•••Dulu sekali, impian ku adalah menjadi seorang dokter. Agar suatu hari bisa menyelamatkan banyak orang yang sakit dan terluka. Aku ingin menjadi berguna dimata banyak orang. Namun hari ini, semenjak bom meledakkan beberapa titik di kota kelahiranku, aku tidak melakukan banyak hal. Hanya termenung dan melihat kumpulan mayat siap dikubur pada sisi timur barak.
"Ashley!" Teriakan dari Daylan membuatku menoleh kepadanya. Ia berlari menggenggam secari kertas yang entah apa isinya.
"Ini dari keluarga Moonstone!" Mataku langsung berbinar mendengarnya. Dengan cepatku rampas kertas itu laluku baca keseluruhannya.
Ini tulisan tangan Ibu. Bait pertama, ia mengatakan bahwa mereka sudah aman di Skotlandia, tempat kelahiran Ibu. Setelahnya, Ibu masih mengungkit masalah perjodohan ku dengan Jean Marvelo yang ternyata ada bersama mereka. Meski itu berita yang tidak ingin aku baca, setidaknya aku lega mereka aman.
Walau aku tidak tahu kabar Bibi Aimee.
"Ashley?"
"Iya?" Lagi, aku tenggelam dalam sorot mata teduh berwarna amber itu.
"Aku akan keluar mencari bahan masak yang bisa dipakai untuk makan malam, apa kau mau ikut?"
Aku mengangguk, rasanya untuk mengucapkan satu kata saja sangat berat. Seperti sudah kehilangan segala keinginan untuk bertahan hidup. Namun entah mengapa, selama ada Daylan aku merasa yakin akan tetap aman. Aku yakin, akan ada hari cerah yang menghampiri di ujung jalan sana.
Kami berjalan sekitar 5 kilometer untuk mencari kayu bakar di hutan, juga mampir ke sebuah pasar kecil untuk membeli beberapa sayuran dan bahan masak lainnya. Setelah terjadi pengeboman beberapa hari yang lalu, pasokan bahan pakan menjadi sangat berkurang. Banyak kebun-kebun yang gagal panen akibat habis terbakar.
"Ashley," Di tengah perjalanan pulang, langkah Daylan tiba-tiba terhenti. Pada sebuah pedagang kaki lima yang sepertinya menjual manisan. "Kau mau? Setidaknya mengganti Lolly pop yang beberapa hari lalu terjatuh." Ah, ternyata dia sadar bahwa Lolly pop ku jatuh saat hari pengeboman terjadi.
Aku menggeleng, "Kita harus hemat." Ia malah menatap ku beberapa saat, sebelum akhirnya tetap membeli manisan itu dengan alasan untuk bekal selama perjalanan pulang kembali ke barak. Sialnya, aku malah menangis saat memakannya. Dada ku terasa sesak dan leher ku tercekat. Kepala ku tertunduk karena aku tidak ingin Daylan melihat perempuan menyebalkan ini menangis dihadapannya. Tapi detik kemudian, aku merasakan tangannya melingkar ditubuh ku, memberi kehangatan bak seekor induk koala yang ingin menghangatkan buah hatinya.
"Menangis lah. Tidak masalah menunjukkan sisi lemah mu kepada ku." Hari itu untuk pertama kalinya setelah merasakan kehilangan, aku menangis dalam dekapan seorang laki-laki yang tanpa aku sadari telah menjadi satu-satunya alasan aku harus tetap bertahan hidup.
Setelah banyak hari aku habiskan hanya dengan berdiam diri, akhirnya aku menunjukkan keahlian ku, yaitu memasak. Setiap ada menu baru yang aku buat, mereka memuji masakan ku dan tidak menyangka seorang putri bangsawan mahir dalam urusan dapur. Begitu juga Daylan. Aku menatapnya dari kejauhan, memegang mangkuk marmer sembari tertawa bersama teman-teman prajuritnya. Tak lama ia menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan. Aku tersenyum kikuk namun tidak beralih pandangan karena seperti yang selalu aku katakan, sorot matanya seolah mengunci pandangan ku.
Ia tersenyum. Lantas berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah ku yang duduk sendirian diantara tumpukan piring kotor juga alat masak.
"Sendirian lagi, Nona Moonstone?" Ledeknya sembari meletakkan mangkuknya pada tumpukan piring kotor.
"Berhenti memanggil ku seperti itu, Tuan Bolide" Ia tertawa begitu lepas sehingga aku pikir ia tidak memiliki kekhawatiran apapun dalam benaknya. Aku tidak pernah melihat Daylan diam dan merenung, melihat ia menatap bintang saat malam tiba dan memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya. Aku hanya melihat sisi dirinya yang sangat ceria, seolah peperangan memang jalan yang ia pilih, seolah dirinya memang ditakdirkan untuk turun ke medan perang dan bertahan hidup dibawah reruntuhan.
"Kau tidak membalas surat Ibu mu?" Tanyanya.
Aku menggeleng, karena bagi ku mengetahui bahwa mereka selamat saja sudah melegakan. Aku takut dengan mengirim surat mereka akan membawa ku pergi dari sini dan menikah dengan duda itu.
"Bagaimana dengan mu?" Aku ingin mengetahui kehidupan Daylan, kehidupan yang tidak pernah ia ceritakan sedikit pun.
"Aku? Kenapa?"
"Kau tidak mengirim surat ke keluarga mu?" Sebenarnya pertanyaan ini sangat sensitif dilontarkan, apalagi pasca pengeboman beberapa hari silam.
Daylan tersenyum, "Disinilah keluarga ku, aku tidak perlu mengirim surat kemana pun karena mereka disini." Ia menatap teman-teman seperjuangannya yang masih sibuk tertawa sejak tadi. Entah mentertawakan apa. Tapi detik itu entah mengapa aku seperti ingin memeluknya. Aku seolah menyadari ia sedang menutupi sesuatu yang sangat menyakitkan, sampai dirinya enggan membuka luka itu.
"Bagaimana dengan rumah? Tempat kelahiran?" Ah, sepertinya aku terlalu ingin tahu.
"London. Aku lahir di London." Aku tercengang mendengarnya. Itu adalah salah satu kota besar di Inggris.
"Lalu? Kenapa berakhir di kota kecil ini?"
"Aku melarikan diri." Itu diluar dugaan ku. Alih-alih kembali bertanya, aku lebih memilih diam karena takut malah terlalu ikut campur.
"Baiklah, saatnya mencuci piring kotor ini." Aku berdiri dan langsung mengangkat piring-piring dihadapan ku.
"Eh, sebentar," Daylan berdiri untuk menahan. "Bagaimana bisa aku membiarkan seorang putri menuci piring?"
"Daylan, berhenti memanggil ku-"
"HEY, KALIAN! CUCI PIRINGNYA!" Ia berteriak memanggil teman-temannya. Aku terdiam sampai segerombolan pria berseragam datang menghampiri. Yang biasanya hanya melihat mereka memegang senjata api, kali ini mengangkat piring kotor, ember berisi air, dan sabun cuci piring bersama-sama. Anehnya mereka terlihat bahagia melakukan hal itu, lebih aneh lagi Daylan hanya berdiri memperhatikan sambil sesekali ikut mencipratkan air.
"Aku kapten disini, jadi aku bebas melakukan apa saja." Sifat sombongnya membuat ku ingin menyiram genangan air sabun dihadapan ku ini kepadanya. Ralat, hal itu benar-benar aku lakukan. Daylan tidak sempat menghindar alhasil tubuhnya basah kuyup, mematung beberapa saat.
"Oh, tidak..." Aku mendengar salah satu temannya berkata demikian.
"ASHLEY!" Berikutnya aku berlari sambil tertawa terbahak-bahak, dan saat berbalik tawa ku menghilang saat kedua tangannya membawa ember lebih besar berisi air kotor bekas cucian piring.
"Daylan, aku menyiram mu dengan air bersih." Aku masih berjalan mundur dengan ia yang berjalan mendekat.
"Ini juga air bersih sebelum dimasuki piring kotor." Dia sudah seperti psikopat yang akan membunuh targetnya.
"Kau curang, Tuan Bolide."
"Bersiaplah untuk mandi kotoran, Nona Moonstone." Aku berhasil menghindar tepat saat ia menyiram air kotor itu. Kembali berlari mengitari barak sembari tertawa dengan Daylan masih tetap mengejar.
"Daylan! Berhenti mengganggu tuan putri kami!" Sekitar 5 orang anak laki-laki berdiri dihadapan ku untuk menghadang Daylan yang masih mengejar.
"Benar, berhenti mengganggu ku, Tuan Bolide!" Kata ku memperkuat pembelaan sehingga anak-anak ini semakin dipihak ku.
"Baiklah, aku akan berhenti." Daylan berkacak pinggang dan membalikkan badan, membuat sekumpulan anak-anak tadi mulai membubarkan diri. Tapi detik itu juga Daylan kembali mengejar ku lebih cepat, diikuti anak-anak yang ikut mengejar, menimbulkan suara tawa dari para penyintas, meramaikan suasana barak.
Untuk pertama kalinya dalam hidup ku, aku bisa merasakan sebuah kebahagiaan lewat hal-hal sederhana. Sore itu adalah kali pertama, namun juga terakhir aku melihat tawa mereka sebelum akhirnya sebuah bom meledakkan barak.
—to be continued—
KAMU SEDANG MEMBACA
Till Death Do Us Part
Historical FictionSudah 1 tahun berlalu sejak perang dunia kedua dimulai. Disana lah Ashley Moonstone, seorang putri bangsawan yang hidup dalam tekanan dan menjadi boneka dalam keluarganya, bertemu dengan Daylan Bolide. Seorang pejuang negara yang bekerja untuk menju...