5. Mereka Saat Itu

387 63 23
                                    

Gemericik air yang jatuh ke dalam kolam berbentuk segi empat itu menjadi nyanyian tenang yang melengkapi suasana adem salah satu sudut di lokasi rehabilitasi. Sudah ada Annastasya di sana, mengawali kedatangan dengan menyampaikan kabar tentang keadaan sang mama yang mulai membaik—yang mana sempat down karena kasus anak bungsunya.

Pradipta mensyukuri kabar baik itu sebab terlalu banyak yang berakibat buruk atas masalahnya. Ia pun hanya bisa meremat dada di tempatnya sekarang, tidak bisa bertemu langsung dengan mereka yang terluka karenanya.

"Tadi Divya bilang udah di perjalanan mau ke sini, tapi barusan dia bilang lagi kalau ada urusan mendadak, jadi—"

Pradipta yang dari tadi hanya diam termenung sejak Annastasya datang, memotong cepat, "Nggak apa-apa."

Annastasya menghela napas sembari mengusap-usap pundak Pradipta. "Mungkin dia belum siap."

"—dan mungkin nggak akan pernah siap," sahut Pradipta yang kemudian mendesis miris. "Jangan dipaksa, Mbak. Pasti beban banget punya pacar pemakai narkoba."

Annastasya menggeleng-geleng pelan. Dia paham ucapan itu tidak benar-benar serius diucapkan. Pradipta juga sedang kecewa dengan dirinya sendiri. Namun, di balik itu, Annastasya juga paham—meskipun adiknya itu enggan bercerita—bahwa mengonsumsi narkotika tidak pernah menjadi pilihan atas seberat-beratnya masalah.

“Pinjam handphone, Mbak.”

Annastasya langsung menjentik jemari di depan wajah Pradipta. “Nah, gitu! Meskipun Divya kecewa, tapi dia pengin tau kabarmu,” katanya seakan paham apa yang ingin dilakukan adiknya. “Ayo, aku buka chat room Divya, kamu sampaikan apa pun ke dia lewat pesan suara.”

Pradipta mengangguk setuju. Berikutnya Annastasya sudah mengangkat ponsel tepat di depan mulut adiknya, lantas menekan ikon pesan suara dan memberi titah agar Pradipta berbicara.

“Divya...” Pradipta memulai, kemudian menjeda cukup lama, tampak ragu-ragu mau bicara. “Maaf.” Dia berdecak kecil, lalu mendorong ponsel di hadapannya.

Annastasya mendelik heran. “Lah, gitu doang?”

Tatapan Pradipta teralih, ngeri melihat Annastasya membidiknya. “Ngomong panjang juga belum tentu didengar, yang penting minta maaf dulu.”

Kalau tidak ingat tempat, ingin sekali Annastasya mencakar adiknya. Tak habis pikir, apa iya tidak ada yang mau disampaikan? Kelihatannya dua insan yang sedang tidak jelas statusnya itu sama-sama meninggikan ego. Yang satunya tidak mau bertemu, yang satunya tidak mau bicara.

“Ah, udah lah, Mbak. Aku mau balik ke dalam, bentar lagi ketemu psikolog.”

Annastasya mencekal pergelangan tangan Pradipta ketika mulai beranjak. Ia tatap dalam-dalam adiknya. “Yakin kamu, nggak ada yang mau disampaikan ke Divya?”

“Bilangin, jangan sampai sakit,” jawab Pradipta yang kemudian melepaskan diri dari genggaman tangan Annastasya dan melenggang pergi.

Sepanjang melangkah meninggalkan, Pradipta berusaha menahan air mata. Kepalanya selalu berat saat batin terus bertanya-tanya, apakah Divya meninggalkannya begitu saja?

🌹🥀🌹

Divya menenggelamkan wajah pada kedua tangan yang terlipat di brankar rumah sakit, di tempat bundanya berbaring selama hampir satu minggu.

Divya ... maaf ...

Suara berat Pradipta dalam pesan suara itu berpadu dengan ritme detak jantung dari monitor. Pesan suara itu dikirim oleh Annastasya sekitar delapan bulan yang lalu dan menjadi satu-satunya pesan suara—suara mantan kekasihnya—yang didengar hingga berkali-kali.

Romantic SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang