004.

1K 69 2
                                    

Hari-hari pun berlalu semenjak pertemuan itu. Akhir pekan hanya tinggal berselang sehari. Selama itu, Joshua bolak-balik muncul di rumah keluarga Yura untuk mengantarnya pulang kerja karena gadis itu berangkat dengan sang kakak setiap pagi. Sepanjang minggu itu, Tante Mieke tak berhenti membahas soal Joshua dalam obrolan keluarga seperti malam ini hingga telinga Yohan dan Yura pun mulai panas karenanya. "Ini gue jahat nggak sih kalo gue jadi sebel sama Joshua gara-gara nyokap ngebahas terus?" bisik Yohan pada sang adik.

"Gue rasa Mas Jo juga pasti kupingnya panas gara-gara diomongin Mama terus." balas Yura.

"Iya sih..Mah! Udahlah kasihan Joshua kupingnya panas gara-gara Mama omongin terus!" protes Yohan. "Lagian Yura yang dijodohin biasa aja...Joshua juga biasa aja lagi...sama aja kayak Yohan lebay amat ceritanya orang kita sekantor."

"Ya minimal dia mau dicomblangin sama adik kamu! Dia ada usaha buat bahagiain Mamanya yang udah kepengen punya cucu!"

"Kalau Yura mau child-free gimana Mah?" sambar Yura.

"Heh! Kamu tuh! Ngucap!"

"Ya emang kenapa sih Ma? Kalau mental Yura belum siap untuk punya anak gimana? Mama minta Yura nikah, ya udah nih Yura pertimbangkan baik-baik...terus nanti udah nikah, ditodong lagi untuk punya anak–"

"Ya nikah kan tujuannya untuk punya anak."

"Yura pertimbangkan untuk menikah karena supaya Yura nggak dirongrong pertanyaan 'Kapan Nikah' lagi dari Mama, tetangga, dan temen-temen Mama." balas Yura dan Yohan hanya bisa menahan tawa. Memang satu-satunya orang yang bisa head-to-head dengan sang ibu adalah Yura. Adiknya itu sudah seperti ibunya sendiri versi lebih muda.

"Kamu tuh–"

"Ya sudahlah sudah..." ucap Om Burhan, Ayah dari Yohan dan Yura, menengahi. "Kamu juga sih Mah...kemarin ngerongrong anak-anak terus disuruh nikah. Sekarang anaknya sudah mempertimbangkan untuk menikah demi kamu, masih kamu desak juga untuk punya anak padahal menikah juga belum. Kalau Yura sudah menikah, ya itu urusan Yura dan suaminya, kamu nggak berhak ikut campur. Soal mereka mau atau tidak punya anak ya itu juga urusan mereka...Joshua belum tentu juga mau punya anak."

"Iya Mah...udahlah...Yura tuh udah dewasa. Dengerin lah sekali-kali omongan anak sendiri jangan omongan tetangga terus Mama dengerin. Emang tetangga yang biayain nikah? Emang tetangga yang menghidupi kita? Kalau ada apa-apa, ya Tetangga itu orang nomer satu yang bakalan julidin Yura dan masalah rumah tangganya," ucap Yohan yang tak tahan lagi dan merasa jika ibunya sudah mulai kelewatan. Yura menoleh dan menatap haru sang Kakak yang akhirnya angkat bicara demi dirinya.

"Joshua memang baik dan Yohan tahu itu karena kita emang udah temenan lama. Tapi kalau kayak gini caranya, kalau Mama terus mendesak Yura, itu nantinya juga bisa mempengaruhi Joshua buat jadi atau nggaknya dia nikahin Yura. Kalau aku jadi Joshua, aku juga nggak mau menikah kalau ibu mertuaku banyak demanding kayak Mama. Kasihan Mah, pasanganku. Udahlah harus ngurusin aku terus didesak terus untuk punya anak tanpa mikirin mentalnya dia siap apa nggak." ujar Yohan lebih jauh dan Yura mengangguk setuju.

"Iya udah...Mama minta maaf....Mama tuh senang sekali lihat kedekatan Yura dan Joshua belakangan ini. Jadi Mama pikir kalian udah siap ke arah sana..." ucap Tante Mieke menyesal.

"Kalau untuk sekadar menikah, Yura siap sama Mas Jo. Tapi baik aku dan dia, kami belum siap untuk punya anak, paling nggak, untuk sekarang. Karena Mas Jo juga ngerasa bersalah sama Mamanya." ucap Yura.

"Kok kamu gitu sih ngomongnya?"

"Mas Jo sendiri yang bilang?? Mama bisa tanya Mas Jo kalau nggak percaya. Yura sih cocok aja sama Mas Jo dan Mama nggak perlu ngerasa bersalah atau batalin semuanya. Karena belum tentu calonku berikutnya bisa diajak ngobrol baik-baik kayak Mas Jo. Ya nggak Mas?"

KAPAN NIKAH?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang