#drowning [1]

337 52 16
                                    

HAI, River...

Bagaimana kabarmu?

Apakah nyenyak tidurmu?

Dan hari-harimu, masihkan baik-baik saja seperti sepuluh tahun lalu?

Jika iya, syukurlah. Sebab hal sama masih terjadi denganku. Kabarku masih seburuk dulu, tidurku tak pernah sepulas saat kita bolos kelas olahraga kala itu. Dan hari-hariku masih secara repetitif melakukan kebiasaan bodoh; salah satunya menyisir jalanan gelap menuju rumahmu.

Jika kau lupa, kau pernah membawaku ke rumahmu yang sepi. Jarak yang tidak terlalu jauh dari sekolah kita, yang kalau boleh jujur saat itu dadaku bertalu-talu luarbiasa. Padahal sesederhana kau meminjamkanku sepatu, itu pun sudah berdebu yang lama mengendap di rak sepatumu.

Tapi hangat senyummu saat mengatakan akan menyakitkan berjalan tanpa alas kaki, membuatku dengan sukarela membuka selebar-lebarnya pintu di hatiku. Tak perlu kau ketuk, kebaikanmu sudah menyelamatkanku. Kusebut kau bodoh karena rela menjadi anomali di antara protagonis lain yang memandang jijik diriku.

Hanya kau yang mau berteman denganku di saat seisi kelas bahkan satu sekolah mengutukku sebagai anak pembawa sial. Kau tak takut dicap aneh berjalan bahkan berbicara dengan pembunuh sepertiku. Kau dengan lantang membungkam mereka, membelaku jika yang terjadi saat kematian Papa adalah musibah, bukan karena aku.

River...

Aku pernah tenggelam di kedalaman, bahkan mungkin menjadi satu dari sekian yang masuk daftar dijemput malaikat kematian bila bukan Papa yang menggantikan. Sesak, perih, dan tak berdaya tidak akan pernah sepadan dengan hampa yang kubawa sekarang, sepuluh tahun setelah kau pergi tanpa pemberitahuan.

Lampu rumahmu masih gelap gulita, catnya mengelupas termakan usia, gerbangnya reyot yang aku sangsi bila tersapu gerimis hujan akan roboh hingga ke engsel-engselnya. Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Berharap besok 'kan ada keajaiban, kau berdiri di hadapanku, tersenyum seperti hari itu. Hari yang membuatku bertahan dari sayatan silet dan simpul tali yang kusimpan rapi di lemari lusuhku.

Aku pikir aku sudah mati rasa, tapi merindukanmu adalah ritual paling perih yang digdaya. Basah sekujur tubuhku diguyur hujan tak menyurutkan harapku untuk kembali bertemu. Berharap pada bangunan tak berpenghuni di hadapanku, berdiri dengan sepatu yang warnanya pudar pemberian darimu.

Haruskah aku menyerah kali ini? Benar-benar menyerah untuk tak menantimu lagi? Berhenti berharap di saat aku tak memiliki siapa pun di dunia yang dingin ini?

Kembalilah...

Ada hal yang ingin kuucapkan padamu.

Untuk kali ini saja, tolong menangkan aku dari perang panjang hidupku.

Tolong tenangkan aku dari bising suara yang mendominasi kepalaku.











I could fall deeper and die
Will you come back one more time
I could fall deeper and die
One more time

drowningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang