PROLOG

158 22 5
                                    

Sabtu, 4 Januari 2020

Tammam Reifansyah, siswa yang duduk di bangku XI IPS 4 kini menjadi saksi utama, tepat setelah ia menemukan tubuh sahabat karibnya yang telah terbujur kaku di dalam perpustakaan sekolah. Meskipun hanya sepersekian detik, matanya sukses merekam dengan jelas bagaimana mengenaskannya kondisi jasad sahabatnya.

Noah Yudhantara, dinyatakan meninggal dunia. Setengah dari tubuhnya terjepit oleh rak buku yang ada di perpustakaan. Tepatnya sebuah rak kayu dengan desainnya yang begitu antik. Katanya, rak buku itu sudah ada sejak awal bangunan sekolah mereka berdiri. Tepatnya sekitar enam puluh lima tahun yang lalu.

Berbeda dengan rak-rak buku lainnya, rak tersebut sangat besar dan memiliki bobot yang tak ringan. Jelas kalau penemuan jasad kali ini membuat tim penyidik yang menanganinya ikut berpikir keras. Bagaimana rak seberat itu bisa terpelanting dan jatuh menimpa tubuh Noah.

"Kapan terakhir kali kamu melihat korban?" tanya salah seorang penyidik dengan nada serius. Ia sudah siap dengan buku catatannya yang terbuka.

Ruang bimbingan konseling yang biasanya digunakan untuk sesi konseling dengan siswa, kini di ahli fungsikan sementara, sebagai tempat interogasi oleh petugas dari Saruan Reserse Kriminal yang sering disingkat sebagai Satreskrim.

"Pukul tiga sore, setelah jam pelajaran usai." jawab Tammam dengan suara bergetar.

Petugas yang tadi bertanya mulai mencatat. Tammam tidak bisa melihat apa yang ditulis oleh petugas itu. Ia semakin gemetar karena takut kalau-kalau dirinya tetap dinyatakan sebagai orang yang bersalah. Ia takut jika dituduh sebagai pembunuh, terlebih, korban yang mati adalah sahabatnya sendiri.

Tammam tidak mungkin setega itu melakukannya.

"Karena kemarin adalah tugasnya untuk menjaga perpustakaan, jadi ia langsung pergi kesana lagi setelah jam pulang sekolah. Sementara saya langsung kembali ke asrama untuk beristirahat." sahut Tammam lagi, usai menjeda kalimatnya selama beberapa detik.

"Kesana lagi?" Petugas itu cukup jeli, jadi ia mempertanyakan kembali hingga ke bagian yang detail.

"Kami ada pelajaran bahasa dari pukul sepuluh hingga dua belas siang, dan itu di perpustakaan." jawab Tammam dengan cepat. Kali ini bukan tergesa-gesa, tapi karena ia sangat yakin dengan apa yang ia ucapkan tersebut.

"Lalu, pagi tadi kamu menemukannya di perpustakaan?" ujar petugas itu lagi. Melirik Tammam yang kala itu langsung menundukkan kembali pandangannya.

"Benar. Sebenarnya semalam saya menunggunya, karena tugas berjaga di perpustakaan hanya sampai jam setengah sembilan malam. Sayangnya saya tertidur, dan pagi harinya saya menduga kalau Noah tidak kembali ke asrama." jelas Tammam cukup panjang. Ia yang biasanya bicara blak-blakan kini harus berhati-hati karena lawan bicaranya bukanlah orang sembarangan.

"Baik, lanjutkan..."

Tammam menghela napas dalam-dalam, kemudian menghembuskan karbon dioksida itu dengan cukup kasar. Postur tubuhnya sedikit membungkuk, mulai merasakan tekanan yang sedikit melonggar.

"Saya sempat meneleponnya, namun tidak ada jawaban. Pikiran saya pagi tadi begitu positif, saya mengira kalau Noah mungkin ketiduran di perpustakaan. Benar, saya memang menemukannya tertidur, namun tidak untuk bangun kembali." suara Tammam menjadi parau.

Setibanya Tammam, ia menemukan pintu yang dalam keadaan tidak terkunci. Tangannya yang semula berhenti karena ragu, lantas menggenjot gagang pintu ruangan itu. Begitu ia membuka pintu, pelan-pelan cahaya matahari mulai masuk, menjatuhkan cahaya tepat pada objek yang ada di hadapan Tammam.

Noah tergeletak, dari mulai kepala hingga area perutnya terjepit oleh rak buku, membentuk genangan merah yang berbau amis di lantai. Jelas jika itu sukses membuat sepasang lutut Tammam terasa lemas. Dalam sekejap saja, ia sadar bahwa sahabatnya itu sudah tidak bernyawa.

BLOODY MARY - [ ON-GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang