Five

92 5 5
                                    

Juan saat ini sedang menyantap makanan yang di masak oleh Rora dengan lahap, "Gimana bisa kamu masak se—enak ini?" tanya Juan, bermaksud memberi pujian.

Rora yang dari tadi duduk di sampingnya hanya bisa tersipu malu mendengarnya, "Kamu suka?"

Juan mengangguk, "Suka, emang kapan sih aku ngga suka masakan kamu? Selalu enak."

"Aku seneng kalau kamu suka, makasih ya pujiannya.."

"He'um," Juan mengangguk, "Makasih juga karna selalu masakin aku, padahal katanya kamu ngga suka masak.." sambung Juan, teringat perkataan Rora kala itu.

"Ih Juan! Nyebelin banget sih.."

"Kenapa sayang? Kan kamu sendiri yang bilang waktu itu.."

"Iya! Tapi kan aku bilang karna kamu suka makan, aku jadinya udah suka masak buat kamu."

"Buat aku aja nih?" tanya Juan,

"Iya buat kamu, kalau buat yang lain tergantung mood."

"Hahaha.. Udah siap banget jadi istri aku ya Aurora Dominic?"

"Suka banget sih bercandain aku!?" ujar Rora dengan muka menggemaskan, "Main ganti nama aja, nikahin dulu kek.." gerutunya lagi.

"Hahaha.. Abisnya kamu lucu sih, gapapa lah, kan simulasi dulu ganti nama," ujar Juan, tangannya melepas sendok dan garpu yang dia pegang, lalu meraih wajah Rora, memberi kecupan bertubi—tubi pada seluruh wajah menggemaskan sang kekasih.

"Udah lepasin!" ujar Rora, berusaha mendorong Juan menjauh, "Ngga mau Juan, abisin dulu makanannya!"

Juan menurut, melepaskan Rora, "Iyadeh.. sayang kalau makanannya ngga aku abisin." ujar Juan, kembali meraih sendok dan garpunya.

"Nah.. Gitu dong, di abisin ya Juan sayang!" ujar Rora, mengusap kepala Juan sayang.

"Mau kemana?" tanya Juan, menahan tangan Rora yang berdiri dari duduknya,

"Ke kamar, mau mandi." jawab Rora,

"Nanti aku ikut mandi ya selesai makan?" ujar Juan, jangan lupakan muka tengilnya.

"Dih! Ngga ada! Jauh—jauh sana!" ujar Rora, memasang wajah julid andalannya,

"Mang kenapa sih? Kan aku kangen, udah lama engga—"

"KALAU MAU, NIKAHIN AKU DULU!" teriak Rora, menjulurkan lidah, dan berlari meninggalkan Juan, tidak lupa mengunci pintu kamarnya.

Juan bengong, "Ini serius gue di giniin?" monolognya.

Juan bengong, "Ini serius gue di giniin?" monolognya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Brak!

Lelaki paruh baya itu menggebrak meja makan yang ada di depannya, "Mau berapa kali papa bilang?! Jangan sampai telat buat transfer uang ke rekening papa!"

Sang istri menghela nafas, "Pah, jangan kaya gitu ke anak kita, ini kan cuma lewat sehari.." ujarnya.

Bukannya reda, emosi suaminya malah makin meluap, "Diam kamu! Pendapat kamu ngga di perlukan di sini! Mending kamu kasih tahu anak kamu, biaya membesarkan dia sampai sesukses sekarang itu ngga murah, sudah sepantasnya dia balas budi ke orang tua!" makinya, mengatakan hal buruk yang menyakiti sang istri dan anak yang dari awal memilih diam menyantap makanan yang di hidangkan oleh sang Mama.

"Kamu keterlaluan pah!" ujar sang istri, tidak habis pikir dengan perkataan lelaki itu.

Tangan lelaki paruh baya itu terangkat, ingin menampar sang istri, "Berani kamu bentak aku mah?!"

"STOP!" teriak sang anak, menghentikan gerakan lelaki paruh baya itu, "Bisa ngga sih sehari aja ngga ribut?!! Aku capek baru pulang kerja tadi subuh, dan kalian malah ribut! Soal transferan itu aku minta maaf, aku beneran hectic banget sampe lupa kalau ini udah awal bulan, sebagai gantinya aku bakal transfer double, jadi please berhenti ribut!" ujar sang anak, berdiri meninggalkan meja makan, tanpa menghabiskan makannya.

"Ya! Anak sialan! Anak kurang ajar! Kesini kamu!" teriak lelaki itu, memaki sang anak.

"Annya!!!!"

Gadis itu terus saja berjalan menuju kamarnya di lantai dua, menghiraukan makian dan panggilan sang papa. Air matanya mengalir, ia benci sekali karna harus terus ada di dalam situasi seperti ini dari ia kecil.

Brak!

Gadis yang di panggil Annya itu, buru-buru membanting pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Badannya bergetar, dadanya sesak, nafasnya mulai terasa tersegal—segal, dengan tenaganya yang masih tersisa, Annya menggapai laci yang ada di samping tempat tidur, mengambil apa yang dia butuhkan sekarang. Obat, Annya hanya butuh obatnya. Dengan tangan bergetar, Annya menelan beberapa pil sekaligus, berharap rasa sakitnya sedikit terobati.

Tubuh gadis itu merosot, memeluk dirinya sendiri dengan erat, menangis sejadi—jadinya, rasa sedih, sakit, dan takut menjadi satu. Annya membenci dirinya sendiri. Mendengar makian—makian yang terus terlontar di antara kedua orang tuanya di lantai bawah, semakin membuatnya menangis frustasi.

"Please stop it.. hiks.." lirih Annya, tubuhnya terseok—seok, meraih ponselnya yang tergeletak beberapa meter dari posisinya sekarang.

Mungkin Annya sudah gila. Alih—alih menghubungi orang terdekatnya, ia malah memilih menghubungi seseorang yang kontaknya sudah seminggu berada di ponselnya, tanpa ia hubungi sebelumnya.

"Hallo.."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

tbc

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

tbc

Our JuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang