Dear, pembaca yang budiman dan penuh cinta..
Mau memberitahu kalau alur di part-part awal mungkin akan maju-mundur, menyesuaikan dengan situasi juga kondisi agar ceritanya bisa lebih nge-feel.
Sebisa mungkin aku akan membuat perbedaan antara latar beberapa tahun lalu dengan latar tahun yang sedang berlangsung~
So, selamat menyelam ke dalam kisah ini ya! ^^
🌹🥀🌹
Pengajuan permintaan rehabilitasi oleh keluarga Pradipta, disetujui. Mengetahui kabar persetujuan rehabilitasi itu, Divya akhirnya datang dengan niat ingin bertemu, rasanya tidak cocok jika disebut menjenguk. Sangat menyakitkan kalau terus diingat kenyataan bahwa laki-laki yang sudah menjadi kekasihnya selama tiga tahun itu sungguhan positif mengonsumsi. Kedatangan Divya bukan untuk berempati sebab hilang sudah rasa kasihan yang tadinya berharap ini hanya dugaan, hanya mimpi, hanya gosip, hanya fitnah yang mau menjatuhkan nama Pradipta. Ini semua nyata. Sayangnya, kedua kaki Divya tidak sanggup terayun sempurna menuju gedung BNN di depan matanya.
Bagaimana ia bisa menatap mata hitam Pradipta yang amat dikaguminya itu? Tidakkah matanya akan terlihat redup dan sayu karena barang haram itu? Tidakkah tubuhnya kehilangan kebugaran karena barang haram itu? Divya tidak sanggup melihat perubahan asing kekasihnya—sebab hari-hari sebelum ia pergi jauh, Pradipta masih terlihat sangat manis, sehat, dan penuh cinta.
“Kalau nggak sanggup hari ini, nggak apa-apa. Gue bisa temenin besok atau kapan pun lo siap ketemu Mas Dipta, Div.”
Mata Divya membendung air mata sejak kakinya turun dari kendaraan Gege—sahabatnya yang rela kabur dari acara family gathering demi menemani Divya yang lagi hancur-hancurnya.
Divya hanya bergeming mendengarkan berbagai nasihat dan kalimat-kalimat penenang dari Gege. Benar langkahnya berat menuju ke sana, tetapi juga sulit mau mundur pergi. Namun, tatapan sendu ke arah gedung terpaksa usai begitu menyadari ada panggilan masuk di ponselnya. Tak butuh waktu lama untuk Divya menerima panggilan itu.
“Divya Nurismi Aswaraputri, mana naskah lo?! Please, ini udah H+15 dari deadline, gue udah ditagih terus sama pimred. Kalau—”
Gege di belakang Divya merebut ponsel yang tidak benar-benar menempel di telinga Divya karena mengaktifkan speaker. “Gila ya lo, Ji? Divya lagi ada masalah gini masih aja lo tagih-tagih?”
“Gege, tolongin gue. Bukannya gue nggak mau peduli sama masalah Divya, tapi ini juga menyangkut masa depan karir gue.” Gege bisa mendengar suara Jia yang sepertinya akan menangis. “Gue udah berkali-kali ditegur karena ada masalah sama penulis dan ini kesempatan terakhir gue. Please...”
Namun, pembelaan Gege seperti tiada arti. Divya malah geleng-geleng dan kembali mengambil alih ponselnya hingga memberi jawaban pasti, “Gue ke sana sekarang, Ji.”
“Divya?!” Gege menganga bersamaan dengan kedua mata yang berkedip-bingung bingung. “Serius lo mau pergi sekarang juga? Tapi, Div, lo udah di sini, lo harus ketemu Mas Dipta, kan?”
“Bukannya lo bilang kalau gue nggak sanggup, nggak apa-apa?” Divya menatap jenuh sahabatnya sebelum kembali fokus mengetik sesuatu di ponselnya. “Bener. Gue nggak sanggup,” lanjutnya berkata dengan hati yang amat pedih.
Gege terdiam telak, kian prihatin dengan keadaan Divya. Betul juga, siapa yang sanggup bertemu dengan orang yang dicintai—sementara orang itu di pandangan orang lain adalah orang yang bermasalah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantic Secret
RomanceBisa ditebak, menginjak usia 28 tahun, tentu orang-orang di sekitarnya, atau bahkan orang-orang yang mengenal namanya hanya melalui sosial media dan platform menulis, senang sekali melempar pertanyaan "Kapan menikah, Divya?" Sebenarnya Divya masih b...