Awal yang aku takutkan

286 32 3
                                    

Great POV

Pagi itu, suasana rumah terasa berbeda. Jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi, tapi Tharn masih di rumah, bermain dengan Teh di ruang tamu. Aku yang baru selesai menidurkan Payu merasa ada yang janggal. Biasanya, jam segini Tharn sudah berangkat ke kantor kepolisian Walawa untuk bekerja, tapi hari ini dia tampak santai, seolah tidak ada urusan penting.

Aku menghampirinya, rasa penasaran tak bisa kubendung lagi. “Kau nggak masuk kerja hari ini, Tharn?” tanyaku, sambil menatap Teh yang tertawa kecil di pangkuannya.

Tharn hanya tersenyum lebar, senyuman yang terlalu cerah untuk tidak mencurigakan. “Gapapa, kok, aku cuma ambil cuti hari ini.”

Jawabannya terdengar ringan, tapi aku tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar cuti. Namun, sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, Type menghampiri mereka. Dia duduk di samping Tharn dan mulai mengobrol seperti biasanya, membuat suasana semakin akrab dan hangat.

Aku memutuskan untuk mengikuti Type ke dapur, masih dengan rasa penasaran yang menumpuk. “Type, sebenarnya kenapa Tharn di rumah? Aku tidak pernah lihat dia santai seperti ini”

Type, yang sedang menuang air ke gelas, hanya tersenyum kecil sambil balik bertanya, “Payu dimana? masih tidur, ya?”

Aku mengerutkan dahi, bingung dengan pertanyaan itu. “Iya, masih. Tapi, kenapa tanya soal Payu?”

Type tertawa pelan, jelas-jelas berusaha mengalihkan pembicaraan. “Ah, hanya penasaran. Dia tidur nyenyak?”

Aku mendekat, merasa tidak puas dengan jawabannya. “Kau mengalihkan topik. Ada apa sebenarnya? Kenapa Tharn tidak bekerja? Dia tidak dipecat kan?”

Type akhirnya menatapku, matanya bersinar penuh kebahagiaan. Dengan senyum yang lebih lebar, dia mengungkapkan sesuatu yang membuatku terdiam sejenak. “Aku hamil lagi, Great.”

Kaget bukan main, aku hampir tersedak udara sendiri. “Hamil lagi? Tapi… Teh kan masih kecil!” Aku tahu pertanyaan itu konyol, tapi dalam otakku, aku tak bisa menghubungkan semuanya begitu cepat.

Type tersenyum lebih lebar, jelas menikmati keterkejutanku. “Ya, kami cukup... aktif, kalau kau mau tahu. Sepertinya hampir tiap malam, belakangan ini tapi niat pakai pengaman atau jaga jaga”

Aku langsung merasa mukaku memanas. “Kamu nggak perlu jelasin sedetail itu!” seruku, setengah malu dan setengah bingung harus merespons bagaimana.

Tapi, Type malah tertawa kecil, seolah aku adalah satu-satunya orang yang berpikir terlalu jauh. “Tharn dan aku menikmati waktu bersama, dan... ya, begitulah. Kau pasti paham.”

Aku mengangguk cepat, meski dalam hati masih terguncang. Ada bagian diriku yang tak bisa menahan pikiran yang melayang ke Payu. Apa mungkin aku juga bisa memberinya adik? Tapi buru-buru kuenyahkan pikiran itu. Aku belum siap untuk memikirkan hal itu, apalagi setelah apa yang terjadi di masa lalu antara aku dan Tyme.

Siang itu, Tharn dan Type akhirnya pergi ke dokter obgyn untuk pemeriksaan dan katanya akan mampir ke rumah kolega. Mereka membawa Teh bersama mereka, meninggalkanku dan Payu sendirian di rumah. Aku menikmati kesunyian sebentar, hingga tiba-tiba pintu depan diketuk.

Aku membuka pintu, dan Tyme berdiri di sana dengan sekantong penuh roti-roti yang harum semerbak. “Hei,” sapanya dengan senyum yang hangat, meskipun aku bisa melihat sedikit kegugupan di matanya.

Aku menyilangkan tangan di dada, mencoba terlihat santai. “Bawa apa lagi?”

Tyme mengangkat kantong itu. “Roti dari toko favoritku. Aku pikir kau mungkin suka.”

Aku mendengus pelan, meskipun dalam hati sedikit senang. “Baguslah itu buka. bunga. Kamu selalu datang dengan buah tangan. Kamu pikir itu akan mengubah segalanya?”

Tyme tersenyum, duduk di sofa sambil meletakkan roti-roti di atas meja. “Tidak. Tapi aku berharap bisa sedikit mencairkan suasana.”

Kami mulai makan sambil mengobrol, lebih banyak Tyme yang bercerita tentang pekerjaannya di rumah sakit. Dia juga sempat menceritakan bahwa dia sedang menabung untuk membeli kendaraan, karena barang-barang tersier di Walawa memang cukup mahal. Aku mendengarkan dengan sesekali menanggapi, meski tidak terlalu banyak bicara.

“Kau tahu,” kata Tyme tiba-tiba, menghentikan ceritanya. “Aku sering memikirkan sesuatu akhir-akhir ini.”

Aku mengangkat alis. “Apa?”

Tyme ragu sejenak, tapi kemudian bertanya dengan nada yang cukup frontal, “Pernah terpikir untuk punya bayi lagi? Maksudku... dengan pengalaman yang lebih baik di sini, di Walawa.”

Aku menatapnya dengan kaget dan sedikit kesal. “Kau serius? Aku bahkan belum sepenuhnya memaafkanmu, Tyme. Dan kamu sudah berpikir sejauh itu?”

Tyme terlihat agak canggung, tapi dia tetap tersenyum. “Bukan maksudku untuk terburu-buru. Aku hanya... yah, aku ingin kita bisa memulai dari awal, Great. Dengan cara yang benar kali ini.”

Aku mendengus lagi, mencoba menutupi rasa maluku. “Kau benar-benar tahu caranya merusak suasana. Berpikir mesum lagi?”

Tyme tertawa kecil, tidak tersinggung dengan jawabanku. “Bukan begitu. Aku hanya ingin kita bisa menjadi... lebih baik. Untuk Payu, dan untuk kita sendiri.”

Suasana di antara kami tidak terasa tegang, justru semakin cair. Kami akhirnya bermain bersama Payu yang sudah bangun dari tidurnya. Anak itu tertawa ceria saat Tyme mengangkatnya tinggi-tinggi, membuatku ikut tersenyum. Rasanya hangat melihat mereka berdua, dan meskipun aku masih menyimpan banyak kekhawatiran, momen-momen seperti ini membuatku merasa segalanya mungkin bisa diperbaiki.

Waktu berlalu cepat, dan malam tiba. Payu sudah kembali tidur, meninggalkan aku dan Tyme di ruang tamu. Kami mengobrol lagi, kali ini lebih serius. Tyme, seperti biasa, kembali meminta maaf atas apa yang terjadi di masa lalu.

“Aku benar-benar minta maaf, Great. Aku tahu aku membuatmu terluka. Tapi aku ingin kita bisa memperbaikinya... bersama.”

Aku menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Tyme... aku masih ragu. Masih takut. Kau meninggalkanku sekali, bagaimana aku bisa yakin kau tidak akan melakukannya lagi?”

Tyme mendekat, tatapannya penuh ketulusan. “Aku janji tidak akan melakukan itu lagi. Aku akan berjuang untuk kita, untuk Payu. Aku ingin kita membangun sesuatu yang lebih baik di sini.”

Aku diam sejenak, memikirkan kata-katanya. Hati kecilku ingin percaya, tapi bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Namun, sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, Tyme mendekat dan mengecup bibirku.

Kecupan itu lembut, namun intens. Membuat jantungku berdebar kencang. Rumah yang sepi memberikan kami kebebasan yang tak terduga, dan sebelum aku sadar, kami sudah saling terhanyut dalam kehangatan yang lama hilang.

Tyme membimbingku ke kamarku, dimana Payu tidur lelap disana, melirik sofa yang kelihatan cukup nyaman.... Di sana, kami bercinta dengan penuh keintiman, lebih lambat, lebih lembut dibandingkan sebelumnya. Kali ini tidak ada dorongan panas yang tak terkendali seperti di masa lalu. Semuanya terasa lebih terencana, lebih berarti.

Setelahnya, kami terbaring dalam diam. Aku masih belum sepenuhnya yakin dengan semua ini, tapi untuk sesaat, aku merasa tenang di sisinya. Mungkin... ini adalah awal baru yang selama ini kutakutkan.

To be continued

Sebenarnya ini cerita yang gak akan terlalu panjang (hanya bagian dari buku Utama Walawa) dan kemungkinan bakal tamat di chapter depan. Say yayaya buat lanjut kalo mau dipanjangin lagi. kalo banyak, aku bakal ambil part part dari book Walawa aslinya di pindah buku ini

GotchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang