Sudah cukup lama peperangan ini berlangsung. "Lari, Kiana. Jangan hiraukan, Kami! Selamatkan dirimu dari kejaran mereka!" ucap seorang wanita paruh baya kepada anaknya yang bernama Kiana.
Tak lama suara ledakan terjadi, gadis dengan rambut panjang legam itu menyaksikan langsung kedua orang tuanya dieksekusi. Air matanya perlahan mengalir deras, tubuhnya runtuh jatuh ke tanah. Ia sudah tidak kuasa merasakan kekejamaan ini.
"Kejar anak itu sekarang juga, bawa dia ke hadapan komandan!" Salah satu dari pasukan itu menunjuk ke arah Kiana.
Kiana yang tersadar bahwa sesuatu yang tidak beres akan terjadi lagi berusaha bangkit dan berlari sekuat tenaga dari mereka yang mengejarnya.
"Sialan, ke mana perginya anak itu?" gerutu seorang pria di sekitar tempat persembunyian Kiana.
Kiana menutup rapat mulutnya berusaha untuk tidak menarik perhatian pria tersebut, keringat dingin perlahan membasahi pelipisnya, detak jantung juga semakin cepat berdetak. Napasnya tercekat saat langkah kaki itu berhenti di depan gubuk tua yang menjadi tempat persembunyian Kiana.
Perlahan Kiana menunduk kepalanya dan mundur selangkah demi selangkah dengan harapan tidak ada yang mendobrak pintu usang itu."
"Sepertinya dia tidak ada di sini, kalo saja masuk ke dalam gubuk ini tidak ada waktu, selain itu pintu juga sudah usang."
Mendengarkan pembicaraan tersebut membuat Kiana mengucapkan puji syukur.
Setelah menunggu cukup lama terlihat cahaya jingga dari celah jendela menandakan bahwa langit akan segera gelap, Kiana memeluk dirinya sendiri. Ia perlahan mulai menetes air matanya lagi mencari cara agar dapat bertahan hidup di tengah peperangan ini.
"Aku sudah lelah dengan semua ini, kapan ini berakhir?" Ia berguman pelan, tanpa sadar Kiana mulai memejamkan mata dan perlahan tertidur pulas di gubuk itu.
Gemericik air hujan membuat Kiana terbangun dari tidurnya, ketika melihat sekeliling betapa terkejutnya ia saat melihat sekeliling ruangan di penuhi oleh genangan air hujan. Cepat-cepat dirinya keluar dari gubuk itu, setelah memastikan bahwa tidak ada tentara yang berjaga di area tersebut, Kiana berlari menjauh yang terpenting sekarang ia harus mencari tempat berteduh yang baru. Untung saja hujan telah mereda, jadi hal ini suatu kesempatan bagi Kiana melarikan diri.
Semoga saja ada tempat yang masih layak untuk ditempati, batin Kiana, ia terus berdoa dalam hatinya meminta sebuah keajaiban.
Kiana terus berjalan tanpa mempedulikan lututnya yang terluka, meskipun sesekali ia meringis kesakitan itu tidak sebanding dengan rasa sakit kepergian orang tuanya.
"Ah, akhirnya! Aku menemukan tempat untuk berteduh!" sorak Kiana bergembira. Setelah perjalanan yang cukup panjang akhirnya dia menemukan sebuah gubuk yang layak ditempati dan jauh dari jangkauan penjajahan.
Tangan mungilnya membuka pintu gubuk yang telah usang. Suara nyaring yang khas pun terdengar. "Lumayan, tempat ini jauh lebih baik dari sebelumnya, jadi aku bisa bertahan dulu di sini," pikir Kiana.
"Kapan ini berakhir? Mau sampai kapan peperangan ini terjadi, aku sudah lelah menghadapinya, tapi kata ibu gak boleh nyerah." Kalimat itulah yang terakhir kali diucapkan oleh ibunda Kiana.
Karena tidak ada lagi yang harus dipikirkan, Kiana kemudian memutuskan untuk melihat-lihat apa saja yang ada di dalam gubuk itu, dirasa puas melihat-melihat apa yang ada, Kiana berujar, "Semoga saja, mereka tidak menemukan tempat persembuyian ini, aku rasa di sini." Doa Kiana dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiana Arsabilla
FantasyTerjadinya sebuah peperangan hebat antara dua kerajaan pada masa itu disebabkan oleh rasa benci dari pimpinan Kerajaan Aldmoor atas kemakmuran yang terjadi di Kerajaan Adora. Pemimpin Kerajaan Aldmoor sangat ingin Kerajaan Adora mengalami kemunduran...