PROLOGUE

4.1K 139 0
                                    

Petang akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk dihabiskan bersama keluarga. Aku duduk bersama Papa dan kakakku, menonton sebuah variety show di Netflix tentang kompetisi menghibur para pelawak kawakan tanah air. Sesekali tawa memenuhi ruang tamu dari kami bertiga, diikuti selingan perdebatan Kakak dan Papa tentang pelawak mana yang paling lucu menurut mereka.

Aku dan Papa memiliki jagoan yang sama namun tidak dengan abangku. Menurutku dan Papa, pilihan Abangku tidaklah terlalu lucu, hanya sekedar menghibur. Kakakku mengetahui hal itu dan sebagaimana dirinya, Ia memang sengaja memilih jagoan berbeda karena hanya ingin terlihat beda saja denganku dan Papa. Ia memang memiliki penyakit edgy-ngitis yang menyebalkan.

Di tengah perdebatan Papa dan Abangku tentang konsep beberapa pelawak hari itu, Mama tiba-tiba muncul dan menghalangi televisi yang sedang kami tonton. Sontak, ia menjadi pusat perhatian.

"Anaknya Tante Meisye nikah minggu depan."

Aku dan Kakakku saling bertukar pandang dengan bingung. Teman Mama yang mana lagi ini? Mamaku adalah seorang ekstrovert. Ia senang bersosialisasi dan memiliki banyak grup WhatsApp; Grup ibu-ibu RT, Grup senam pagi, Grup arisan geng SMA, dan masih banyak lagi. Aku mengetahui semuanya karena Mama sering memintaku memasukkan data-data iuran ke Google Sheet lalu dikirimkan lagi ke grup chat terkait. Kepadaku juga Mama akan bertanya jika ada error pada aplikasi WhatsApp atau handphonenya. Mama tak mau bertanya pada kakakku karena dia menjelaskan dengan bahasa tech yang tak dipahami Mama.

"Ini dari grup chat mana?" tanya kakakku.

"Arisan teman SMA. Jadi siapa yang mau antar Mama?"

"Minggu depan? Tanggal segitu Papa nggak bisa. Udah janjian mau berenang sama bapak-bapak RT. Sudah bayar untuk booking kendaraan dan tiket."

"Yohan ada WFH Mah! Zoom meeting!" Sambar kakakku cepat meski Mama belum bertanya. Aku menoleh dan menatapnya heran. Ia libur saat akhir pekan dan acaranya adalah hari Minggu.

"Oke, Kamu antar Mama ya Yura," ucap Mama bahkan sebelum aku bisa melancarkan protes. Dari nada bicaranya sepertinya Mama juga tak bisa menerima penolakan.

Aku melirik sebal Mas Yohan yang jelas berbohong dan menumbalkanku. "Eh, siapa tahu ketemu jodoh di sana."

"Talk to yourself!" Sungutku sebal dan Ia hanya tertawa. Menyebalkan rasanya setiap kali Mas Yohan membahas itu padahal dia sendiri sudah 33 tahun, 3 tahun lebih tua dariku, dan Ia belum menikah apalagi membawa wanita ke rumah untuk dikenalkan.

Aku sendiri kurang mengetahui tentang lika-liku cinta Mas Yohan. Meski dia kakakku, Mas Yohan cukup tertutup untuk urusan perempuan. Sejauh yang ku tahu, Ia sempat memiliki kekasih karena aku tak sengaja pernah bertemu dengannya di Mall. Ia mengaku sedang berpacaran tapi setelahnya, aku tak lagi pernah mendengarnya namun Mas Yohan mengkonfirmasi bahwa ia sudah putus dan kembali menyendiri hingga saat ini.

"Sudahlah Yura...kan cuma antar sebentar aja. Mamamu cuma mau ada yang nyetirin aja," ucap Papa yang kelakuannya sebelas dua belas dengan Mas Yohan.

"Mama tuh suka melipir kalo udah ketemu temennya. Nanti pasti Yura diceramahin atau dikenal-kenalin ke orang!" Sungutku memelankan suara agar tak terdengar Mama.

"Ya itu tandanya Mama sayang sama kamu Nak..."

"Betul itu–"

"Diem gak?" Sungutku ketika Mas Yohan ikut-ikutan Papa.

"Papa juga kalau temen Papa punya anak yang husband material pasti Papa kenalin ke kamu. Lagian memangnya kamu nggak capek apa ditanya terus kapan nikah sama orang?"

"Tau ah gelap," sungutku sebal sembari mendengar kekehan Mas Yohan. Ia tahu se-muak apa aku sama pertanyaan itu, and all I want is them leaving me alone. Mas Yohan sendiri juga muak dengan pertanyaan itu. Namun tak sepertiku yang hobi membantah, Ia lebih memilih diam atau ngeloyor pergi dan mengalihkan pembicaraan secara alamiah.

Aku baru menginjak usia 30 dan Mas Yohan 33. Kami berdua belum menikah karena masih menikmati masa-masa kesendirian kami. Aku sendiri tak punya banyak pengalaman soal berpacaran–hanya dekat dengan beberapa pria tapi tak pernah benar-benar berpacaran karena saat remaja dulu, Mama mewanti-wanti agar aku tak berpacaran karena takut aku terjebak dalam pergaulan bebas. Beberapa anak dari tetangga di komplek yang sana kedapatan hamil di usia muda karena hal itu, jadi Mama melarang aku berpacaran tapi tidak dengan kakakku.

Aku tidak iri dengan perbedaan perlakuan antara aku dan Mas Yohan karena toh pada akhirnya kami dituntut hal yang sama, yakni diminta untuk segera menikah. Aku hanya tak mengerti bagaimana Mama melarangku mengenal pria sejak abg dan sekarang aku didesak untuk segera menikah seolah jodohku datang dari langit atau bisa kupetik dengan mudah dari pohon. 

KAPAN NIKAH?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang