ENAM

13 4 2
                                        

Sedikit paksaan dari Joshua, mereka melaju ke tempat tinggal Wendy. Tentulah si gentleman ini yang menyetir melihat Wendy masih kacau. Mata tajamnya menyapu jalanan malam, sesekali memantau Wendy. Tangannya sibuk mengemudi sambil menggenggam tangan lentik yang dingin dan gemetar. Orang macam apa yang sudah membuat si ceria Wendy jadi seperti ini?

Sampailah mereka di tempat parkir apartemen Wendy. Joshua sudah melepas sabuk pengamannya bersiap keluar, tapi Wendy menahannya. Sedikit gerakan cengkeraman tangannya semakin kuat. Ia masih takut untuk naik meskipun ada Joshua yang menemaninya.

"Josh, sebaiknya kita pergi saja," kata Wendy menarik-narik lengannya.

"Tidak, Wendy."

"Kita tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Bagaimana kalau dia membawa senjata?" Joshua berpikir itu bisa saja terjadi. Sejenak dirinya diam berpikir.

"Payung. Apa di mobilmu ada payung?"

"Ada, tapi untuk apa?"

"Kalau payungnya rusak aku akan membelikanmu dua kali lipat. Aku berjanji. Mulai sekarang tetaplah di sampingku, di belakangku dan saat keadaan menjadi terlalu buruk hubungi polisi, oke?" jelas Joshua memberikan ponselnya pada Wendy. Ia hanya mengangguk-angguk mendengarkan.

Mereka keluar bersama. Selama di dalam lift Joshua tidak melepaskan genggaman tangannya dari Wendy. Butiran keringat sama-sama menetes dari dahi mereka. Lift berhenti di lantai dua, tapi bukan itu tujuan mereka. Dua orang pekerja kebersihan mendorong gerobak pembersih masuk. Joshua melihat tombol yang ditekan pria paruh baya itu, lantai tiga persis dengan tujuan mereka.

"Kudengar ada keributan di lantai tiga," celetuk salah satu pekerja.

"Ya, pria gila yang terus mengganggu Nona Armani. Satpam saja sampai dia serang. Sekarang mereka hanya berjaga dan mengamati."

Joshua berdeham keras, membuat kedua pria paruh baya itu menoleh ke arahnya. Mereka menyadari keberadaan Wendy yang berdiri di sebelahnya. Keduanya langsung gelagapan.

"Sungguh Nona Armani, kami tidak sadar Anda ada di sini," sanggah pria yang memulai pembicaraan tadi.

"Jadi orang itu masih di sana?"

"Saya dengar dari penghuni lantai empat lainnya dia masih berusaha membuka pintu, memukul-mukul pintu, dan menghubungi seseorang. Orang itu meneriaki Nona Armani dan sesekali mengumpat. Ini sudah berlangsung sekitar 20 menit. Satpam berjaga, tapi belum ada yang menghubungi polisi," jelasnya. Pria lain mengangguk-angguk menyetujui setiap perkataan rekannya.

Amarah mulai memenuhi kepalanya. Wendy semakin erat menggenggam tangan Joshua. Suasana lift menjadi sunyi begitu pintu terbuka. Mereka keluar bersama, Wendy berlindung di belakangnya. Kedua pekerja kebersihan yang mengerti situasinya ikut menjaga Wendy dari samping. Matanya bertemu dengan Louis saat mengintip. Ia langsung berlari mendekat meraih tangan Wendy.

"Wendy, kau tahu aku sangat merindukanmu?" tanya pria itu tersenyum seakan tidak terjadi apa-apa. Joshua menatapnya tajam dan muak, menahan tangan Louis yang sudah berhasil mencengkeram pergelangan tangan Wendy.

Louis yang sejak tadi sudah jengkel menunggu Wendy, senyumnya langsung sirna melihat tangan Joshua. Tatapan itu seperti merendahkannya. Joshua menarik tangan Louis agar melepaskan Wendy, tapi cengkeraman itu justru semakin kuat hingga membuat wanita itu kesakitan. Louis pun mulai mengangkat kedua ujung bibirnya sambil menatap Joshua, memprovokasi dan berbalik mengejeknya.

Habis sudah kesabaran Joshua, tapi dirinya tetap diam dengan wajah datar. Tanpa aba-aba ataupun sepatah kata, kepalan tangannya sudah mendarat di pelipis Louis. Cengkeraman itu terlepas, kedua pria paruh baya langsung sigap memasang badan di depan Wendy. Satu memegang sapu dan satu memegang pel saling menyilang menjaganya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 12, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

More Than WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang