ㅡ 1O. Drifting Apart.

86 42 20
                                    

Hari demi hari berlalu di kos yang kini terasa lebih sepi. Sinar matahari yang masuk melalui jendela tak lagi menyinari suasana hangat yang dulu ramai oleh tawa dan keributan. Sekarang, keheningan menggantikan suara-suara berisik yang pernah menghiasi setiap sudut ruang.

Chandra merebahkan diri di sofa sambil menatap kosong ponselnya yang menampilkan video lucu.

Disana juga ada Rasen yang sedang menatap layar laptopnya yang memancarkan cahaya biru. Ia tenggelam dalam desain proyek yang harus diselesaikannya, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya fokus.

Maven yang baru saja keluar dari kamarnya, mendudukkan diri disebelah Rasen dan menyandarkan punggungnya ke sofa sambil melihat sekeliling.

Tak lama, Jaival datang dari dapur dengan secangkir kopi di tangan. “Ngopi?” tawarnya, tetapi suaranya datar, tanpa harapan. Hanya Maven dan Rasen yang menoleh lalu menggeleng pelan.

Jaival tidak membalas lagi, ia melangkahkan kakinya ke teras rumah. Menikmati angin malam. Sepertinya mereka semua akan begadang bersama.

Chandra menghela nafasnya. Ia merindukan waktu mereka bisa berkumpul dan berbagi cerita, tanpa beban yang mengikat. Sekarang, masing-masing terjebak dalam rutinitas dan kesibukan. Di balik senyuman mereka, terdapat perasaan terasing yang sulit diungkapkan.

“Gue merasa kayak kita makin jauh aja,” cicit Chandra. Namun, Maven mendengarnya karena suasana kosan memang sepi banget.

“Malah kayak udah enggak kenal satu sama lain, njir,” balas Maven lirih. Chandra yang mendengarnya hanya berdehem kecil.

Keadaan kembali sunyi. Hanya terdengar suara ketikan dari Rasen dan siulan Jaival yang lagi nggodain penghuni pohon mangga.

"Tugas anjing, laptop anjing."

Hiran datang sambil misah-misuh nggak jelas. Ia menaruh laptopnya disebelah laptop Rasen. Dibelakang Hiran, ada Nartha dan Jayen.

"Kenapa?" tanya Rasen sambil melirik isi laptop Hiran.

"Gue lagi buat instrument, malah ngelag parah. Anjing-anjing," balas Hiran dengan memencet asal keyboard, namun laptopnya tidak merespon.

"Tapi lo udah save?"

"Nah! Gobloknya gue nyimpennya tadi di kampus, histori revisinya jelas tadi jam tujuh. Makanya nih anjing banget!" umpat Hiran sampai menggeser laptopnya dengan kasar. Untung disebelahnya ada Jayen yang sigap menahan gadget itu agar tidak jatuh.

"Cangkem-nya!" Nartha mengusap muka Hiran lalu memukul pelan bibir Hiran. Si korban hanya mendengus kesal.

Entah kenapa Hiran jadi toxic banget sekarang.

"Mau pake laptop gue?" tawar Jaival, ia baru saja masuk. Lama-lama dia kedinginan diluar.

Hiran menggeleng kecil, "Walau bisa login ke aplikasinya, tapi tetep aja histori revisinya 3 jam lalu. Gue juga udah nggak mood. Percuma, Val."

Jaival menghela nafasnya dan melirik ke laptop Hiran yang lagi di otak-atik sama Maven. Tenang, kalau soal ini, tangan Maven nggak bikin tambah rusak kok. "Deadline-nya kapan?"

"Masih seminggu lagi, sih. Tapi 'kan sama aja. Gue aja buatnya udah seminggu lebih..." jawab Hiran dengan penuh putus asa.

"Gue bantuin deh, bang," celetuk Chandra setelah daritadi hanya mendengarkannya.

Air muka Hiran berubah menjadi senang tapi masih sedikit ragu, "Beneran?!"

"Yang lo ambil genre RnB 'kan? Gampang itu! Nanti lo login ke laptop gue aja."

"Emang lo nggak ada tugas?" Ini Rasen yang bertanya. Chandra menggeleng pelan, "Udah gue selesaiin."

"Oke deh, gue ngikut yang punya laptop aja. Asal ngerjainnya jangan mepet banget," ucap Hiran menerima tawaran Chandra.

"Eh, kalian kagak tidur? Udah malem , lho," celetuk Maven dengan mata melirik ke arah jam dinding. Untuk laptop Hiran, Maven malah ikutan kesal, karena layarnya daritadi hanya menunjukan kata 'loading...'

"Gue mah biasa," jawab Jaival dan Hiran secara bersamaan.

“Gue lagi bikin flyer,” imbuh Rasen dengan jemari yang sok ngetik. Tapi semua tahu itu hanya alasan, wong layar laptop Rasen nunjukin aplikasi khusus untuk menonton film.

“Oh iya, gue mau garap tugas! Izin balik kekamar ya, abang-abangku!” Jayen beranjak dan melangkahkan kakinya cepat menuju kamarnya.

"Menghindar terus..."

Ya, akhirnya semua kembali ke aktifitas masing-masing. Semuanya kembali ke kamar, menghindar dan mengurung diri. Menjadikan suasana di kos semakin sunyi, membuat setiap orang merasa lebih terasing.

Jayendra menatap langit-langit kamarnya. Perasaannya sedang gundah. Rasa kesepian yang menggerogoti membuatnya ingin berbagi, tetapi kata-kata terasa terlalu sulit untuk diucapkan. Apalagi sekarang hubungan mereka bertujuh sedang renggang.

"Abang... Jayen butuh kalian..."

Keesokan harinya, suasana masih sama. Tidak ada perubahan. Nartha dan Chandra berpapasan di dapur, tetapi percakapan mereka terasa canggung. “Nanti berangkat bareng gue, Hiran atau temen lo yang lain?” tanya Nartha, dan Chandra hanya menjawab dengan anggukan pelan, "Sama lo kalau boleh."

Kendati begitu, mereka tahu ada banyak hal yang belum terucapkan. Ketidakpastian ini mulai menumpuk, mengganggu setiap langkah mereka. Meski mereka tinggal dalam satu atap, jarak di antara hati mereka semakin melebar.

"Anjing. Kenapa jadi kayak gini, sih?!"


bimantara.
chapter 1O; to be continued.

[i] bimantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang