Kesempatan

244 31 4
                                    

Great POV

Sudah satu minggu berlalu sejak aku menjejakkan kaki di Walawa, sebuah dunia yang awalnya terasa asing, namun kini mulai terasa seperti rumah. Tak kusangka, waktu berlalu begitu cepat ketika kau tenggelam dalam kebahagiaan. Payu, anakku, adalah pusat dari semua itu. Setiap harinya, aku habiskan waktu bersamanya, belajar merawat bayi dengan cara yang benar. Type, yang selama ini dengan sabar mengajariku, mulai terasa seperti kakak yang selalu ada ketika aku kebingungan, sementara Tharn—entah bagaimana—seperti penghubung yang selalu menyeimbangkan kami semua.

Awalnya, aku merasa tak enak hati, menginap di rumah mereka begitu lama. Satu minggu terasa seperti beban bagi mereka, apalagi aku datang tanpa rencana. Namun, setiap kali aku mengutarakan niat untuk pergi, Tharn selalu tersenyum dan mengatakan bahwa tidak masalah.

"Tetaplah di sini, Great. Payu juga senang, kan? Teh juga senang kau ada disini....Lagipula, di Walawa, semua warga mendukung satu sama lain. Tak perlu buru-buru," katanya, suatu pagi ketika kami sedang menikmati sarapan. Type mengangguk setuju, bahkan menawarkan lebih banyak bantuan untuk mengurus Payu.

Aku merasa diterima di sini, bahkan dengan segala keanehan dunia yang baru saja kukenal—tentang gender sekunder, alpha, omega, dan segala jenis strata yang masih terasa asing bagiku. Tapi, yang paling membuatku terpesona adalah bagaimana kehidupan di sini begitu sederhana dan penuh dengan kebaikan. Warga baru seperti aku akan dipinjamkan rumah oleh kementerian tanpa biaya apapun. Sebuah sistem yang benar-benar mendukung satu sama lain, jauh dari dunia luar yang penuh persaingan dan egoisme.

“Great, kau bisa tinggal di sini selama yang kau mau,” kata Tharn dengan senyum ramahnya, sementara Type sibuk menggendong Teh, anak mereka yang selalu tersenyum manis. "Nanti kau bisa bawa barang-barang dari luar, tak perlu khawatir soal uang. Di sini, kita saling membantu."

Seketika itu juga, aku merasa lega. Walawa bisa menjadi tempat yang sempurna untuk memulai hidup baru bersama Payu.

Namun, satu sosok yang terus mendekatiku selama di sini adalah Tyme. Setelah segala hal yang terjadi, Tyme tak pernah menyerah untuk mengajakku berbicara. Ia sering datang setelah pulang kerja, membawa berbagai makanan atau sekadar mampir untuk melihat Payu. Meskipun aku masih marah padanya, di dalam hati aku tak bisa menahan perasaan senang melihat usahanya. Ada cinta yang masih mengikatku padanya, bahkan ketika aku berusaha menolaknya.

Hari ini, Tyme datang membawa roti pastry yang ia beli dari toko lokal. Aroma manis itu langsung memenuhi rumah, membuatku tanpa sadar tersenyum.

“Kau suka ini, kan?” tanya Tyme dengan senyum kecil di wajahnya, menyerahkan kotak roti itu padaku.

Aku mendengus, berusaha terlihat tidak peduli. “Mungkin,” jawabku singkat, tapi tanganku segera membuka kotak tersebut dan mulai memakannya. Roti itu begitu lezat, dan perutku yang kosong tak bisa menolak.

Tyme tertawa kecil melihatku. “Kau bisa berpura-pura tidak suka, tapi aku tahu kau menikmatinya.”

Aku meliriknya dengan tatapan tajam, mencoba menahan senyum yang hampir merekah di wajahku. “Jangan terlalu percaya diri.”

Namun, Tyme sepertinya tidak terganggu dengan sikap dinginku. Ia terus berusaha mendekatiku, meskipun aku membalas singkat atau menghindar. Ada kehangatan dalam caranya yang membuatku tak bisa benar-benar marah. Apalagi saat ia mulai mencoba merayuku dengan kalimat yang membuatku ingin melempar sesuatu padanya.

“Kau cantik, Great,” ucapnya tiba-tiba suatu malam ketika kami duduk di ruang tamu. Kata-kata itu membuatku tersentak.

Aku memutar bola mata, merasa risih. “Serius, Tyme? Aku laki-laki. Aku tidak butuh pujian seperti itu.”

GotchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang