Ch. 2

3 3 0
                                    


•••

Sesuai dugaan, ulang tahunku dilakukan secara sederhana. Hanya makan malam seperti hari-hari biasanya, Ibu tidak banyak bicara begitu juga dengan aku yang tidak memiliki banyak hal untuk diceritakan. Setelahnya, aku pergi ke kamar Bibi Aimee yang terletak didekat dapur. Ia menghidangkan pie labu dengan teh chamomile, katanya agar aku bisa tertidur lelap tanpa harus menangisi hari spesialku. Ia juga berkata, bahwa suatu hari akan ada pangeran yang menjemputku untuk melihat dunia luar dan merayakan hari ulang tahunku tanpa air mata kesedihan. Aku hanya tertawa mendengarnya, juga berdoa semoga hal itu benar benar bisa terjadi.

Hari-hariku disibukkan dengan hal yang sama berulang kali. Merajut, minum teh, memanggang, berkebun, lalu membaca buku. Aku sudah tidak sekolah, namun aku lulus tepat waktu sebagai siswi berprestasi. Sayangnya, aku melepas impian ku untuk menjadi seorang perawat karena itu jauh dari keinginan kedua orang tua ku.

Musim dingin sudah berakhir, pun dengan musim semi yang hampir berganti dalam hitungan minggu. Entah kapan Ayah akan pulang dari segala kesibukannya, sayuran yang aku tanam sejak musim gugur pun sudah tumbuh, aku ingin ayah melihat itu saat beliau pulang.

"Selamat pagi." Sapaku pada tumbuhan tumbuhan yang tumbuh sangat subur. Sebentar lagi musim panas, aku khawatir semua tumbuhan ini bisa bertahan pada saat itu karena pasokan air pasti berkurang.

Aku bersandar pada pohon ek yang sudah berumur jauh diatasku, sekitar 100 tahun lamanya. Rantingnya menjalar bebas, buah yang dihasilkannya cukup membuat para pekerja lelah membersihkan halaman belakang. Pohon ini pernah hampir dirobohkan, namun Ibu melarang karena bentuknya yang unik dan keberadaannya sangat jarang di negara kami. Alhasil, aku menjadikan tempat ini sebagai tempat istirahat saat lelah berkebun dan ingin bersantai sejenak.

Saat sendirian masih terpikirkan oleh ku, kenapa aku tidak diperbolehkan masuk universitas, mengejar mimpi, bekerja, dan keliling dunia. Padahal bisa dibilang kami adalah keluarga berada yang tidak perlu memikirkan biaya, apalagi koneksi ada dimana-mana.

"Nona Ashley." Aku terbangun dari lamunan panjangku kala suara dan langkah kaki Bibi Aimee yang menyeret dedaunan kering menghampiri.

"Iya?"

"Tuan Moonstone sudah pulang." Senyum dibibirku merekah. Segera aku berdiri meninggalkan alat berkebunku di bawah pohon ek dan berlari ke rumah. Ini diluar dugaan, aku pikir Ayah tidak akan pulang dalam waktu yang lama. Ternyata hanya dua hari setelah hari ulang tahunku.

"Ayah!" Beliau menoleh dan langsung aku hadiahkan pelukan hangat untuknya.

"Oh, hahah, gadis cantik ku. Bagaimana kabar mu?"

"Baik! Apa yang Ayah bawa kali ini?" Sepertinya wajah antusias ku tidak mengundang hal yang sama diwajah Ayah. Beliau hanya diam, tersenyum simpul lalu berbalik badan—kepada Ibu.

"Saat makan malam akan ada yang Ayah mu katakan. Jangan kemana-mana." Ucap Ibu, lalu menggandeng Ayah untuk pergi ke kamar dan beristirahat.

Apa yang ingin dikatakan Ayah? Apakah sepenting itu sampai harus menunggu saat makan malam tiba? Bagaimana jika Ayah ingin keluar negeri dan tidak pulang dalam beberapa tahun? Ah, ada baiknya aku masuk ke kamar dan membersihkan diri daripada memikirkan hal yang belum terjadi.

Hidangan malam ini cukup mewah, mungkin karena menyambut Ayah yang pulang dari negeri seberang. Sudah menjadi hal biasa makan keluarga hanya ditemani suara dentingan alat makan saling bertemu.

"Ashley." Ayah mengangkat suara, saat suapan terakhir daging sapi baru saja aku telan.

"Sudah saatnya kau menikah." Tanpa aba-aba aku langsung tersedak dan meminum segelas air putih diatas meja makan. Meneguknya hingga habis karena hidungku terasa perih.

"Kau tahu Tuan Jean Marvelo." Aku hanya mengangguk dengan sudah kehilangan selera makan. Ia adalah orang yang terhormat di desa kami. Memiliki rumah yang sangat besar seperti istana, harta berlimpah dan rumput pada halamannya sangat hijau.

"Ayah sudah sepakat menjodohkan kalian." Membelalakkan mata. Aku langsung menatap tajam Ayah.

"Dia 16 tahun lebih tua dariku, bagaimana bisa kami menikah?! Dan juga... Dia pernah memiliki istri." Lebih baik aku tidak menikah sama sekali jika harus menjadi pengantin dari pria yang pernah menikah. Aku sebenarnya tidak mempermasalahkan bagian 'pernah menikah' tetapi umur kami terpaut sangat jauh. Apa yang akan dikatakan orang-orang jika mengetahui Dewan terhormat mereka menikah dengan perempuan desa yang pendidikannya berhenti ditahap sekolah menengah?

"Tidak, Ayah, aku tidak mau." Aku berdiri dan hendak meninggalkan meja makan. "Aku mengikuti kemauan Ayah untuk tidak kuliah, tapi tidak untuk menikah." Ku tinggalkan ruang makan itu dengan langkah cepat dan nafas memburu. Sesak rasanya, hingga air mata ku seperti ingin tumpah tapi aku tahan.

Aku memang ingin menjadi Ibu, sangat ingin. Tetapi hanya dengan orang yang aku cintai dan dia juga mencintai ku. Bukan demi harta kekayaan, bukan untuk uang, dan jabatan.

—to be continued—

Till Death Do Us PartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang