Tujuh belas tahun berlalu, kehidupan Great dan Tyme telah jauh berubah. Payu kini berusia 18 tahun, dan adiknya, Phee, yang berusia 16 tahun, sudah mulai menemukan jati dirinya di dunia yang kini terasa damai bagi keluarga kecil mereka. Rumah mereka di Walawa adalah tempat di mana kebahagiaan dan kedamaian bersemayam, meskipun tak jarang diwarnai dengan kehangatan konflik sehari-hari.
Malam itu, Payu pulang terlambat lagi, dan seperti biasa, Great sudah siap dengan serangkaian keluhan. Ia memang menjadi "ratu" dalam rumah ini, mengatur segalanya dengan tangan dingin tapi penuh kasih, terutama ketika menyangkut kedua anaknya.
"Payu! Kamu tahu ini jam berapa?" suara Great memenuhi ruang tamu saat Payu masuk ke rumah dengan langkah pelan, berusaha menghindari tatapan ibunya.
"Belajar di perpustakaan, Ma," jawab Payu santai sambil menggeliat, seolah mengabaikan tanda kemarahan yang jelas terlihat di wajah Great.
"Belajar di perpustakaan? Jangan bohong!" Great mendengus, tangannya bersilang di dada. "Aku tahu kamu pasti main modif motor dengan teman-temanmu lagi!"
Payu tersenyum miring, sedikit merasa bersalah tapi tak ingin mengakui sepenuhnya. "Yah... ya memang main sebentar. Tapi kan aku udah dewasa, Ma. Bukan anak kecil lagi."
Tyme, yang duduk di ruang tamu setelah pulang kerja, merasa situasinya canggung. Seperti biasa, ia tak berani membela Payu di depan Great, meskipun di dalam hati, ia sedikit berpihak pada anak sulung mereka. Bagaimanapun juga, Payu sudah 18 tahun, dan Tyme mengingat betul bagaimana rasanya menjadi remaja di usia itu. Tapi Tyme tahu satu hal: ketika Great marah, lebih baik menyingkir sementara.
"Pasti kalau sama teman-teman, lupa waktu, ya? Berapa kali aku bilang, Payu? Kamu masih tinggal di rumah ini, dan selagi itu, kamu ikut aturan rumah!" lanjut Great, kali ini nada suaranya lebih lembut, namun tegas. Payu menunduk, tahu bahwa ibunya selalu benar.
Phee, yang baru saja keluar dari kamar, melihat suasana tegang antara kakaknya dan Great. Dengan senyuman jahil di wajahnya, Phee mendekati Great dan memeluk pinggangnya dari samping.
"Mama... jangan marah-marah terus. Payu kan udah besar," ucap Phee dengan nada lembut, mencoba menenangkan suasana.
Great menatap Phee dengan tatapan yang seolah ingin marah, tapi tak bisa, terutama karena Phee selalu tahu bagaimana cara meluluhkan hatinya. Meski ia tak pernah suka dipanggil "Mama" di awal, Great tak pernah bisa menolak ketika Phee memanggilnya demikian dengan penuh kasih sayang. Bagaimanapun juga, walau berbeda hobi, Payu dan Phee adalah anak-anak yang ia cintai dengan segenap hatinya.
"Anak ini, selalu saja membelamu, Payu," kata Great sambil melirik ke arah Payu, yang kini berdiri santai di pintu. "Tapi jangan kira kamu bisa lolos dari hukuman hanya karena Phee bicara manis."
Phee terkekeh pelan, lalu menatap Payu dengan senyum lebar. "Beres, Kak. Aku udah bantu kamu, sekarang kamu harus bantu aku ngerjain PR nanti, ya."
Payu tertawa, meski sedikit malu. "Deal."
Tyme, yang mendengarkan percakapan itu dari sudut ruangan, tersenyum kecil. "Kalian berdua memang selalu kompak," gumamnya pelan, meski tak ada yang mendengarnya.
Great akhirnya menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Payu sudah dewasa, dan ia tak bisa terus memperlakukannya seperti anak kecil. Meski begitu, rasa sayangnya sebagai orang tua membuatnya kadang merasa sulit melepaskan. Tyme mendekat perlahan, kemudian menyentuh bahu Great dengan lembut.
"Sayang, mungkin kita bisa sedikit longgar sama Payu. Dia sudah 18 tahun, kan?" kata Tyme, suaranya hati-hati.
Great melirik Tyme dengan tatapan penuh makna, tapi ia tak menjawab langsung. Meski terkadang kesal, ia tahu Tyme benar. Bagaimanapun, mereka adalah orang tua yang harus belajar memberi ruang kepada anak-anak mereka.
---
Flashback - Malam Itu
Kembali ke masa lalu, sekitar 17 tahun yang lalu, ketika kehidupan mereka belum seharmonis sekarang. Malam itu, setelah percakapan dan momen intim yang mereka bagi di sofa rumah Tharn dan Type, hidup Great dan Tyme berubah drastis. Tak lama setelah malam panas itu, Great mendapati dirinya hamil lagi.
Rasa kaget yang melanda Great waktu itu tak bisa disembunyikan. Ia takut, teringat bagaimana masa-masa hamil Payu penuh dengan ketidakpastian dan rasa takut ditinggalkan. Tapi ada satu hal yang tak bisa ia tolak: kebahagiaan yang muncul ketika mengetahui bahwa dirinya akan memiliki anak lagi. Meskipun ia tak ingin mengakuinya, bisa memberikan anak untuk Tyme — anak kedua — membawa kebahagiaan tersendiri baginya. Ini adalah bentuk dari cinta yang tak pernah ia sadari selama ini.
Saat ia memberitahukan kabar kehamilannya kepada Tyme, wajah Tyme berubah — antara terkejut dan gembira. "Great, kamu hamil lagi?" tanyanya dengan suara penuh harap.
Great mengangguk perlahan, meski ada sedikit kekhawatiran di matanya. "Iya... aku... aku tidak tahu harus merasa bagaimana. Payu masih kecil, dan aku... aku takut, aku tidak percaya pdamu."
Tyme memeluk Great dengan lembut, mencium puncak kepalanya. "Kamu tidak perlu takut. Sekarang semuanya berbeda. Kita jauh lebih baik sekarang, aku sudah di sini, dan aku berjanji... aku nggak akan pernah lari lagi. Aku nggak akan pernah meninggalkan kamu, Great."
Kata-kata itu, meski sederhana, membawa ketenangan bagi Great. Ia percaya pada janji Tyme kali ini. Dan dengan begitu, mereka memulai lembaran baru, kali ini dengan rasa saling percaya dan harapan yang lebih kuat.
---
Kembali ke Masa Kini
Di ruang tamu rumah mereka, suasana perlahan mencair. Setelah kemarahan awal Great terhadap Payu, mereka akhirnya duduk bersama di meja makan untuk sarapan. Phee yang energik dan ceria selalu membawa keceriaan ke tengah keluarga, sementara Payu, meski sedikit gengsi, tak bisa menyembunyikan rasa sayangnya terhadap keluarganya.
Great menatap Tyme dengan senyum tipis, sementara Tyme membalas dengan senyuman hangat, matanya penuh rasa syukur. Mereka telah melalui begitu banyak bersama, dan kini mereka hidup dalam kebahagiaan yang damai bersama dua anak mereka.
"Kalian dua harus tetap jaga diri, ya," ujar Great, menatap Payu dan Phee dengan penuh kasih. "Aku tahu kalian sudah besar, tapi ingat... aku masih mama kalian."
Tyme tertawa kecil, memandangi keluarganya dengan mata penuh cinta. "Dan jangan lupa... aku juga masih papa kalian," tambahnya sambil mengedipkan mata ke arah Payu, yang pura-pura cuek, tapi diam-diam merasa hangat mendengar kata-kata itu.
"Yah, Papa, Mama... aku sayang kalian berdua," kata Payu akhirnya, meski sedikit terdengar canggung. Phee mengedipkan mata pada kakaknya, menggoda dengan senyum jahil. "Akhirnya ngaku juga, Kak!"
Suasana di meja makan itu penuh dengan tawa dan kehangatan, tak ada yang lebih mereka butuhkan selain kebersamaan. Dan di tengah kehangatan itu, Great sadar bahwa inilah kebahagiaan yang selalu ia inginkan. Meski perjalanan mereka penuh liku, ia akhirnya memberi Tyme kesempatan kedua — dan itu adalah keputusan terbaik yang pernah ia buat.
Dalam hati, Great mengucap syukur. Mereka telah melalui begitu banyak, dan kini, ia memiliki keluarga yang tak tergantikan. Di samping Tyme dan dua anak yang ia cintai, Great menemukan bahwa cinta dan kepercayaan bisa kembali hadir, bahkan setelah luka terdalam yang pernah dirasakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotcha
FanfictionGreat, putra seorang mafia, terpaksa menjalankan bisnis ilegal keluarganya demi bantuan ayahnya untuk mencari seseorang yang hilang dan sangat berharga baginya. Meskipun hatinya baik, ia terjebak dalam dunia kelam ayahnya. Ketika seorang polisi meny...