"Udah ada orang yang kumpul di lokasi, jam tujuh kita bisa mulai." kata Elgar, menerima paket lilin terakhir yang dipesan oleh Theo. Matanya tertuju pada dus yang segelnya tidak direkat dengan rapi. Ia mengangkatnya dengan hati-hati.
"Duluan aja, nanti gue nyusul." sahut Theo, berlalu ke arah gedung sekolah.
"Jangan telat, OSIS harus stand by di lokasi lebih awal." pesan Elgar, sebelum akhirnya ia berlalu menuju ke area danau.
Sore itu, suasana di sekitar SMA Plumeria mulai ramai. Banyak kendaraan yang terjajar rapi di parkiran. Siswa-siswa yang mengundurkan diri ternyata masih mau meluangkan diri untuk datang ke acara doa dan penyalaan seribu lilin.
Theo berjalan santai, sampai ia melihat seseorang yang berdiri di dekat gerbang. Tepat di sampingnya ada sekitar dua koper dan beberapa tas besar. Karena rasa penasarannya, Theo memutuskan untuk menghampiri orang itu.
"Bro? Mau kemana?" sapa Theo yang langsung menepuk pundaknya.
Meskipun kedatangan Theo terkesan tiba-tiba, orang yang ia sapa tidak terkejut sama sekali. Ia berbalik, membungkuk kecil kepada Theo.
"Kak Theo, ya? Halo!" dia menyapa ramah, mengulurkan tangannya kepada Theo.
Theo menerima uluran tangan itu, menjabat tangannya. Sepertinya orang ini adalah salah satu adik kelasnya, namun Theo tidak terlalu mengenalnya. Dilihat-lihat kembali, sepertinya siswa ini hendak meninggalkan SMA Plumeria.
"Nama lo siapa?" tanya Theo.
"Kalandra Tobiara, XI IPS 3." katanya, memperkenalkan diri kepada Theo.
Sesekali, ada motor ataupun mobil yang berbelok masuk dalam lingkungan Plumeria, beberapa siswa yang mengenal Theo juga menyapanya. Pak Satpam juga sibuk mondar-mandir, mengkoordinasikan kendaraan yang masuk agar tidak sembarang mengisi tempat parkir.
"Kenapa nggak pulang besok aja? Malam ini ada acara besar, loh." Theo menyayangkan karena Kalandra tidak dapat menghadiri kegiatan yang di adakan oleh OSIS. Bahkan acara itu akan berlangsung kurang dari tiga jam lagi.
Kalandra tersenyum tipis, tampak sedikit ragu untuk menjawab. "Iya, Kak. Gue harus pulang ke Surabaya. Orang tua gue maksa banget." jawabnya sambil mengangkat sepasang bahunya itu, seakan ia tak punya pilihan lain.
Dahi Theo berkerut, Kalandra sepertinya tidak berbohong, tapi dari cara bicaranya seperti orang yang sedang diambang keraguan.
"Maaf gak bisa hadir, Kak." Kalandra mengatupkan bibirnya, kemudian mulai tertunduk sedih.
"Gak apa-apa, Ndra. Lo juga hati-hati dijalan, ya." kata Theo, menepuk sepasang pundak Kalandra. Ia memberikannya semangat, karena yakin bahwa Kalandra pasti membutuhkan dukungan agar tidak berlarut dalam kesedihannya itu.
"Gue yakin OSIS bisa bikin acara nanti lebih kondusif. Kalian jaga diri, ya." Pesan Kalandra, menoleh ke arah belakang Theo. Matanya menangkap ketiga temannya yang tengah melangkah menuju ke arahnya.
Theo menoleh, sudah ada Tristan, Yohaan, dan satu siswa lagi yang sepertinya sangat akrab dengan Kalandra. Raut wajahnya begitu sedih, seakan-akan enggan mengizinkan Kalandra yang hendak menginjak keluar dari SMA Plumeria.
"Kak Theo, ngapain?" tanya Yohaan.
"Dari jauh mirip preman yang mau malak penumpang di terminal bus." ejek Tristan sembari menutup mulutnya dengan telapak tangan. Caranya memberikan perumpamaan membuat Theo sedikit jengkel. Tapi bukan Tristan jika kalimatnya tidak setajam silet.
"Gue ini, kan, kakak kelas yang baik hati dan tidak sombong. Gue cuma nyapa adek kelas yang gue liat lagi bengong sendirian di gerbang. Khawatir aja keserempet mobil yang masuk." jawab Theo begitu percaya diri.
Ia tidak menghiraukan bagaimana respon Yohaan dan Tristan akan perkataannya. Ia langsung berlalu pergi menuju tujuan awalnya. Jika berlama-lama di tempat itu, Theo bisa-bisa mengabaikan prioritasnya.
Lagipula, Kalandra sudah ditemani oleh ketiga temannya di sana. Ia tidak lagi menunggu sendirian.
Sesampainya Theo di depan ruang tata boga, ia melihat ke dalam melalui jendela ruangan itu. Di sana, terdapat tiga orang siswa yang sedang sibuk beraktivitas di dalam. Mereka adalah Tulus, Arion dan Orion. Ketiganya tampak sedang latihan memasak, sangat fokus dengan kegiatannya masing-masing. Tulus bergantian menuju tempat mereka berdua, mencicipi, kemudian tampak memberikan masukan atas masakan yang sedang di olah. Tidak heran, sebab ia adalah mantan ketua ekstrakurikuler tata boga. Selama itu pula, Tulis sering mengikuti kompetisi memasak, dan meraih juara. Kemampuannya tidak bisa di anggap remeh.
Theo hendak mengetuk pintu, namun tepat sebelum punggung tangannya menyentuh benda di hadapannya, ada semilir angin yang menyapu tengkuknya. Hal itu sukses membuat Theo segera menutup area tengkuk dengan telapak tangan.
Ia menoleh ke arah kiri dan kanan lorong, namun tak menemukan seorangpun di sana.
'Kamu punya niat membunuh, ya?'
Suara itu datang dari sebelah kiri, dalam sekilas, Theo bisa melihat sosok seorang wanita yang berdiri tepat di sampingnya, membisikkan kalimat itu kepada Theo. Namun, dikala ia menoleh dengan sangat cepat, sosok wanita itu menghilang entah kemana.
Kejadian itu sukses membuat Theo bergidik ngeri, debaran jantungnya tidak dapat ia kendalikan dengan benar. Dalam sekejap saja, ia dilanda perasaan stress yang amat besar.
"Theo!" panggilan itu seakan menarik Theo kembali pada realita. Bahwa dirinya sedang berdiri di depan ruangan tata boga.
Sontak, Theo segera membelokkan pandangan, sudah ada Tulus yang berdiri di ambang pintu.
"Woi, Lo kenapa? Kesambet?" kata Tulus, sedikit berguyon karena tingkah Theo yang sedikit aneh.
"Oh, gak, gapapa." Theo sebelumnya hendak berlalu dari tempat itu, tapi baru tiga langkah berjalan, ia membelokkan kembali langkahnya, berjalan balik menuju hadapan Tulus yang masih berdiri di tempat itu.
"Gue mau pinjam tepung 1 kilo, besok gue balikin." kata Theo dengan amat santai.
Tulus mengangkat alis, penasaran. "Unik banget dateng-dateng minta tepung. Buat apa?"
Theo menyunggingkan segaris senyum. "Mau pake buat ngerjain orang."
Usai mendengar jawaban Theo, Tulus langsung tertawa geli, menduga-duga apa yang ada di kepala Theo. "Lo mau nyeplokin temen yang lagi ultah, ya? Aduh, gue udah lama banget nggak liat orang kena prank gitu. Nanti ajak gue, ya!"
"Yakin?" gumam Theo singkat, ia ikut terkekeh.
Tulus hanya bisa menggelengkan kepala seraya tersenyum. "Nih, gue ambilin tepungnya." sambungnya, yang kemudian berjalan menuju salah satu rak tempat menyimpan bahan-bahan untuk memasak. Ia membawa sekantong tepung seberat satu kilogram, lalu memberikannya kepada Theo.
"Makasih, Lus! Besok gue balikin." Kata Theo yang langsung menerima tepung itu, menggenggamnya dengan erat.
Tulus mengangguk. "Oke, nggak masalah. Eh, ngomong-ngomong, gimana persiapan acara malam nanti? Udah beres semua?"
Theo menepuk kantong tepung di tangannya dan menjawab, "Semua udah siap. Malam nanti bakal ada cahaya yang indah banget! Gue yakin ini bakal jadi momen yang gak bakal di lupain sama siapapun!"
Tulus tersenyum mendengar penjelasan Theo. "Bagus deh kalau udah siap. Semoga acaranya sukses, ya."
Theo mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum pamit pergi. Setelah meninggalkan ruang tata boga, Theo berjalan kembali menuju gedung asrama. Ia merasa puas dengan segala persiapan ini, meskipun masih ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk memastikan segala sesuatu berjalan dengan lancar.
••••• ••••• ••••• ••••• •••••
••••• ••••• TO BE CONTINUED ••••• •••••
KAMU SEDANG MEMBACA
BLOODY MARY - [ ON-GOING ]
HorrorSekolah Menengah Atas Plumeria Raya merupakan salah satu sekolah asrama terbaik di Jawa Barat. Memiliki lingkungan yang asri, berfasilitas lengkap, program beasiswa, hingga para guru yang berdedikasi. Sekolah ini merupakan salah satu tujuan bagi par...