39: Hadapan

747 149 19
                                    

















Harapan

Hujan di Atas Hati yang Retak

Hujan turun deras di luar jendela rumah sakit. Gito berdiri di sudut koridor, memandang rintik-rintik air yang berjatuhan seperti melodi sendu yang mengiringi pikirannya.

Udara dingin meresap hingga ke tulang, tapi baginya, dingin itu hanyalah bayangan kecil dari kehampaan yang merayap di hatinya.

Ia menarik napas panjang, seakan ingin mengumpulkan serpihan kekuatan yang masih tersisa. Pikirannya melayang jauh, kembali ke saat-saat terakhirnya bersama Shani. Wajahnya tersenyum pahit, mengingat bagaimana ia memutuskan untuk pergi.

"Kebahagiaan yang datang dari kebohongan adalah luka yang perlahan akan membunuh," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya tenggelam di antara deru hujan yang menghantam kaca.

Ia tahu, keputusannya meninggalkan Shani adalah jalan yang benar. Namun, benar tak selalu berarti mudah.

Setiap langkah menjauh dari gadis itu terasa seperti mencabik dirinya sendiri. Shani adalah cahaya dalam hidupnya, tapi ia merasa tak pantas untuk berdiri di bawah sinar itu terlalu lama.

Kini, hidupnya hanyalah rangkaian rutinitas tanpa jiwa. Pagi hingga malam ia bekerja sebagai petugas kebersihan di rumah sakit. Membersihkan lantai, merapikan ruangan, membuang sisa-sisa hari yang tak pernah menjadi miliknya.

Ia bekerja hingga tubuhnya lelah, berharap rasa letih itu mampu meredam luka yang terus berdenyut di hatinya.

Di kamar inap, ibunya sedang tertidur lelap. Wajah tua itu terlihat tenang, meskipun selang infus masih tertancap di lengannya. Gito mendekati ranjang, duduk di kursi kecil di sampingnya.

Ia menatap ibunya dengan perasaan bercampur aduk-lega karena bisa menyelamatkan nyawa wanita itu, tapi juga hancur karena harga yang harus dibayar begitu tinggi.

"Bu, aku sudah memenuhi janjiku," gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk ibunya. "Tapi kenapa rasanya tetap sesakit ini?"

Hujan masih mengguyur deras di luar sana. Gito memejamkan mata, membiarkan suara hujan menjadi pengiring kesedihannya. Ia teringat senyum Shani, tawa kecilnya yang ceria, dan bagaimana gadis itu selalu membuat dunia terasa lebih hangat, bahkan di tengah badai sekalipun.

Tapi ia juga teringat mata Shani yang berkaca-kaca ketika ia mengucapkan perpisahan. "Kamu pantas dapat kebahagiaan yang lebih baik, Shani," katanya waktu itu, meskipun hatinya berteriak sebaliknya.

Ia tahu, kebohongan mereka terlalu besar untuk terus dipertahankan. Dan ia tak ingin Shani hidup dalam bayangan kesalahannya.

Sekarang, setiap malam terasa seperti penghakiman. Setiap hujan membawa kenangan, dan setiap langkahnya seolah mengukuhkan jarak yang tak lagi bisa ia perbaiki.

Ia menatap langit-langit kamar, mencoba menemukan jawaban di antara kekosongan. Tapi yang ia temukan hanyalah satu keinginan sederhana. "Semoga Shani bahagia, meskipun tanpa aku di sisinya".

Di luar, hujan perlahan mereda. Gito bangkit dari tempat duduknya, menarik selimut untuk ibunya yang mulai menggigil. Ia tahu, hidup harus terus berjalan. Tapi di dalam hatinya, hujan itu tak pernah benar-benar berhenti.

"Cinta itu seperti hujan," pikirnya. "Kadang dia menyegarkan, kadang dia melukai. Tapi dia selalu meninggalkan jejak, bahkan setelah reda."

.
.
.
.
.
.


















Pagi itu, kamar rawat inap yang biasanya sunyi diisi oleh pemandangan yang menghangatkan hati, aneh dan terlihat tidak etis....

CERITA DIBALIK KONTRAK (GITSHAN) EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang