✮
✮
✮Setelah insiden di perpustakaan, langit di atas kampus gelap dan penuh bintang. Vini dan Vino masih berada di taman, duduk di bangku kayu tua yang dikelilingi pepohonan. Angin dingin menyapu wajah mereka, namun tak ada satu pun dari mereka yang bicara. Hanya keheningan yang menutupi jarak di antara mereka.
Setelah beberapa saat, Vino mendesah panjang, suara napasnya terlepas seperti beban berat yang terlalu lama dia pikul. "Maaf soal tadi," katanya, memecah kesunyian dengan nada suara yang sedikit parau. "Keluarga gue... ribet."
Vini menoleh, menatap Vino yang masih menunduk. Dia ingin mengatakan sesuatu yang bisa membuat Vino merasa lebih baik, tapi dia tahu masalah ini lebih rumit dari yang bisa dijelaskan dengan kata-kata sederhana. "Gue nggak masalah, Vin. Lo nggak perlu minta maaf," balas Vini pelan. "Gue cuma khawatir sama lo."
Vino terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis-senyum yang lebih mirip senyum getir ketimbang ekspresi bahagia. "Khawatir? Gue nggak pantas buat dikhawatirin, Vin. Hidup gue terlalu berantakan."
Kata-kata Vino itu membuat hati Vini tergetar. Ada luka di balik setiap kalimat yang dia ucapkan, luka yang tak terlihat namun terasa begitu nyata. "Nggak ada manusia yang hidupnya sempurna, Vin," ujar Vini, suaranya lembut namun tegas. "Dan nggak ada orang yang pantas ngerasa sendirian di tengah masalahnya. Lo nggak harus jalanin ini semua sendirian."
Vino menatap Vini, mata cokelatnya yang biasa tampak kosong kini berkilat, seolah ada sesuatu yang menyala di dalam dirinya. "Gue udah biasa sendiri," katanya pelan. "Dari kecil, gue nggak pernah benar-benar bisa ngandelin siapa pun. Semua orang cuma lihat gue sebagai bayangan ayah gue. Lo tau, kan? Mereka nggak pernah lihat gue sebagai diri gue sendiri."
Vini merasa dadanya sesak mendengar pengakuan itu. Dia tak bisa membayangkan bagaimana rasanya tumbuh dalam tekanan seperti itu, selalu hidup di bawah ekspektasi orang lain, selalu merasa tidak cukup. "Tapi lo adalah lo, Vin. Lo bukan bayangan siapa pun. Dan lo berhak buat menentukan hidup lo sendiri."
Tatapan Vino melembut, seperti ada sedikit keraguan yang mulai pudar dari wajahnya. Namun, alih-alih menjawab, dia tiba-tiba berdiri. "Ikut gue," katanya singkat, tanpa penjelasan.
Vini menatap Vino dengan bingung. "Kemana?"
Vino tidak menjawab, hanya melangkah pergi dengan langkah-langkah cepat. Vini ragu sejenak, tapi akhirnya memutuskan untuk mengikutinya. Langkah-langkah mereka membawa mereka melewati jalan setapak di taman, menuju ke salah satu bangunan yang jarang dikunjungi di kampus-bangunan tua yang biasa digunakan untuk acara seni. Vino berjalan masuk dengan percaya diri, membuka pintu ruang studio besar di lantai atas.
Ruangan itu gelap dan sepi, hanya ada pantulan cahaya dari luar yang masuk lewat jendela besar. Di tengah ruangan, Vino menyalakan lampu kecil di meja kerjanya, memperlihatkan berbagai karya seni yang berserakan-kanvas-kanvas besar yang penuh dengan sketsa kasar, lukisan setengah jadi, serta berbagai karya yang tampak ditinggalkan begitu saja. Ini adalah sisi lain dari Vino yang belum pernah Vini lihat-sisi dirinya yang benar-benar jenius dan tenggelam dalam seni.
"Ini... tempat lo bikin semua karya?" tanya Vini, masih terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ruangan itu penuh dengan energi yang kuat, seolah semua rasa dan pikiran Vino tertuang dalam setiap goresan kuas.
Vino mengangguk pelan. "Gue sering ke sini kalau gue butuh ruang buat berpikir. Seni adalah satu-satunya hal yang bikin gue bisa bernapas, walaupun cuma sebentar."
Vini berjalan mendekati salah satu lukisan besar yang belum selesai. Goresan warna-warna gelap mendominasi kanvas itu, namun ada elemen yang menarik perhatiannya-sebuah garis merah yang berputar-putar di tengahnya, seolah menggambarkan pergulatan batin yang tak berujung. Vini menatap lukisan itu lama, merasa seolah dia bisa melihat potongan jiwa Vino di dalamnya.
"Kenapa lo tunjukkin ini ke gue?" tanya Vini akhirnya, matanya masih menatap kanvas.
Vino terdiam sebentar, lalu menjawab dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. "Karena lo orang pertama yang bener-bener peduli."
Vini tersentak. Jawaban itu sederhana, tapi memiliki bobot yang sangat besar. Tiba-tiba, ruang studio yang hening itu terasa penuh dengan makna yang mendalam. Vini menyadari bahwa keheningan di antara mereka bukan sekadar kebisuan; itu adalah kebersamaan yang lebih berarti daripada ribuan kata-kata.
"Terkadang gue merasa seni adalah satu-satunya hal yang gue punya," lanjut Vino dengan suara yang lebih dalam. "Tapi kadang-kadang gue juga merasa terjebak di dalamnya. Gue nggak tau kapan gue bisa benar-benar lepas dari bayangan ayah gue. Dari semuanya."
Vini menatap Vino, yang kini berdiri di hadapan salah satu karyanya, tampak begitu rapuh namun juga kuat dalam cara yang tak bisa dijelaskan. Vini merasa dorongan yang kuat untuk mendekatinya, untuk memberinya keyakinan bahwa dia tidak sendirian.
"Lo nggak harus lepas sendirian," Vini berkata dengan lembut. "Lo punya gue sekarang. Gue nggak tau bisa bantu banyak atau nggak, tapi setidaknya lo tau kalau ada orang yang peduli."
Vino menoleh, menatap Vini dengan mata yang penuh emosi-sebuah campuran dari rasa terima kasih, kelelahan, dan mungkin, harapan kecil yang baru saja muncul di hatinya. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi Vini bisa merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.
Malam itu, di bawah cahaya redup studio seni dan di tengah kanvas-kanvas yang belum selesai, Vini dan Vino berdiri bersama dalam keheningan yang penuh makna. Dunia di luar mungkin kacau, tapi di ruangan kecil itu, seolah waktu berhenti sejenak, memberi mereka kesempatan untuk menemukan satu sama lain.
Bagi Vini, ini bukan lagi tentang penasaran atau rasa ingin tahu. Ini tentang menemukan seseorang di saat yang paling rapuh, dan memberi dia alasan untuk percaya bahwa hidupnya lebih dari sekadar bayangan kelam.
Dan bagi Vino, untuk pertama kalinya, dia merasakan sedikit kelegaan. Mungkin, hanya mungkin, ada jalan keluar dari semua kerumitan ini-jalan yang tidak harus dia tempuh sendirian.
Bersambung...
---
gimana nii ceritanyaa, btw penasaran gak niih untuk kelanjutannya??
jangan lupa votee yaa
👇
KAMU SEDANG MEMBACA
The Love Sempiternal
Teen Fiction--- Kisah ini bukan tentang cinta pada pandangan pertama, melainkan cinta yang tumbuh perlahan, seperti embun pagi yang menetes di dedaunan, seiring waktu, mengukir garis-garis halus di kanvas kehidupan. Tasya, gadis yang selalu berpijak pada logika...