Great POV
Hari-hariku berlalu dengan ritme yang aneh, antara mencari orang yang hilang dan menghindari masalah keluarga. Sejak ayahku ditangkap, ibuku tidak pernah berhenti mengeluh, menuntutku mencari cara untuk membebaskan ayah dari penjara. Suaranya nyaring, memekik di telingaku setiap hari, tapi aku tidak menghiraukannya. Aku tahu, ini mungkin kesempatan satu-satunya bagiku untuk benar-benar bebas. Lagi pula, ayah pantas mendapatkan akibat dari perbuatannya.
Aku menghabiskan waktu siang dan malam mencari informasi di berbagai sudut kota. Orang-orang yang kukenal, bahkan yang pernah kutakuti, kini menjadi sumber informasi yang kuandalkan. Tapi pencarianku seperti mengejar bayangan; semakin aku mendekat, semakin kabur sosok yang kucari.
Suatu hari, ponselku berdering, memecah keheningan di kamar apartemenku yang sepi. Itu Tharn.
"Great, aku punya sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Bisakah kamu datang malam ini?" Suara Tharn terdengar serius, tapi ada nada ramah yang selalu kutemukan dalam ucapannya.
Aku menyetujui ajakannya, meskipun hatiku penuh tanda tanya. Apa yang akan dia katakan kali ini?
Ketika tiba di rumah Tharn, aku disambut hangat oleh Type dan si kecil, Teh. Bayi itu berlari ke arahku dengan kaki kecilnya yang gemetar, tawa manis mengisi ruangan. Aku tak bisa menahan senyum, meskipun dalam banyak hal, aku selalu merasa terasing dari kebahagiaan yang mereka miliki. Ada sesuatu tentang kehangatan rumah ini yang selalu menarikku kembali.
Aku menggendong Teh, mendekapnya dalam pelukanku. Anak itu berceloteh dengan bahasa yang hanya ia sendiri yang paham, mengeluarkan suara-suara kecil dan menggemaskan. Meskipun aku tidak mengerti sepatah kata pun, aku tetap tersenyum, mendengarkan seolah kata-katanya adalah musik yang menenangkan. Mungkin, dalam tawa polosnya, aku menemukan kedamaian yang telah lama hilang dari hidupku.
Sebelum makan malam, aku menawarkan bantuan untuk menyiapkan meja. Type, yang terlihat tenang dan terampil, menyambut tawaranku. Kami mengobrol ringan saat kami mengatur piring-piring dan peralatan makan. Sesekali, aku melirik ke arah Teh yang bermain di lantai dengan mainan kecilnya, tawa riangnya memenuhi ruang itu.
“Kapan kalian mengadopsi Teh?” tanyaku akhirnya, setelah rasa penasaran menggelitik pikiranku cukup lama. Type dan Tharn memang tidak pernah secara eksplisit mengatakan bahwa Teh adalah anak adopsi, tetapi logika memberitahuku bahwa itu adalah satu-satunya kemungkinan. Bagaimana mungkin dua pria bisa memiliki anak tanpa itu?
Type tersenyum, sebuah senyuman lembut yang mengandung banyak makna, namun ambigu. “Teh adalah anak kami, apapun caranya. Dia lahir dari cinta kami, itu yang paling penting,” jawabnya, suaranya penuh kebanggaan.
Aku mengangguk pelan, meskipun jawabannya tidak benar-benar memuaskan rasa penasaranku. Pikiran gila sempat terpikirkan olehku, mungkinkah? mungkinkah Type juga.....??? atau Tharn?
Tetapi ada sesuatu dalam cara Type berbicara tentang Teh, cara dia mengurus anak itu dengan penuh kasih sayang, yang membuatku berhenti bertanya lebih lanjut. Mungkin bagiku tidak penting bagaimana Teh hadir dalam hidup mereka. Yang jelas, anak itu sangat dicintai, dan itu cukup.
“Bagaimana kehidupan kalian setelah Teh datang?” tanyaku lagi, mencoba menggali lebih dalam tentang keluarga kecil mereka.
Type tertawa kecil. “Seperti roller coaster, tapi kami menikmatinya. Mungkin hidup tidak selalu mudah, tapi dengan Teh, semuanya terasa lebih berarti. Kamu mengerti kan, bagaimana rasanya ketika seseorang kecil begitu bergantung padamu?”
Aku tersenyum pahit. Aku tidak tahu, tetapi aku ingin tahu.
Tak lama kemudian, Tharn tiba di rumah. Kami duduk bersama di meja makan, menyantap hidangan yang disiapkan Type. Teh duduk di kursi bayi di samping kami, menyuap potongan-potongan kecil makanan dengan tangan mungilnya. Sesekali dia tertawa, atau menjatuhkan sendoknya ke lantai, dan setiap kali itu terjadi, baik Tharn maupun Type akan tertawa dan memungut sendok itu kembali dengan sabar.
Setelah makan malam selesai, Tharn akhirnya mengungkapkan alasan mengapa ia memanggilku.
“Great,” katanya, menatapku dengan serius. “Aku dan Type akan pergi ke kampung halaman kami besok. Aku berpikir... mungkin orang yang kamu cari ada di sana. Aku tidak tahu pasti, tapi ada sesuatu yang membuatku merasa kamu harus ikut.”
Aku mengernyit, terkejut sekaligus penasaran. Kampung halaman Tharn? Apa hubungannya dengan orang yang kucari?
“Kenapa kamu berpikir begitu?” tanyaku, tak bisa menyembunyikan keraguanku.
Tharn hanya tersenyum tipis. “Percayalah padaku. Kamu akan mengerti setelah kita sampai di sana.”
Aku tidak punya pilihan selain setuju. Lagipula, apa lagi yang bisa kulakukan? Mencari tanpa arah selama ini hanya membawaku ke jalan buntu. Jadi, aku menyetujui untuk ikut bersama mereka keesokan harinya.
Great POV done
***
Di tempat lain, jauh dari hiruk-pikuk kota besar, seorang pria sedang bergulat dengan popok bayi dan botol susu di pagi yang masih gelap. Pagi itu tidak terlalu istimewa, sama seperti pagi-pagi lainnya. Ia harus segera bersiap untuk bekerja, sementara anak kecilnya, Payu, yang baru berusia lima bulan, harus ia titipkan di daycare.
“Okay, Payu, anak ayah yang tampan. Kita harus segera berangkat, atau ayah akan terlambat,” gumamnya, dengan nada lembut yang hanya dia gunakan saat berbicara dengan anaknya.
Ia menatap bayi itu dengan penuh kasih sayang, seolah bayi itu adalah segala alasan untuknya terus bertahan dalam hidup. Setiap kali ia melihat wajah Payu, bayangan pasangan hidupnya selalu terlintas dalam pikirannya.
“Kau rindu dia?” tanyanya lembut, meskipun ia tahu bayi itu terlalu kecil untuk menjawab. “Maafkan ayah karena kita hanya berdua tanpa ibu.”
Kehidupan barunya di wilayah ini terasa seperti mimpi indah yang akhirnya menjadi nyata. Orang-orang di sekitar mereka sangat baik, kehidupan di sini begitu damai. Pria itu merasa akhirnya bisa melarikan diri dari mimpi buruk yang menghantuinya di luar sana, di tempat yang jauh dari masa lalunya. Semua yang pernah menghancurkannya kini terasa begitu jauh, seolah tertutup kabut tebal yang tak lagi mampu mencapainya.
Namun, meskipun ia berusaha keras untuk menikmati kebahagiaan sederhana bersama Payu, ada sesuatu di dalam dirinya yang masih penuh kekhawatiran. Ketakutan akan masa lalu yang suatu saat mungkin akan kembali menghantuinya.
Ia memeluk bayi kecilnya dengan lembut, menatap wajah polos yang begitu mirip dengan pasangannya. Setiap garis wajah, setiap senyum kecil yang terbentuk di bibir mungil itu mengingatkannya pada cinta yang hilang. Pada seseorang yang ia cintai lebih dari apapun di dunia ini.
“Ayah berjanji,” katanya lagi, dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. “Ayah akan melakukan segalanya agar kita bisa tetap bersama, Payu. Apapun yang terjadi.”
Dan dengan janji itu, ia keluar dari rumahnya, memulai harinya dengan Payu di gendongan, siap menghadapi dunia di luar sana, apa pun yang menanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotcha
FanfictionGreat, putra seorang mafia, terpaksa menjalankan bisnis ilegal keluarganya demi bantuan ayahnya untuk mencari seseorang yang hilang dan sangat berharga baginya. Meskipun hatinya baik, ia terjebak dalam dunia kelam ayahnya. Ketika seorang polisi meny...