•••Sepertinya, pertumpahan darah adalah hal yang lumrah terjadi saat ini. Orang-orang yang tidak bersalah mati begitu saja meninggalkan orang tersayang mereka. Entah harus merasa beruntung atau tidak karena berada diluar barak saat pengeboman terjadi. Rasanya seperti, seharusnya aku ikut mati bersama mereka.
"Mereka sudah menyerang warga sipil berulang kali." Aku diam ditengah para prajurit yang tersisa. Tak banyak, hanya beberapa.
"Mereka ada bersama kita, Tuan Bolide. Kita adalah tentara."
Tapi aku merasa beruntung Daylan masih tetap hidup, masih bisa berdiri dihadapanku dengan wajah tegasnya.
"Gerry," Aku mendongak, perasaanku tidak enak apalagi saat Daylan menghela nafas kasar. "Pergilah, bawa yang lain bersamamu."
Apa maksudnya? Bahkan bukan hanya aku, tapi seluruh pasang mata terutama Gerry—salah satu teman Daylan, juga ikut bingung mendengar perintah itu.
"Aku akan ke Markas Angkatan Udara."
"Markas mana yang kau makud, Daylan? Semua sudah hancur, atau kau hanya ingin mati karena merasa bersalah?" Gerry meninggikan suaranya, membuatku semakin merasa takut.
"Mereka tidak aman bersama kita, Gerry."
"Disaat seperti ini memang ada tempat yang lebih aman daripada tetap bersama-sama?" Daylan terdiam beberapa saat. Kepalanya menunduk dengan helaan nafas yang sangat berat. Ku pandangi lengan kemejanya yang robek dan luka akibat terkena bebatuan saat berusaha melindungiku dari ledakan.
Tiba-tiba ia melihatku sekilas sebelum akhirnya keluar dari tempat yang kami gunakan untuk pelarian, sebuah sekolah kecil di pinggir kota. Suasana menjadi lebih tegang saat Daylan keluar, ditambah Gerry memukul keras kursi kayu yang tersusun rapi, membuat yang lain terkejut. Ikut merasakan ketidak-adilan yang terjadi. Tanpa menunggu lama aku keluar untuk melihat kondisi Daylan. Aku melihatnya menatap bintang-bintang dilangit. Seperti yang aku katakan sebelumnya, bahwa Daylan tidak pernah menatap langit malam. Saat itu, tatapannya sangat kosong, berkali-kali menghela nafas, bahkan untuk menelan saliva sepertinya sangat berat.
"Aku tidak tahu harus berbuat apa," Suaranya bergetar, "Aku takut." Aku berjalan mendekat ke arahnya.
"Aku takut, Ashley."
"Aku tahu, aku disini."
"Aku takut suatu hari harus kehilangan dirimu, Ashley." Aku tidak menyangka kalimat itu keluar dari mulutnya. Sorot matanya menunjukkan bahwa ia serius dengan apa yang ia katakan. Aku mematung, namun jantung ku berdetak sangat cepat.
"Aku takut aku gagal melindungi mu."
"Daylan, aku–"
"Maaf sudah membawa dirimu bersama ku." Tanpa aba-aba Daylan masuk, meninggalkanku yang masih membeku sendirian dibawah kelap-kelip bintang diatas sana. Dulu, suasana seperti ini adalah saat yang tepat untuk menikmati malam, namun sekarang segalanya berubah. Bahkan saat sudah merasakan kebahagiaan, dalam hitungan detik semua akan menghilang. Bagaikan angin yang menyapu dedaunan kering saat musim gugur tiba.
Malam itu, aku terjaga semalaman. Pun dengan beberapa tentara yang berjalan kesana kemari disekitar sekolah.
"Ashley," Aku menoleh saat panggilan pelan itu terdengar. "Aku tahu kau tidak tidur." Aku tersenyum simpul dan duduk. Tadinya merebahkan diri pada kursi panjang yang tersedia.
Gerry berjalan menghampiri dengan langkah yang sangat pelan. "Saat matahari terbit kita bisa mencari obat-obatan, dan juga makanan." Ucapnya masih berbisik. Dikarenakan beberap warga sipil sudah tertidur lelap. Mereka juga butuh istirahat meski tidak tahu apakah saat ini sedang aman atau tidak.
"Baiklah." Gerry mengacungkan ibu jarinya.
"Gerry," Panggilku. "Aku ingin bertanya." Semenjak bertahan hidup di barak, diantara para prajurit lainnya–kecuali Daylan, aku lebih dekat dengan Gerry. Menurutku ia sangat asyik untuk dijadikan teman.
"Ada apa?" Ia langsung duduk disampingku saat merasa pertanyaanku ini penting.
"Kira-kira kenapa Daylan mengatakan bahwa kami tidak aman bersama kalian?"
"Oh, itu..." Gerry menatap lurus, pada teman-temannya yang sedang berkumpul entah membicarakan apa. "Serangan hanya dilakukan antar tentara. Entah itu markas angkatan udara, darat, atau bahkan laut. Namun belakangan mereka juga meledakkan area warga sipil. Aku rasa Daylan ingin kalian aman dengan tidak membawa kalian bersama kami, tapi ia hanya mencelakai dirinya sendiri."
"Dan juga..." Gerry menggantung kalimatnya, menoleh ke arahku. "Sepertinya ia menyukai mu, Ashley." Aku langsung memukul dirinya.
"Jangan menyimpulkan yang tidak-tidak!" Gerry malah tertawa namun dengan tone suara yang pelan, takut yang lain malah terbangun karena kegaduhan yang kami ciptakan.
"Daylan menghilang." Salah seorang tentara menghampiri kami berdua dan berkata demikian. Jantungku seolah berhenti berdetak saat itu juga.
"Apa maksud mu? Tadi dia tertidur di–" Aku dan Gerry menoleh ke belakang dan tidak mendapati apa apa, hanya kursi kosong.
"Ah, sialan." Gerry langsung berdiri dan berlari keluar. Rasa gelisah, takut, juga kehilangan kembali aku rasakan. Tanpa diarahkan kakiku berdiri, berjalan dengan gontai sebelum akhirnya berlari mengitari gedung sekolah. Mataku memanas, aku ingin menangis, berteriak, meluapkan amarah yang entah kepada siapa. Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa. Kakiku terus melangkah menuju gang gang kecil berharap Daylan belum terlalu jauh untuk aku hentikan.
Namun sialnya, aku tidak mendapati ia dimana pun. Kenapa tadi aku hanya diam? Kenapa aku tidak mengatakan bahwa aku juga takut kehilangan dirinya? Bagaimana jika... ia mati tanpa aku ketahui dimana keberadaan mayatnya?
Tangis ku pecah, pada gang sempit berpagar batu, pada heningnya malam, pada hari dimana aku tidak lagi melihat orang yang membuatku harus tetap melanjutkan hidup.
–to be continued–
KAMU SEDANG MEMBACA
Till Death Do Us Part
Historical FictionSudah 1 tahun berlalu sejak perang dunia kedua dimulai. Disana lah Ashley Moonstone, seorang putri bangsawan yang hidup dalam tekanan dan menjadi boneka dalam keluarganya, bertemu dengan Daylan Bolide. Seorang pejuang negara yang bekerja untuk menju...