Pukulan Keras

71 8 1
                                    

POV Tyme

Namaku Tyme. Aku seorang dokter yang hidup dalam kesendirian sejak orangtuaku menjadi korban sistem keji yang berakar di dunia mafia—perjudian ilegal dan peminjaman uang. Sistem yang merampas segalanya dari keluargaku. Dendam ini bukan sesuatu yang datang sekejap, tetapi bertahun-tahun berakar dalam, tumbuh menjadi api yang terus berkobar dalam dadaku. Aku ingin membuktikan kepada dunia bahwa bisnis seperti itu bukan hanya merugikan, tetapi juga menghabiskan hidup orang-orang yang tidak bersalah.

Saat itu, polisi seakan tak berdaya, lumpuh di hadapan kekuatan dan backing dari pemilik bisnis kotor itu. Aku tahu aku tidak bisa hanya diam dan menunggu keadilan yang tak kunjung datang. Maka, aku bertekad membalas dendam melalui putra kesayangan dari mafia yang telah menghancurkan hidupku—Great. Awalnya, itu niatku. Namun, siapa yang bisa menduga kalau hati manusia begitu lemah di hadapan cinta? Perlahan, tanpa sadar, aku jatuh cinta padanya, pada pria yang seharusnya kubenci. Dan dari hubungan itu, aku dihadiahi sesuatu yang lebih besar daripada apa yang pernah kubayangkan—seorang bayi.

Aku tahu, aku tidak bisa tinggal bersama Great. Bagaimana bisa? Dia adalah anak dari orang yang menghancurkan keluargaku. Meskipun rasa cintaku terhadapnya begitu dalam, dendam itu masih tetap ada, menggerogoti hatiku. Maka, aku memilih pergi, mencoba meninggalkan semuanya—beban, dendam, dan juga cinta itu. Aku menganggap semuanya tidak pernah terjadi, menguburnya dalam-dalam di sudut hatiku. Tetapi, semakin aku berusaha untuk melupakan, semakin terasa bahwa ada sesuatu yang mengikat kami. Ada tali tak terlihat yang menarikku kembali, seolah aku tidak akan pernah benar-benar bebas.

Perjalananku membawaku ke tempat yang aneh, sebuah komunitas bernama Walawa. Aku tiba di sana setelah didatangi oleh seorang pria yang tidak kukenal, yang mengenalkan dirinya sebagai Third. Dia bilang, aku dan anakku, Payu, harus ikut dengannya ke Walawa. Waktu itu, aku masih bingung, tetapi apa yang dia katakan membuatku tergerak. Dia bilang aku dan pasanganku adalah mate dan kami terlahir berbeda, hanya orang-orang disana yang akan memahami perbedaan ini, jadi ia terus bertanya dimana pasanganku.....Aku mengatakan padanya bahwa pasanganku telah kabur, bahwa aku masih mencarinya, meski itu kebohongan.

Aku mengatakan padanya bahwa pasanganku telah kabur, bahwa aku masih mencarinya, meski itu kebohongan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Third

Third menjelaskan bahwa dia memiliki kemampuan untuk mendeteksi orang-orang dengan status tertentu, terutama bayi dan anak-anak hingga usia sepuluh tahun. Itulah sebabnya dia bisa menemukanku dan Payu. Ia berjanji akan membantu menemukan pasanganku yang “hilang”, dan aku tersenyum, berpura-pura senang mendengar tawarannya.

Di Walawa, aku diminta bekerja sebagai dokter dan mendapatkan gaji yang cukup layak. Makanan di sini sangat murah—harganya separuh dari yang biasa aku temui di dunia luar. Tapi untuk kebutuhan lainnya, seperti pakaian atau barang mewah, harganya bisa tiga kali lipat. Jadi, meskipun hidup di sini nyaman, tidak ada kemewahan yang bisa kubeli. Itu tidak masalah bagiku, aku tidak mengejar kemewahan. Aku hanya ingin melupakan semuanya.

Hari ini, aku sedang bekerja di klinik kecil bersama Dr. Bun, memeriksa anak-anak yang akan menerima vaksin. Namun, tiba-tiba seorang suster datang dan mengatakan bahwa aku dipanggil oleh Tuan Kamol, kepala distrik tempat tinggalku. Bingung dan bertanya-tanya, aku pamit dari klinik dan bergegas menuju tempat Tuan Kamol. Tak ada firasat apapun yang mendahuluiku, hanya perasaan aneh yang tak terdefinisi.

 Tak ada firasat apapun yang mendahuluiku, hanya perasaan aneh yang tak terdefinisi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kamol (Kepala Distrik Lembah Selatan)

***

POV Great

Apa benar ini nyata?

Aku tidak percaya kalau akhirnya aku menemukan dia—Tyme. Di sana, dengan jaket dokter putih yang membingkai tubuhnya, dia tersenyum dengan wajah yang sangat kukenal, wajah yang pernah begitu kucintai, tetapi juga yang telah membuatku terperangkap dalam kekecewaan.

Sekitar kami, orang-orang menyambut pertemuan ini dengan sorak sorai. Ada Tharn dan Type, pasangan yang mempertemukanku dengan Tyme, kepala distrik, Tuan Kamol, dan pria yang membawa Tyme ke sini, Third. Mereka semua berharap menyaksikan pelukan penuh rindu antara aku dan Tyme, mungkin bahkan ciuman, karena hal seperti itu sangat biasa di sini. Walawa adalah tempat yang penuh dengan cinta dan penerimaan, tidak seperti dunia luar yang penuh kebencian.

Tetapi yang terjadi tidak sesuai harapan mereka.

Tanpa pikir panjang, aku melayangkan pukulan keras ke wajah Tyme.

Orang-orang di sekeliling kami terkejut, terdiam dalam keterkejutan. Mereka tak menyangka bahwa pertemuan yang mereka bayangkan akan penuh kebahagiaan berubah menjadi kekerasan. Suara pukulanku menggema di udara, menghantam Tyme dengan kekecewaan yang selama ini kubawa.

“Kau meninggalkan aku!” teriakku, suaraku bergetar menahan kemarahan dan kepedihan. “Kau membawa kabur anak kita tanpa mengatakan apa-apa! Kau tahu betapa aku mencintaimu, betapa aku membutuhkanmu, tapi kau pergi tanpa meninggalkan pesan sedikit pun! Apa kau tahu bagaimana rasanya terbangun setiap hari tanpa tahu di mana anakku? Tanpa tahu apa dia hidup atau mati?”

Tyme tidak melawan. Dia hanya berdiri di sana, menerima semua pukulan emosional yang kulontarkan kepadanya. Wajahnya memar, tapi dia tidak mengelak atau membalas. Dia tahu dia bersalah, dan dia menerimanya dengan keikhlasan yang menusuk hatiku lebih dalam. Aku bisa melihat penyesalan di matanya, tapi itu tidak meredakan kemarahanku.

"Kenapa?" Suaraku pecah. "Kenapa kau tidak memberitahuku apa pun? Kenapa kau pergi? Kenapa kau mengambil anak kita dan pergi tanpa memberiku kesempatan untuk menjelaskan, atau untuk memperbaiki semuanya?"

Tyme tetap diam. Wajahnya penuh rasa bersalah, dan itu membuatku semakin frustrasi.

“Aku tahu,” bisiknya akhirnya, suara yang begitu lembut sehingga hampir tenggelam dalam hiruk pikuk sekitar. “Aku tahu aku seharusnya tidak pergi seperti itu. Tapi aku… aku takut, Great. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak bisa tinggal bersamamu. Aku tidak bisa bersama anak seorang mafia. Dunia yang kau hidupi adalah dunia yang menghancurkan hidupku, yang membunuh keluargaku. Aku mencintaimu, tapi dendam itu... dendam itu tidak bisa kuhapus begitu saja.”

“Aku tidak peduli!” Aku memotongnya, air mata yang kutahan akhirnya mengalir. “Aku tidak peduli tentang dendammu atau keluargamu! Aku hanya peduli tentang bayi kecilku! Apa kau tahu bagaimana rasanya tidak tahu apakah anakku masih hidup atau tidak? Katakan padaku, Tyme. Katakan padaku, apa dia hidup?”

Tyme menatapku, air mata berlinang di matanya juga. “Dia hidup, Great,” katanya pelan. “Payu hidup. Dia sehat, dia bahagia. Aku merawatnya dengan sebaik mungkin, aku janji. Aku mencintainya, sama seperti aku mencintaimu.”

Rasanya seperti beban ratusan kilogram terangkat dari dadaku. Anakku hidup. Payu hidup. Tapi meskipun begitu, rasa sakit dan kekecewaan ini masih ada. Aku masih merasa hancur karena Tyme pergi tanpa kata, meninggalkanku dalam ketidakpastian yang membunuhku setiap hari. Tapi di saat yang sama, aku tidak bisa berhenti mencintainya. Aku tidak bisa memadamkan cinta yang kurasakan untuknya, meskipun dia telah melukai hatiku begitu dalam.

“Kau tidak akan pernah mengerti,” bisikku, suara yang sarat dengan keputusasaan.

To be continued

GotchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang