# POV SHANI
Aku duduk di hadapan Chika, tangan gemetar memegang cangkir kopi yang sudah mulai dingin. Dia terlihat santai, tapi aku tahu ada sesuatu yang mengganjal. Di matanya, ada kilatan yang tak bisa kuabaikan. Pikiran-pikiran liar berputar di kepalaku, dan tiba-tiba Chika melemparkan pertanyaan yang membuat dadaku terasa sesak.
"Oh ya, aku lupa sesuatu. Tapi sebelumnya, boleh tidak aku bertanya, sebenarnya, Kak Shani cinta sama Gito atau tidak?"
Pertanyaan itu menghantamku keras. Aku tak tahu harus bagaimana menjawabnya. Dadaku berdebar hebat, dan lidahku kelu. Aku mencintai Gito, tapi dengan situasi seperti ini, pertanyaan itu seolah menyiratkan keraguan yang lebih dalam.
Aku hanya bisa mengangguk, merasa tak mampu berkata apa-apa. Chika mengamati gerak-gerikku dengan saksama, seolah ingin menilai apakah aku benar-benar tulus.
"Lalu, siapa Marchel itu, Kak?"
Nama itu... Marchel. Dadaku berdesir mendengar namanya disebut. Jantungku serasa berhenti. Dari mana Chika tahu soal dia? Aku menatapnya penuh tanda tanya. Rasanya tidak masuk akal kalau dia tiba-tiba tahu.
"Kenapa kamu bisa tahu nama itu?" tanyaku dengan suara sedikit gemetar.
"Dan kenapa kamu sangkut pautkan masalah Gito dengan orang itu?"
Chika tidak langsung menjawab. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku, lalu menyerahkannya padaku tanpa banyak bicara.
Ketika aku melihat layar ponselnya, aku terkejut. Ada deretan screenshot yang menampilkan foto-foto. Foto-foto itu tak asing bagiku. Hatiku mulai berdetak cepat, telapak tanganku dingin.
"Saat aku melihat foto-foto itu," kata Chika pelan, nadanya tajam, "aku mulai meragukan ketulusanmu, Kak. Aku pikir ada sesuatu yang kamu sembunyikan."
Aku menerima ponselnya dengan tangan bergetar. Perlahan, aku mulai menggulirkan layar, melihat foto-foto yang ada di sana. Ada aku dan Marchel. Di sana, kami berdua terlihat akrab, terlalu akrab.
Nafasku tercekat, perutku mual. Foto-foto itu seperti menghantamku keras. Marchel... dari mana semua ini berasal? Aku tidak ingat kapan foto-foto itu diambil, apalagi oleh siapa.
Aku terdiam lama, menatap layar ponsel dengan mulut tertutup rapat, seakan tidak percaya. Chika masih menatapku, menunggu reaksiku. Aku tahu dia mencari penjelasan, tapi saat itu aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa.
"Apa benar, Kak?" suara Chika terdengar halus, namun menusuk. "Kakak cuma menjadikan Gito sebagai pelampiasan? Bukan karena benar-benar cinta?"
Aku mendongak, menatap Chika dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Emosi menguasaiku, membuat suaraku bergetar saat akhirnya aku bicara.
"Nggak, Chika. Nggak seperti itu." Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri.
"Marchel... dia teman lama. Kami sudah kenal sejak SMA. Tapi... aku juga heran, kenapa sekarang semua ini muncul. Aku benar-benar tidak tahu soal foto-foto ini. Aku tidak sadar bagaimana dia bisa memiliki foto-foto ini, apalagi yang ada aku dan dia."
Chika mendengarkan dengan saksama, tapi wajahnya tetap dingin. "Kalau dilihat dari foto-foto ini, sepertinya ada seseorang yang memfoto kalian diam-diam, Kak. Mungkin Marchel, mungkin juga orang lain. Tapi jelas, ada niat tidak baik di balik semua ini."
Aku terus menggulir layar, mencoba mencerna apa yang kulihat. Foto-foto itu diambil dari sudut yang aneh, seolah-olah sengaja disembunyikan. "Iya, aku juga merasa begitu. Tapi siapa yang memfoto ini semua? Aku benar-benar tidak tahu."
Chika terdiam sejenak, kemudian berkata, "Kak, aku sudah lama kenal Gito. Kami tumbuh bersama. Aku tahu bagaimana keras kepalanya, tapi aku juga tahu bagaimana dia memendam semua masalahnya. Dia selalu berusaha membuat orang lain merasa nyaman, meski dirinya sendiri hancur di dalam."
Kata-kata Chika terasa seperti tusukan kecil di hatiku. Gito selalu begitu-dia akan tersenyum di depanku, meski aku tahu ada sesuatu yang tidak pernah dia bagikan. Tapi mendengar Chika berbicara dengan begitu tulus dan penuh perhatian tentang Gito, pikiranku semakin kacau.
Kenapa Chika begitu peduli dengan Gito? Kenapa dia bisa tahu semua ini, sementara aku, orang yang seharusnya lebih dekat dengan Gito, merasa seperti orang asing?
Aku menatap Chika penuh kebingungan. "Chika... aku harus bertanya. Apa kamu punya perasaan dengan Gito?"
Chika tersenyum kecil, tapi kali ini senyumnya terasa pahit. "Iya, tentu. Aku punya perasaan dengan Gito. Tapi bukan seperti yang Kakak pikirkan."
Deg. Jawaban itu membuat dadaku mencelos. Tapi sebelum aku bisa berkata apa-apa, Chika melanjutkan, "Aku dan Gito... hubungan kami berbeda. Kami saling melindungi sejak kecil. Dia selalu ada untukku, dan aku juga akan selalu ada untuknya. Tapi perasaanku padanya bukan seperti yang Kakak kira. Aku tidak ingin memilikinya. Aku hanya ingin dia bahagia."
Aku menelan ludah, mencoba memproses kata-katanya. Ada kelegaan, tapi juga perasaan tak menentu. Aku tidak tahu harus berkata apa.
"Gito tulus dengan Kakak, aku yakin itu," lanjut Chika dengan suara yang lebih lembut.
"Aku percaya pada Kakak, dan aku tahu dia juga. Tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Gito sedang melalui sesuatu yang berat sekarang, dan aku hanya bisa berharap dia akan memperjuangkan Kakak, apapun yang terjadi."
Kata-kata Chika membuatku semakin larut dalam pikiranku sendiri. Aku menunduk, menatap ponsel di tanganku. Pertanyaan itu terus menggaung di kepalaku-apakah Gito akan tetap memperjuangkanku, ataukah semuanya sudah terlambat?
Aku tidak tahu. Tapi yang kutahu, aku tidak akan membiarkan Gito pergi tanpa penjelasan. Tidak kali ini.
****
Saat Chika bangkit dari tempat duduknya, aku bisa merasakan aura aneh yang dia bawa. Seolah ada banyak hal yang ingin dia sampaikan, tapi dia menahan dirinya.
Ketika dia hendak melangkah pergi, tiba-tiba dia berbalik dan menatapku sekali lagi, tatapan matanya tajam tapi sekaligus lembut.
"Kak," ucapnya pelan namun jelas. "Aku bukan saingan Kakak. Aku hanya ingin Gito bahagia. Itu saja."
Aku terdiam, mendengarkan tiap kata yang keluar dari mulutnya. Hati kecilku masih bertanya-tanya, kenapa Chika bisa begitu peduli pada Gito? Kenapa dia bisa tahu banyak soal perasaan Gito, sementara aku, yang mengaku mencintainya, malah merasa kehilangan arah?
"Saranku," lanjut Chika dengan nada yang lebih serius, "selagi Gito pergi, Kakak selesaikan dulu diri Kakak sendiri. Tanyakan pada diri Kakak-apakah Kakak benar-benar mencintai Gito? Atau... hanya menjadikannya pelampiasan?"
Kata-katanya menghantamku seperti badai. Aku ingin membantah, ingin berteriak mengatakan bahwa aku mencintai Gito lebih dari apapun, tapi di dalam diriku, ada keraguan yang tiba-tiba muncul.
Pertanyaan Chika membangkitkan sesuatu yang selama ini aku coba abaikan. Apakah aku benar-benar mencintai Gito karena dia... atau karena aku tak ingin sendirian?
Aku tak mampu menjawab. Lidahku kelu, dan hanya bisa menatap Chika yang perlahan melangkah menuju pintu. Dia membuka pintu kafe dengan gerakan tenang, kemudian menghilang di baliknya, meninggalkanku dalam lautan pikiran dan perasaan yang berkecamuk.
Aku masih duduk di sana, terpaku, merasa seolah-olah dunia di sekelilingku melambat. Kata-katanya terus terngiang di telingaku, mengaduk-aduk hatiku. Chika sudah tidak terlihat lagi, tapi keberadaannya masih terasa kuat. Seakan dia baru saja menelanjangi hatiku, memperlihatkan semua keraguan yang aku coba sembunyikan selama ini.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi pertanyaan itu tetap mengendap dalam pikiranku, menguasai setiap inci kesadaranku.
Apa benar aku mencintai Gito? Atau selama ini aku hanya berjuang untuk melarikan diri dari rasa takut dan kesepian?
Bersambung.....
Akan diselesaikan dengan cara
secepat-cepatnya dan
sesingkat-singkatnya...
![](https://img.wattpad.com/cover/369422398-288-k960581.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CERITA DIBALIK KONTRAK (GITSHAN) End
Romance-----------------------Cerita Gita & Shani--------------- Shani Indira, seorang wanita muda yang baru saja menyelesaikan S2 dengan predikat cum laude, terguncang oleh pertanyaan papanya tentang pernikahan. Shani yang perfeksionis dan ambisius, meras...