EMPAT

11 5 0
                                        

Berkat Sean yang ada di rumahnya, Agatha bisa tetap masuk kerja hari ini. Agatha mempercayakan Ellen padanya. Kenapa begitu saja? Mengingat Sean pernah tinggal di panti asuhan, ia sangat berpengalaman mengurus anak-anak.

Wendy menghampirinya ke ruang khusus perokok. Susah payah menutup hidung dan menahan napas, tapi tetap saja bau itu masuk ke dalam hidung mancungnya. Ia menarik tangan Agatha yang baru saja berhasil menghidup api dari korek. Terpaksalah dirinya memasukkan kembali rokok ke dalam bungkus dan mengikuti temannya itu.

"Agatha, Agatha, apa besok kita jadi pergi?!" Wendy begitu heboh membuat pekerja lain yang sedang istirahat beralih pada mereka.

"Wendy, kecilkan suaramu. Aku tidak bisa, Ellen ada di rumahku. Tidak mungkin aku mengajaknya ke sana."

"Apa? Kenapa?"

"Gunakan akal sehatmu, Wendy. Mana mungkin aku membawanya ke tempat seperti itu?" Agatha mengusap wajahnya kesal. Rasanya seperti ingin meremas pipi temannya.

"Ke mana kakakmu?"

"Sedang bulan madu. Aku sudah diberi libur hari ini untuk menjaga Ellen, tapi berkat seseorang aku bisa masuk hari ini."

"Oh.. kamu menemukan laki-laki di mana?" Wendy menebak tepat pada intinya, tapi itu tidak sepenuhnya benar. Sean lah yang mendatanginya sendiri.

"Jaga bicaramu, dia sendiri yang mendatangiku."

"Aku mengenalnya juga?"

"Hmm.. ya.. kurang lebih."

"Baiklah.. kalau kau tidak mau memberitahuku. Aku akan mencari tahu sendiri. Cih.." desis Wendy merasa kesal, meninggalkan Agatha dengan kaki yang dientak-entakkan. Siapa pun yang melihat pasti gemas terhadap tingkahnya yang sesekali kekanakan. Agatha pun kembali ke ruang khusus merokok, tapi satu persatu orang sudah keluar. Beruntunglah seorang rekannya memberitahu jika jam istirahat sudah selesai dan memberinya permen karet, lalu menariknya kembali ke meja kerja. Agatha harus menahan setidaknya empat jam untuk tidak merokok karena di rumah nanti ia tidak bisa melakukannya lagi.




Pintu berbunyi saat terbuka, Ellen yang sedang menggambar di kertas bersama Sean langsung berdiri. Ia berlari ke arah pintu diikuti Sean yang takut jika nanti gadis kecil itu terjatuh. Tanpa membiarkan bibinya melepaskan sepatu, Ellen memeluk kaki Agatha begitu erat. Begitu senang dirinya seharian di rumah bersama Sean, tidak henti-hentinya ia mengoceh tentang apa yang mereka lakukan. Agatha yang mendengarkan ikut senang, dilihatnya Ellen sudah berganti pakaian. Sean bahkan sudah memandikannya, ia juga mandi setelahnya karena si kecil yang bermain air hingga membasahi pakaiannya.

Sejenak Agatha duduk di sofa mengistirahatkan diri. Melihat Ellen dan Sean dengan tenang menggambar bersama-sama. Lucunya.. alis tipis Ellen hampir menyatu, pipinya semakin menggembung. Saat inilah ia tidak boleh diganggu karena pasti akan sangat kesal. Agatha membuka permen karet terakhir. Wajahnya tampak tersiksa karena seharian tidak bisa merokok. Rokoknya hanya berkurang dua. Mungkin ini adalah pertanda bahwa ia harus mengurangi konsumsi rokok seperti kakaknya.

Letihnya sudah sedikit berkurang. Ia beranjak dari duduknya untuk minum di dapur, kemudian mandi dengan kilat. Tas kerjanya sengaja ditinggal di dalam mobil, lagi pula mereka akan pergi. Setelahnya ia mengajak Ellen dan Sean bersiap-siap keluar. Agatha ingin memenuhi janjinya pada Sean untuk mengganti rugi ponsel yang pecah dan mati itu.

Mereka meluncur ke toko gawai kepercayaan Agatha. Ellen dengan tenang makan kukis bayi ditemani boneka lumba-lumba merah muda di samping. Sean melihat ke luar jendela sesekali melirik Agatha yang fokus mengemudi. Kacamata hitam menambah karismanya. Keluar saat langit senja begitu indah adalah waktu yang tepat, ditambah wanita di sebelahnya tidak kalah indah.

More Than WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang