CHAPTER 39

265 18 8
                                    

Jangan pernah menghakimi seseorang dengan masa lalunya. Selagi nyawa masih berada di kerongkongan berarti ia masih berhak mendapatkan kesempatan kedua untuk bertaubat.

-Bilal Abidzar Ar Rasyid.


°°°


Senyum manis tidak pernah lepas dari bibir Bilal sampai semua temannya ikut terheran. Baru kemarin ia cerita tentang masalahnya yang begitu rumit sekarang tiba tiba ia kembali tersenyum nyaris tanpa beban.

"Kenapa sih, Lal? Senyum senyum terus dari tadi?" Tanya Bima penasaran.

"Iya, Lal. Cengengesan terus dari tadi. Tumben banget?" Lanjut Ilham.

"Saya cuma seneng aja! Akhirnya, masalah saya sama Hanna udah selesai." Jawab Bilal.

"Hanna maafin lo?" Tanya Bima dengan muka syok nya.

"Iya! Kemaren saya ditemani Umi sama Abi datang kerumah Hanna buat minta maaf. Ya, walaupun ada sedikit drama, Alhamdulillah akhirnya saya dimaafin. Hubungan keluarga kita juga kembali membaik." Jawab Bilal.

"Semudah itu?" Tanya Ilham.

"Kok bisa? Kita semua tahu sifat Hanna kayak gimana. Dia nggak mungkin mau ngalah gitu aja." Sambung Bima.

"Mungkin pengaruh usia, Hanna kan udah dewasa sekarang. Jadi sifatnya juga udah berubah nggak kayak dulu lagi." Jawab Deren menyela ucapan mereka.

"Tetap aja, Der. Kita jangan terlalu percaya sama Hanna. Siapa tahu dia lagi masang jebakan buat, Bilal." Ucap Bima dengan spontan.

"Astaghfirullah hal azim. Istighfar Bim. Lo nggak boleh se'uzun kayak gitu sama orang." Tegas Deren.

"Tapi, apa yang di ucapin Bima itu ada benarnya juga. Hanna itu udah hidup dengan sifatnya selama belasan tahun. Jadi nggak mungkin dia bisa merubah sifatnya secepat itu." Jawab Ilham.

Bilal hanya tersenyum manis mendengar perdebatan mereka. "Nggak ada yang mustahil Bim, Ham. Allah yang sudah membolak balikkan hati seorang hamba. Siapa tahu selama kuliah empat tahun ini, Hanna banyak belajar dan memang ingin berubah." Ucap Bilal.

"Kemaren gue juga sempet ngobrol sama Hanna. Gue juga bisa ngerasain kalau sifat Hanna yang sekarang itu emang udah berubah. Nggak kayak dulu lagi." Lanjut Deren.

"Hanna itu perempuan yang agamis dan dia pasti tahu akan aturan agama. Jadi Hanna nggak mungkin ngelakuin hal yang diluar batas." Sambung Bilal.

Bima dan Deren langsung menunduk. Sebenarnya hati kecil mereka tetap belum percaya. Tapi, mereka berdua tidak ingin membuat keributan karena masalah sepele. Itulah sebabnya mereka berdua memilih mengalah seakan ikut percaya.

"Kalian benar. Seharusnya kita nggak boleh kayak gini sama Hanna. Apalagi dia juga bagian dari keluarga kita." Ucap Ilham.

"Mungkin ini cuma pikiran kita aja. Maaf ya, Lal. Kita nggak bermaksud buat nambah beban pikiran lo." Lanjut Bima.

"Alhamdulillah!" Jawab Deren.

"Kalian nggak usah khawatir. Kita punya Allah. Allah pasti akan menjaga hambanya dimana pun berada termasuk saya." Ucap Bilal sambil tersenyum manis.

"Aamiin!" Jawab mereka semua serentak.

"Astaghfirullah hal azim." Ucap Bilal sambil menepuk jidatnya dengan tangan karena teringat akan sesuatu.

"Kenapa, Lal?" Tanya Ilham.

"Saya lupa. Saya harus jemput Lea di kampus." Jawab Bilal.

"Ya udah sana, jemput. Kasian Lea pasti udah nungguin dari tadi." Sambung Deren.

Lentara Untuk Zaujaty [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang