01| Tanpa Dirinya

27 1 0
                                    

     “Rasanya sakit jika harus menghindarinya setiap waktu. Namun, rasa luar biasa ikut menghampiri ketika aku melihat dirimu kembali setelah sekian lama.” 

— Jakarta, September 2015

     Jika pada tahun sebelumnya, Arum selalu menghabiskan waktunya untuk Galen. Tahun ini agak berbeda rasanya. Hampir satu tahun Arum menghindari Galen. Ia memilih untuk mengabaikan ratusan pesan Galen dan menghindar jika harus bertemu dengan remaja laki-laki tersebut. 

     “Lo dimintain Bu Dian buat ke kelas XII MIPA 2 buat ngambil buku yang ketinggalan,” tutur Kiara yang ikut duduk di sebelah Arum. 

     Arum menghela nafas begitu mendengar XII MIPA 2 disebutkan oleh Kiara. “Nggak bisa lo aja yang ngambil?” 

     “Ya Tuhan, kenapa si sama kelas XII MIPA 2? Ada setannya? Apa ada malaikat mautnya? Tiap disuruh ke XII MIPA 2, gue mulu yang lo mintain.” 

     Arum terkekeh mendengar keluhan sahabatnya. Sebenarnya Kiara tau bahwa ada seseorang yang Arum hindari selama hampir setahun ini. Namun, menurut Kiara bukankah lebih baik mereka berbaikan? Tidak ada salahnya untuk berbaikan dan berdamai.

     “Rum, lo nggak penasaran sama kabar dia? Cuman sekali ini aja kok Rum, apa salahnya sih? Udah hampir satu tahun lo ngehindarin Galen, dia pastinya bingung karena lo tiba-tiba begini. Lo nggak bisa menghindari Galen terus, Rum.” 

     Kepala Arum yang semula ada di atas meja kini menatap ke arah Kiara. Apa yang Kiara katakan itu benar. Ia merindukan Galen, ingin sekali ia bertanya mengenai kabar Galen. Namun, selama ini ia berusaha untuk melupakan Galen. 

     Kiara mengadahkan kepalanya melihat Arum yang tiba-tiba berdiri, sebelah alisnya terangkat seolah bertanya. “Kemana?” 

     “Ngambil bukunya Bu Dian.” 

     Kiara mengulas senyum tipis mendengar jawaban Arum. Bagi Kiara, kadang berdamai lebih baik dari pada harus menghindar setiap saat. Bukan ia tak pernah merasa patah hati atau semacamnya, justru ia pernah merasakan hal itu. Dua tahun mengagumi dalam diam, melihatnya bahagia, tertawa bersama orang lain, bukan dirinya. 

     Arum berjalan keluar kelas menuju XII MIPA 2. Sebenarnya, tak bisa dipungkiri bahwa dirinya rindu akan sosok remaja laki-laki yang lebih tinggi darinya 7 sentimeter, tapi dibalik rasa rindunya kadang terbesit rasa kecewa pada Galen. Jìka memang Galen tau bahwa Arum menyukai dirinya, akan lebih baik rasanya jika Galen menolaknya lebih awal. Campuran penyesalan juga kerap kali hinggap dalam hatinya, bukankah lebih baik jika ia tidak mengungkapkan isi hatinya? Namun, waktu itu ia juga merasa lega bersamaan dengan rasa sesak. 

     “Len, gue kangen sama lo.”

Laut Kala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang