Ch. 3

2 2 0
                                    

Langit-langit kamar terlihat lebih hampa hari ini. Entah sudah berapa menit ku habiskan hanya untuk menatap hal kosong tanpa melakukan apapun. Tanaman ku mungkin sudah kehausan karena tuan rumah tidak menghidangkan pupuk serta air.

"Nona," Bibi Aimee membuka pintu kamar ku, sudah memakai topi beret dan keranjang rotan dipergelangan tangannya. "Aku akan ke pusat kota, Tuan Moonstone dan Nyonya pergi ke sebuah pertemuan."

Aku langsung terbangun dan turun dari ranjang, "Aku ikut." Dan merampas keranjang rotan dari tangannya. Rasanya aku akan mati muda jika terus berada di rumah yang terasa seperti penjara ini. Bagi ku kemewahan tidak ada apa-apanya jika merasa kosong.

Setelah terakhir kali gagal mendapatkan Lolly pop kesukaan ku, hari ini aku kembali ke pusat kota lebih awal bersama Bibi Aimee. Beruntungnya, aku tidak perlu mengantre karena entah kenapa saat itu suasana pasar sangat sepi.

"Selamat pagi, Nona." Aku langsung menoleh saat sinar matahari yang tadinya membuat mataku silau kini tertutupi.

"Kau..." Ya, dia laki-laki yang beberapa minggu lalu menerobos antrian ku dan mengambil lolly pop ku.

"Senang melihat mu lagi." Ramahnya sambil menyeringai namun tidak mengundang kedamaian dihati ku.

"Aku yang tidak senang." Aku menggumam.

"Aku sudah menunggu disini sejak terakhir kali," Bisakah dia diam? Aku hanya ingin menunggu lolly pop ku selesai dan menghabisinya tanpa harus diganggu. "Boleh aku tahu nama mu? Aku Daylan Bolide."

Sungguh menyebalkan.

"Untuk apa kau harus tahu nama ku?" Akhirnya, detik kemudian sang penjual memberikan lolly pop ku.

"Aku akan merasa tersanjung jika engkau memberi tahu nama mu, Nona lolly pop." Aku berbalik ke arahnya. Saat itu, aku baru bisa melihat wajahnya dengan jelas setelah terakhir kali sedikit tertutup oleh syal. Hidungnya mancung, sepertinya nyamuk pun bisa tergelincir saat hinggap disana. Ada luka kecil di bagian dagu, sepertinya goresan pisau. Dan saat menatap matanya, mereka berwarna amber. Namun saat cahaya matahari yang terpantul mengenai matanya, mereka berubah menjadi hazel.

"Aku Ashley, Ashley Moonstone." Ia terdiam beberapa saat dan senyumnya menghilang.

"Ouh... Maaf, Nona." Sudah ku duga ini akan terjadi. Tidak banyak yang tahu bahwa aku adalah anak dari seorang dewan bangsawan, itu dikarenakan Ayah jarang membawa ku ke pertemuan-pertemuan besar dan memperkenalkan aku sebagai anaknya.

"Tidak, untuk apa–"

Perkataan ku terpotong saat suara menggelegar muncul dari arah timur, tidak jauh dari tempat aku dan laki-laki ini–Daylan, berdiri.

"Apa yang sedang ter–" Lagi-lagi omongan ku terpotong ketika ledakan berikutnya terdengar. Aku melihat Daylan yang raut wajahnya sudah berubah. Orang-orang berhamburan melarikan diri, namun entah kenapa ditengah suara ledakan itu, mataku malah terkunci oleh mata hazel yang terus-terusan tertuju ke arah ku.

"Nona Moonstone!" Ah, iya. Dia sedang berbicara sejak tadi. Dengan wajah paniknya.

"Kita harus menyelamatkan diri!" Tanpa menunggu jawaban ia menarik tangan ku menjauh dari sana. Sayangnya, yang ku genggam erat adalah tangannya, bukan lolly pop yang aku idamkan sejak lama. Alhasil mereka terjatuh, bersamaan dengan genangan darah mulai memenuhi jalanan menuju pasar.

***

Aku tiba di rumah, namun segalanya berubah. Bangunan yang megah diatas tanah lapang dengan berbagai jenis tanaman, kini hanya puing-puing. Tidak ada yang tersisa kecuali pohon ek yang masih berdiri kokoh di halaman belakang.

Pikiran ku tak karuan, sibuk mencerna yang telah terjadi di depan mata. Aku tidak pulang bersama Bibi Aimee, aku tidak melihat Ibu dan Ayah.

Mungkin hancur saja tidak dapat mendeskripsikan apa yang aku rasakan saat ini.

"Mereka pasti sudah ditempat yang lebih aman." Seolah membaca pikiran ku, Daylan berkata demikian.

"Nona Moonstone."

"Ashley saja."

"Tidak, ak–"

"Daylan." Ia terdiam. Akan tetapi, pandangan ku masih tertuju pada reruntuhan.

"Aku akan mati, kan?"

"Tidak!" Dengan cepat ia menyangkal. Padahal pertumpahan darah sudah terjadi, dan kematian ada di depan mata.

"Kita harus ke barak militer, disana pasti aman."

"Aku tidak mempercayai para tentara." Daylan membuka jaketnya, bisa ku lihat dirinya menyimpan senjata api dibalik itu. Sebuah pistol dikemas baik pada holster dipinggangnya. Ia kemudian membungkus tubuhku dengan jaket tadi seraya berkata, "Kalau begitu percaya pada ku, Ashley." Menarik tangan ku, menaiki mobil yang tadinya membawa kita berdua kesini. Ke tempat yang ternyata hampir rata dengan tanah akibat ledakan bom.

Aku tidak tahu bahwa Daylan adalah seorang tentara. Hari pertama aku melihat ia, diantara banyaknya prajurit lain berseragam lengkap dengan senjata dipikul pada bahu mereka, Daylan hanya memakai syal dan topi.

"Kita akan mengirim surat saat keadaan sudah membaik, sementara waktu kau bisa tinggal di barak." Aku hanya diam. Bibir ku seolah dikunci untuk bersuara. Ribuan pertanyaan mulai muncul dikepala ku, salah satunya, 'Apa yang sedang terjadi pada negara kita?'

Musim panas tahun 1940, 1 tahun setelah perang dunia kedua dimulai. Langit menjadi gelap, pesawat tempur berlalu lalang di atas sana, menimbulkan suara ledakan yang tiada hentinya. Sejak hari itu, Inggris Raya berubah menjadi hitam.

—to be continued—

Till Death Do Us PartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang