Ch. 1

5 2 0
                                    


•••

Sudah dipenghujung bulan Mei, sebentar lagi adalah ulang tahunku yang ke 20. Sulit menerima bahwa angka itu akan berubah dalam hitungan hari, dan beban untuk menjadi wanita seutuhnya semakin bertambah. Diusia ku yang baru menginjak 15 tahun Ibu sudah mengajarkan aku cara berjalan yang baik, bak seorang putri bangsawan. Aku mulai terbiasa dengan hal itu, ditambah anak-anak perempuan disekelilingku juga mempelajari hal yang sama.

Untuk ulang tahun kali ini, aku ingin menghias kue ku sendiri. Berkutat di dapur adalah hal yang seru menurutku, apalagi mencium aroma oven saat memanggang berbagai macam makanan, terutama roti-rotian.

"Ashley!" Teriakan yang menggelegar seperti dinosaurus itu sontak membuat aku yang tadinya sedang bercermin menoleh. Kakiku berlari-lari kecil menuruni anak tangga satu persatu sembari menyahut panggilan tadi. Dengan gaun seindah cakrawala yang baru dibelikan Ayah di pusat kota sehabis bertugas ke negeri seberang, aku sedikit mengangkatnya agar tidak terjatuh saat berlarian.

"Ada apa, Bu?" Aku tiba di kamar kedua orangtua ku yang sangat hangat. Rasanya setiap musim dingin tiba aku ingin terus berada disini untuk menghangatkan tubuh.

Ny. Moonstone-Ibu ku, berbalik badan. Menyodorkan secarik kertas yang tidak asing.

"Ayah mu tidak pulang untuk beberapa waktu," Kekecewaan mulai merubah mimik wajah ku. "Kita akan merayakan ulang tahun mu hanya berdua saja." Ini bukan pertama kalinya, ditambah aku adalah anak tunggal. Ibu dan Ayah memutuskan tidak memiliki anak lagi karena sejak aku berumur 5 tahun mereka terlalu sibuk untuk mengurus bayi. Banyak bisnis yang mereka kerjakan sehingga aku harus dititipkan ke Bibi Aimee, seorang pekerja di rumah tempat aku tinggal.

"Ah..." Aku tidak bisa merespon, hanya menundukkan kepala, mundur beberapa langkah, dan keluar dari rumah.

Ayah ku seorang viscount, Gubernur jenderal lebih tepatnya. Beliau memiliki kewenangan mengurus provinsi serta wilayah yang lebih kecil. Pekerjaannya membuatku mewajarkan segala kesibukannya, ditambah umur ku yang sudah cukup dewasa untuk mengerti tentang monarki. Aku hanya berdoa agar suatu hari tidak harus meneruskan pekerjaan yang memotong waktu bersama keluarga itu.

Saat berjalan keluar, aku melihat Bibi Aimee membawa keranjang rotan ditangannya.

"Bibi Aimee!" Panggilku dengan riang gembira, melambaikan tangan lalu berlari menghampiri dirinya yang entah hendak berpergian kemana.

"Ulang tahun ku kali ini sama seperti sebelumnya," Seolah sudah hafal dengan rasa kesepian yang terjadi tiap tahun itu, Bibi Aimee tersenyum sembari menghela nafas.

"Aku akan ke kota, kau ikut?" Pergi ke pusat kota adalah hal yang paling aku sukai. Sontak langsung mengangguk dan mengambil alih keranjang rotan yang menggantung dipergelangan tangan Bibi Aimee. Pusat kota mempunyai banyak keindahan dan pastinya lebih ramai dari tempat yang aku tinggali. Jarak rumah ke pusat kota Plymouth memakan waktu sekiranya 20 menit. Tidak jauh dan tidak dekat, hanya saja terlalu lelah jika harus setiap hari menempuh waktu selama itu.

Saat masih kecil, aku selalu ikut Ayah pergi ke pusat kota dengan menunggangi kuda kesayangannya, Joseph. Sebelum pergi Ayah membuatku berjanji untuk tidak membeli apapun, berakhir aku selalu menggenggam gulali setiap pulang dari pusat kota. Tapi, Ayah tidak pernah marah akan hal itu, Ayah tidak berhenti mengajakku ke pusat kota sampai akhirnya aku menginjak umur 16 tahun.

"Apa yang akan kau beli, Bibi Aimee?"

"Aku akan ke toko kain. Kau ikut atau ingin pergi ke tempat lain?" Aku menoleh kesana kemari, mencari tujuan karena menurutku melihat bahan tekstil itu sangat membosankan. Aku hanya ingin melihat mereka saat sudah menjadi hal yang bisa dipakai.

"Aku akan keliling." Ucapku dan mengembalikan keranjang rotan itu pada pemiliknya.

"Hanya satu jam, Nona Moonstone. Atau aku akan dibunuh oleh kedua orang tua mu." Aku tertawa geli mendengarnya. Namun langsung mengangguk dan melengos pergi menghampiri kedai kecil yang ramai akan anak-anak. Tebakanku itu adalah gulali yang selalu aku beli dulu.

"Wah, mereka sangat gigih." Karena aku pikir mereka akan tutup setelah beberapa tahun lalu terjadi pemberontakan di area pasar.

Aku menatap anak-anak kecil yang bercanda gurau dengan sesamanya. Sepertinya akan asyik jika memiliki banyak teman, apalagi saat ulang tahun tiba. Satu-satunya sahabatku saat ini pergi ke negara lain, mengejar mimpinya untuk menjadi seorang dokter. Aku berangan-angan memiliki kesempatan untuk melakukan hal yang sama, pergi jauh untuk mengejar mimpi. Namun, kedua orang tuaku hanya ingin aku menikah dan melanjutkan keturunan. Mungkin karena aku adalah anak satu-satunya.

"Permisi, Nona, kau menghalangi jalan kami." Aku tersadar dari lamunanku saat seorang prajurit berdiri tepat disampingku. Membawa senjata dan seragam lengkap, seperti sedang bersiap untuk perang.

"Ah, iya, maaf..." Sontak maju beberapa langkah dan membiarkan mereka semua lewat. Sepertinya ada sekitar 10 prajurit dengan senjata dan seragam lengkap. Entah apa yang mereka lakukan saat ini, yang pasti aku akan membeli gulali dan kembali ke toko tekstil bersama Bibi Aimee.

"Tuan, tolong satu gul-"

"Jerry, seperti biasa." Omonganku terpotong saat seorang pria bertubuh tinggi langsung memotomg antrianku. Padahal kalau membicarakan soal memotong antrian bisa saja tadi aku mengusir beberapa anak yang beli. Tapi apa daya, aku bukan orang yang suka mencari keributan, alhasil aku hanya diam dan menunggu giliranku berikutnya.

Aku mengerucutkan bibirku saat rasa lelah mulai menguasai. Aku jarang merasa seperti ini dan entah kenapa harus sekarang.

Akhirnya, giliranku. "Tuan, tolong-"

"Maaf, Nona. Lolly-popnya sudah habis." Ini mengalahkan patah hati saat cintaku ditolak oleh orang yang aku suka ketika berumur 10 tahun dulu.

Dunia benar-benar tidak dipihakku hari ini. Ingin membual hingga mulut berbusa dan nafas habis pun aku tetap tidak mendapatkan gulali dan merayakan ulang tahun bersama Ayah. Lantas hanya menghela nafas, lalu berbalik.

"Maaf,sepertinya aku mengambil jatah mu." Benar, dia pria yang tadi memotong antrianku. Mengenakan syal berwarna coklat tua dan topi beret abu abu.

–to be continued–

Till Death Do Us PartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang