Akhir
Shani dan Cermin
Tiga bulan setelah kehamilan Shani, hari-harinya berubah menjadi perjalanan penuh rasa syukur, meskipun terkadang diwarnai dengan pikiran-pikiran yang tak bisa ia hindari.
Suatu pagi, saat Gito sibuk menyiapkan sarapan di dapur, Shani berdiri di depan cermin besar di kamar mereka. Ia memandangi tubuhnya yang mulai berubah.
Perutnya semakin besar, pinggulnya melebar, dan pipinya sedikit lebih bulat dari biasanya.
Shani menghela napas panjang, lalu menyentuh perutnya dengan lembut.
"Hei, Nak. Kamu bikin Mama makin besar aja, ya. Tapi nggak apa-apa, kok. Kamu sehat, itu yang penting," gumamnya dengan senyum kecil.
Namun, rasa cemas tak bisa sepenuhnya ia hilangkan. Ia mulai membayangkan apakah tubuhnya bisa kembali seperti semula setelah melahirkan.
Ketika Gito masuk ke kamar dengan secangkir teh hangat untuknya, ia langsung tahu istrinya sedang memikirkan sesuatu.
"Kenapa, Shan? Kok murung gitu?" tanya Gito sambil menyerahkan teh.
Shani mengambil cangkir itu dan menghela napas. "Git, aku jadi gendut, ya?"
Gito mengerutkan kening, lalu tersenyum kecil. "Kamu nggak gendut, Shan. Kamu cantik. Itu kan karena kamu lagi hamil. Semua normal."
"Tapi... aku takut nggak bisa balik seperti dulu. Kamu nggak bakal ilfeel, kan?" tanyanya dengan nada khawatir.
Gito tertawa kecil, lalu mencium kening Shani. "Ilfeel? Nggak ada itu dalam kamusku. Kamu itu cantik, dengan atau tanpa perut besar. Lagian, aku nikah sama kamu bukan cuma karena penampilan. Aku cinta semuanya tentang kamu."
Meski masih sedikit khawatir, Shani merasa lega mendengar kata-kata Gito. Ia tersenyum, lalu memeluk suaminya erat.
"Terima kasih, Git."
Pikiran Negatif Shani
Malam itu, Gito duduk di lantai kamar sambil memegang gunting kuku. Shani duduk di tempat tidur dengan kaki yang diangkat, menunggu giliran.
"Git, hati-hati, ya. Jangan sampai keserempet kulitnya," ujar Shani dengan nada was-was.
Gito tertawa kecil sambil melirik Shani. "Aku tahu, Shan. Kamu pikir aku nggak ahli potong kuku?"
Shani hanya meringis, lalu mulai bercerita tentang kekhawatirannya. "Git, aku kepikiran sesuatu."
Gito memandang istrinya sekilas sebelum melanjutkan memotong kuku kakinya.
"Apa lagi, Shan? Jangan yang aneh-aneh, ya."
"Kalau nanti, pas aku melahirkan, ada sesuatu yang nggak diinginkan terjadi, dan kamu harus memilih antara aku atau bayi kita... pilih bayinya aja, ya," ujar Shani pelan, tapi penuh keyakinan.
Gito menghentikan pekerjaannya. Ia menatap Shani dengan serius, lalu menggeleng tegas.
"Shani, jangan ngomong kayak gitu."
"Tapi, Git-"
"Nggak ada tapi. Kamu dan bayi kita, dua-duanya harus selamat. Titik. Jangan pernah bilang aku harus memilih," potong Gito dengan nada tegas.
Shani terdiam, tapi di lain waktu, ia tetap sesekali mengulang pikiran negatifnya itu.
Setiap kali Shani mengatakan hal seperti itu, Gito menjadi lebih protektif. Ia memastikan Shani makan tepat waktu, istirahat cukup, dan tidak terlalu banyak bergerak.

KAMU SEDANG MEMBACA
CERITA DIBALIK KONTRAK (GITSHAN) End
Romance-----------------------Cerita Gita & Shani--------------- Shani Indira, seorang wanita muda yang baru saja menyelesaikan S2 dengan predikat cum laude, terguncang oleh pertanyaan papanya tentang pernikahan. Shani yang perfeksionis dan ambisius, meras...