Bab 3 || Yakin

153 24 24
                                    

Happy reading.

...

"Ke perumahan mawar?"

Nazia menatap kaca depan, hujan deras menenangkan sekaligus mengecewakan. Hari semakin gelap, biasanya Nazia akan mampir ke cafe terdekat karena pulang kerumah hanya akan membuat suasana hatinya murung.

Namun jika hujan, Nazia terpaksa pulang.

"Iya."

Nazia melirik lelaki disampingnya, ingatan lelaki itu cukup bagus, sama sepertinya.

"Bukannya kemaren gue ga dibolehin naek di jok depan ya?" Nazia asal tanya.

"Gak mungkin juga saya suruh kamu pindah sedangkan diluar hujan deras. atau, kamu mau pindah lewat tengah?"

Nazia menggeleng, "Ngga, makasih. lagi pula gue ga bakal macem macem kok," ujar Nazia.

Perempuan itu menghela napas, enggan sekali untuk pulang. Mobil Fatih berhenti tepat di depan rumah Nazia, namun perempuan itu masih diam duduk dengan tenang.

"Sudah sampai," Fatih bersuara sekedar memberi tahu.

Nazia menghadap Fatih, "Boleh minta tolong sekali lagi?" ucapnya.

"Ada apa?"

"Pikiran gue lagi gak tenang buat pulang kerumah, lo punya referensi tempat buat nenangin pikiran ga? kalo ada boleh anter gue kesana? gue bayar ko, seberapapun!" dengan tidak tahu malunya Nazia menghadap Fatih.

"Sudah menjelang magrib, seharusnya kamu masuk ke rumah," ujar Fatih cepat.

Nazia menggeleng, "Seenggaknya turunin gue ditempat selain rumah gue, gue mohon. Dipinggir jalan pun gapapa asalkan bukan disini."

Fatih sedikit berdecak, tak ayal ia kendarai mobilnya menjauh dari perumahan tempat perempuan itu tinggal. Ia yakin seberapa banyak pun yang ia ucapkan, perempuan itu tidak akan menurutinya untuk turun dari mobil tepat didepan rumahnya.

"Kemana?" tanya Fatih, ia tidak tahu tempat terbaik untuk menenangkan pikiran.

Nazia menggeleng.

Fatih menghela napas, lantunan adzan Maghrib membuat ia diam sebentar, perumahan mawar tidak terlalu jauh dari rumah Fatih. Ia bahkan sudah berkendara mendekat kerumahnya.

Tentu tidak mungkin fatih membawa perempuan itu kepekarangan rumahnya, Abi dan Uminya pasti akan terkejut ia pulang dengan perempuan bukan mahram nya.

Nazia sendiri melirik gerbang bertuliskan pondok pesantren Ar-raudhah.

"Ini sekolahan ya? kok keliatan sejuk banget?"

Fatih memberhentikan mobilnya sejenak, menatap gerbang rumah beserta pondok pesantren Abinya. Benar juga, mengapa ia harus merepotkan diri dengan membantu perempuan disampingnya?

Padahal sudah pasti kekacauan yang ia lihat dihalte hanya pertengkaran sepasang manusia.

Mengapa juga ia mengiyakan saat perempuan itu memintanya mencari tempat untuk menenangkan diri? padahal sudah jelas yang paling baik adalah membawanya sampai kerumah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fatih Al FauziTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang