Six

107 8 19
                                    

Juan siap memaki orang yang telah menelponnya pagi ini, membuat tidurnya yang baru bisa ia dapat di jam 4 subuh karna baru pulang dari schedule—nya yang hectic seharian terganggu. Baru saja mulutnya ingin mengumpat, tapi di urungkan karna,

"Hallo.."

"..hiks, ka Juan.."

Juan mengernyit bingung, "Ya? siapa ini?"

"Ann—annya.. hiks.."

Mata Juan yang awalnya masih mengantuk, tiba—tiba saja membola. Tubuhnya reflek tegak, "Ann?! kamu kenapa?"

"Aku takut.. hiks.. Mereka berantem lagi.."

"Hah? Siapa yang berantem Ann?"

"Mamah sama Papah.."

"Ini gara—gara aku, hiks.. Harusnya aku ngga lupa, mama ngga akan belain aku dan berakhir di pukul papah lagi.. hiks.. Tolong ka, tolong aku, tolong mamah ka, tolong.."

"Ann, tenang dulu. Ngomongnya pelan—pelan,"

"Ka.. Tolong selamatin mamaku, papah pasti pukul mama lagi sampe babak belur kaya biasanya, aku takut ka, aku ngga bisa ngapa—ngapain, hiks.. Aku ngga bisa ke bawah dan pisahin mereka.."

"Oke, aku kesana. Tolong tenang ya Ann.. Tunggu sampai aku di sana!" ujar Juan dengan terburu—buru menyambar kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja.

Sepanjang jalan, Juan bingung harus bagaimana selain mengikuti instingnya, ini memang gila. Jika Aurora tahu, maka habis lah Juan. Tapi demi rasa kemanusiaannya, Juan tidak bisa mengabaikan keadaan Annya yang terdengar kacau di seberang sana.

Juan sampai di depan rumah Annya. Pintu yang sedikit terbuka memudahkan Juan untuk masuk ke dalam. Dan hal pertama yang dia lihat adalah mama Annya yang tergeletak tak sadarkan diri, keadaannya memprihatinkan, lebam di sekujur tubuhnya. Juan meringis, bagaimana papa Annya tega melakukan hal kejam kaya ini?

Juan menghampiri wanita paruh baya itu, "Tante! Tante bisa dengar aku?!" ujar Juan, berupaya menyadarkan wanita itu. Dan untungnya, mama Annya masih sadar, dan membalas pertanyaannya dengan anggukan pelan. "Tan, tolong bertahan sebentar lagi ya???? Bantuan sebentar lagi datang buat tante." ujar Juan lagi, dan di jawab dengan anggukan lemah.

Dengan cekatan, Juan meraih handphone--nya dan mengirimkan pesan kepada Hariel untuk memanggil ambulan ke alamat Annya yang kebetulan pernah mereka antar pulang.

Sembari menunggu Hariel, Juan mondar-mandir gelisah, Annya ada di lantai atas. Tapi ia tidak bisa menghampiri Annya jika Ibu gadis itu belum di tangani oleh tenaga medis. "Hariel mana sih???? Lama banget anjir!"

"Tante masih bisa dengar aku kan?! Tan, please bertahan sebentar lagi.." ujar Juan kembali. Beruntung setelahnya, Hariel datang membawa tenaga medis yang ia minta.

Saat melihat keadaan yang kacau, haris berteriak kaget, "INI KENAPA JUAN????"

"Nanti gue jelasin, lo bawa mama Annya ke rumah sakit dulu!"

"LO GILA?! GUE HARUS BILANG APA KALAU DI TANYA DOKTER?!"

"Bilang aja ini kdrt suaminya. Tapi inget, jangan sampai orang tahu kalau ini orang tua Annya! Tutup mulut semua orang yang ada di rumah sakit papi!"

"Terus kalau papi lo tau gimana?!"

"Papi ngga akan tahu kalau lo bisa tutup mulut orang-orang!"

Hariel mengacak rambutnya frustasi, "Kenapa lo harus berurusan dengan hal kaya gini sih?!"

"Udah ngga ada waktu lagi buat debat Riel! Go on!"

Setelah memastikan Hariel membawa Mama Annya dengan benar, Juan berlari menaiki tangga menghampiri gadis itu.

Our JuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang