana dengan langkah cepat. Wajah Renjun masih terlihat pucat, dan ia menggenggam tangan Jeno dengan erat. Setibanya di ruang utama, mereka menemukan Ayah dan Ibu Renjun sedang berbincang serius dengan beberapa penasihat kerajaan. Kedua orang tua Renjun segera melihat ada sesuatu yang tidak beres.

"Ada apa ini, Jeno? Renjun, kenapa kamu terlihat begitu ketakutan?" tanya Ayah Renjun dengan nada cemas.

Renjun menundukkan kepala, merasa bersalah dan tidak tahu harus berkata apa. Jeno menjawab dengan suara penuh penyesalan, "Kami tadi bermain, Ayah. Renjun bersembunyi di ruangan bagian belakang istana... tempat yang biasanya dilarang."

Ibu Renjun langsung terlihat terkejut. "Ruangan terlarang itu? Renjun, sayang, kamu masuk ke sana?" suaranya penuh kecemasan.

Renjun mengangguk pelan, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku nggak sengaja, Ibu. Aku cuma... aku cuma mau bersembunyi. Aku nggak tahu tempat itu menakutkan."

Ayah Renjun menarik napas dalam-dalam, menahan rasa khawatir yang melanda dirinya. Ia kemudian berlutut di depan Renjun, memegang kedua pundak anaknya dengan lembut. "Renjun, tempat itu berbahaya. Ayah dan Ibu melarangmu masuk ke sana bukan tanpa alasan. Kami hanya ingin kamu selalu aman."

"Maaf, Ayah, Ibu...," Renjun terisak, rasa bersalah memenuhi hatinya.

Ibu Renjun memeluk Renjun erat, mengusap punggungnya dengan lembut. "Tidak apa-apa, sayang. Yang penting kamu sudah aman sekarang. Tapi tolong, jangan pernah masuk ke sana lagi."

Ayah Renjun juga memeluk mereka berdua, menenangkan Renjun yang masih menangis. "Ayah hanya ingin kamu selalu dilindungi, Renjun. Jangan pernah ragu untuk memberitahu Ayah atau Ibu kalau kamu merasa takut atau ada yang mengganggu."

Renjun mengangguk sambil terisak, merasakan kehangatan dari pelukan orang tuanya. "Aku janji, Ayah, Ibu... Aku nggak akan masuk ke sana lagi."

Jeno, yang menyaksikan adegan itu, merasa lega namun juga sedikit bersalah. Sebagai kakak, ia tahu seharusnya lebih berhati-hati. Ayah Renjun menoleh ke Jeno dan memberikan anggukan singkat, menandakan bahwa ia tidak menyalahkan Jeno. Sebaliknya, ia berterima kasih karena Jeno telah melindungi Renjun dan segera membawa adiknya kembali.

Setelah kejadian itu, Renjun merasa semakin dekat dengan Ayah dan Ibunya. Mereka sering berbicara kepadanya tentang berbagai hal yang belum ia pahami sepenuhnya karena usianya yang masih sangat muda. Ayah dan Ibu Renjun pun memperketat penjagaan di sekitar ruangan terlarang, memastikan Renjun selalu diawasi dengan baik saat bermain di sekitar istana.

Namun, kejadian itu juga menjadi pelajaran berharga bagi Renjun. Ia mulai memahami bahwa setiap aturan yang dibuat oleh orang tuanya selalu ada alasannya. Meskipun ia senang bermain dan berpetualang, ia tahu bahwa keselamatan dirinya adalah yang paling penting bagi keluarganya.

Ruangan terlarang di bagian belakang istana itu dikenal sebagai "Ruang Bayangan." Sebuah tempat yang jarang disebut-sebut dalam percakapan istana, dan hanya sedikit yang benar-benar tahu alasan mengapa ruangan itu dilarang untuk dimasuki.

Ruang Bayangan adalah ruangan besar dengan jendela-jendela yang tertutup tirai tebal, membuat cahaya matahari hampir tidak pernah masuk ke dalam. Dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan tua yang menggambarkan pertempuran dan peristiwa sejarah kelam yang terjadi di masa lalu. Ada perabotan antik yang berdebu, dan beberapa di antaranya terlihat rusak dan tak terurus. Di tengah ruangan, terdapat sebuah cermin besar yang tampak seperti barang pusaka, namun bayangannya tampak tidak biasa, seakan-akan ada sesuatu yang mengintip dari baliknya.

Menurut legenda yang beredar di kalangan istana, Ruang Bayangan pernah menjadi tempat berkumpulnya para penasihat kaisar terdahulu, yang dikenal dengan sebutan "Penjaga Kegelapan." Mereka adalah kelompok yang dipercaya memiliki kekuatan mistis untuk melindungi kerajaan dari ancaman tak kasat mata. Namun, kekuatan mereka didapatkan dengan harga yang mahal—mereka mengorbankan sesuatu yang sangat berharga dari diri mereka. Akibatnya, ruangan itu dianggap menyimpan jejak-jejak kegelapan dan kekuatan yang berbahaya.

Ayah dan Ibu Renjun mengetahui sejarah ruangan itu dan memutuskan untuk menutupnya rapat-rapat setelah insiden misterius yang menimpa salah satu anggota keluarga beberapa generasi yang lalu. Sejak saat itu, tidak ada yang diizinkan masuk ke Ruang Bayangan, kecuali beberapa orang kepercayaan yang bertugas memastikan ruangan tersebut tetap terkunci.

Meskipun Renjun tidak sepenuhnya memahami semua cerita yang mengelilingi Ruang Bayangan, ia merasakan aura yang berbeda saat berada di sana—dingin, sunyi, dan menakutkan. Itulah sebabnya, setelah pengalaman itu, Renjun semakin waspada dan menghormati larangan yang diberikan oleh orang tuanya, menyadari bahwa tempat itu menyimpan rahasia yang lebih besar daripada yang dapat ia bayangkan.

Langkah Kecil RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang