ㅡ 13. The Word 'If' is Not Real.

53 27 22
                                    

Sudah seminggu Jayen dirawat di rumah sakit, namun masih belum ada tanda-tanda sadar. Yang lainpun rutin menjaganya secara bergantian. Pagi sampai sore dijaga oleh Hiran, Nartha dan Chandra. Lalu sore sampai pagi lagi dijaga oleh Maven, Rasen dan Jaival.

Lho, orang tuanya Jayen?

Baru satu kali jengukin, itu aja cuma sebentar karena alasan kerja.

Kali ini Hiran yang menjaga Jayen. Tangan kanannya menggenggam kuat tangan Jayen yang dingin, tangan kirinya memainkan ponselnya.

"Hahaha! Jayen! Liat nih, lucu 'kan?" Hiran menunjukan video lucu yang terdapat di berandanya pada Jayen yang masih senantiasa menutup matanya.

Senyum Hiran memudar dan tergantikan oleh wajah penuh bersalah. Setiap melihat luka-luka yang terdapat ditubuh terutama diwajah polos Jayen membuat Hiran teringat wajah melas Jayen yang meminta dirinya untuk mengantar ke kampus.

Andai waktu bisa terulang. Pasti Hiran akan mengantar Jayen, namun kalau kejadian itu tetap ada. Hiran ingin bertukar posisi saja dengan Jayen. Biar dia saja yang terluka parah serta koma dan Jayen akan sehat-sehat saja.

Tapi, namanya juga takdir. Tidak ada yang bisa merubahnya kecuali Yang Maha Kuasa.

"Maaf..."

Jika Jayen sudah bangun, dipastikan Hiran sudah mencium lantai karena tidak ada hentinya meminta maaf.

"Ayo bangun. Ntar gue ajak lo ke luar angkasa, ketemu alien," ucap Hiran diselingi kekehan yang lemah kemudian meringis kecil saat merasakan nyut-nyutan di dua lukanya.

Iya, dua. Satu di sudut bibir yang dikarenakan Nartha dan satu lagi di pelipisnya yang dikarenakan Jaival.

Hiran dan Nartha mendapat bogeman cinta dari Jaival setelah keduanya serta Chandra selesai menjelaskan kronologinya.

"Gue bakal lakuin apapun yang lo mau asal lo mau maafin gue."

Pemuda berkulit tan itu semakin mengeratkan genggamannya dan menaruh kepalanya di lengan Jayen. Ikut terlelap dan menjelajahi alam mimpi. Hiran tak peduli jika 1 jam lagi kelasnya akan dimulai.

Yang terpenting Jayen ada bersamanya.

bimantara.

"Loh, Ran? Nggak kuliah? Nggak ada kelas kah?"

Rasen baru saja tiba dan langsung kejutkan oleh Hiran yang sedang bermain ponsel. Dengan pakaian kerja yang masih rapi dan raut wajah yang lelah, pemuda itu menaruh tas kerjanya disofa yang ada didalam kamar  VIP tersebut.

Hiran menoleh tanpa niat,  "Gue izin. Gapapa 'kan?" jawabnya pelan, suaranya sedikit serak karena kurang tidur. Matanya sayu dan genggamannya pada tangan Jayen masih erat.

Rasen menghampirinya, menatap Jayen sebentar sebelum memfokuskan pada Hiran, "Gapapa. Tapi, gue mau lo besok kuliah. Nggak ada tapi-tapian."

Hiran hanya mengangguk lemah, "Gue nggak tega ninggalin Jayen sendirian... Gue mau pastiin kalau dia tahu kita semua ada disini buat dia."

Rasen menghela napas panjang, "Gue ngerti, Ran. Tapi lo juga harus inget kalau hidup lo nggak melulu tentang Jayen dan yang lain. Jayen pasti nggak bakal suka liat lo begini. Lo harus jaga diri lo juga."

Hiran ikut menghela nafas. Benar yang dikatakan Rasen. Tapi, Hiran benar-benar ingin berada disisi Jayen selalu. Ia tak ingin kejadian itu terulang kembali.

"Dia bakal maafin gue sama Nartha, 'kan?" kata Hiran lirih, matanya kembali terfokus pada Jayen. Luka di tubuh Jayen, masih terlihat jelas, terutama di wajahnya yang sangat pucat. Setiap melihat luka-luka itu, rasa bersalah Hiran semakin membesar.

Rasen menepuk pelan bahu Hiran, "Kita semua ngerasa bersalah, tapi jangan lupa kalau kita juga harus tetep kuat. Biar gue yang jaga sekarang, lo pulang dulu aja. Makan sama mandi biar pikiran lo fresh."

Hiran menatap Rasen sejenak, lalu menunduk dengan berat hati, "Tapi..."

"Kita semua ngerasain hal yang sama, Hiran," Rasen menatap Jayen, lalu Hiran. "Tapi kalau lo terus-terusan kayak gini, lo malah akan makin tenggelam. Jayen butuh abang Hiran yang kuat, bukan abang Hiran yang lemah."

Hiran diam sejenak lalu mengangguk dan berdiri dengan tubuh yang sedikit lunglai. "Oke, gue pulang sebentar. Kalau ada apa-apa, telepon aja."

"Iya, hati-hati," Rasen tersenyum tipis, berusaha memberikan sedikit ketenangan pada Hiran.

Dengan langkah yang berat, Hiran keluar dari kamar rumah sakit. Rasa bersalah masih melekat erat di hatinya, bayangan luka Jayen terus membekas dalam pikirannya.

Rasen menghela napas lagi begitu Hiran pergi. Ia menggeser kursi lebih dekat ke ranjang, lalu duduk dan menatap Jayen yang tak bergerak.

"Lo harus bangun, Jayen," gumam Rasen pelan, jemarinya menyentuh tangan Jayen dengan hati-hati. "Abang-abang lo ini nungguin. Jadi, jangan lama banget tidurnya, ya?"

Rasen menarik napas panjang dan menatap langit-langit ruangan, mencoba menenangkan pikirannya. Hatinya terasa berat melihat Jayen yang terbaring tak berdaya selama seminggu terakhir ini. Sementara dia juga berjuang dengan pekerjaannya, beban di pundaknya semakin bertambah dengan situasi di kos.

"Kita nggak kuat kalau lo terus begini."

Perlahan, Rasen mengeluarkan ponselnya dan membuka pesan dari grup chat kosan mereka yang sepi. Pesan-pesan yang dibaca mengingatkannya pada peristiwa kecelakaan itu-- kejadian yang tak seharusnya terjadi. Tapi semua sudah terlambat, dan rasa bersalah menghantui mereka semua, terutama Hiran dan Nartha.

Pikiran Rasen melayang kembali ke kejadian beberapa hari lalu. Di tengah kegelisahan Hiran dan Nartha, keduanya kembali saling menyalahkan. Andai salah satu dari mereka mau mengantar Jayen ke kampus, kejadian ini bisa saja tak terjadi. Tapi sekarang hanya penyesalan yang tersisa.

"Kita semua nyesel, Jayen," gumam Rasen pelan, seolah Jayen bisa mendengarnya. "Tapi gue janji, lo nggak bakal sendirian. Kita semua ada di sini buat lo."

Tiba-tiba, ponsel Rasen bergetar di tangannya. Ada panggilan masuk dari Maven. Dengan cepat, Rasen mengangkatnya.

"Lo udah sampe?" tanya Maven di ujung telepon.

"Baru aja."

"Oh... Gimana Jayen?"

Rasen menghela nafasnya kembali, "Masih tidur."  Matanya melirik Jayen. "Abang kapan nyusul?" lanjutnya.

"Masih ngerjain penyusunan strategi. Mungkin gue sampai agak malem," jawab Maven, terdengar agak lelah. "Lo santai aja, gue bakal nyusul secepatnya."

"Yaudah, jangan buru-buru. Gue jagain Jayen di sini," ucap Rasen, lalu menutup telepon setelah mendengar balasan Maven.

Seketika, kesunyian kembali menyelimuti ruangan. Rasen menatap Jayen, berharap ada tanda-tanda kemajuan. Tapi Jayen masih terbaring dalam diam, tenggelam dalam koma yang tak kunjung berakhir. Rasen hanya bisa berharap, sambil merasakan beban yang kian berat di hati.

"Denger gue, Jayen," bisik Rasen, "Bangun, ya, anak baik. Abang lo ini kangen..."

bimantara.
chapter 13; to be continued.

[i] bimantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang