✮
✮
✮Hari-hari berlalu setelah malam itu di studio seni. Hubungan antara Vini dan Vino terasa lebih dekat, meski tidak ada pernyataan gamblang atau perubahan drastis yang terlihat dari luar. Keduanya masih sering bertemu di perpustakaan, tapi kini ada perasaan yang lebih dalam mengalir di antara mereka. Vini mulai memahami Vino dengan cara yang tak perlu diucapkan, seolah setiap keheningan mereka menyimpan percakapan yang tak terlihat.
Namun, di balik keheningan itu, hati Vini mulai terguncang oleh perasaan yang lebih kuat dari sebelumnya. Ada sesuatu tentang Vino yang tak bisa dia lepaskan—sebuah daya tarik yang semakin hari semakin besar. Bukan sekadar rasa penasaran lagi, tapi sebuah perasaan yang tumbuh, merayap diam-diam seperti akar pohon yang mencari jalannya ke dalam tanah.
Dan bagi Vino, meski masih sering tenggelam dalam dunia seninya yang penuh gejolak, ada kehangatan baru yang dia rasakan setiap kali bersama Vini. Kehadiran Vini menjadi sesuatu yang menenangkannya, seolah dia adalah jangkar yang menjaga Vino tetap berdiri di tengah badai emosinya.
---
Suatu sore, di kafe kecil yang terletak tidak jauh dari kampus, Vini duduk di depan Vino dengan secangkir kopi hangat di tangannya. Mereka memutuskan untuk bertemu di luar perpustakaan kali ini—sesuatu yang langka bagi mereka berdua.
“Kafe ini suasananya enak juga ya,” ujar Vini, mencoba mencairkan suasana yang hening. Musik lembut mengalun di latar belakang, dan hanya ada beberapa orang yang sibuk dengan laptop atau buku mereka di sudut-sudut kafe.
Vino mengangguk, tatapannya lurus ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan senja. “Iya. Tenang,” jawabnya singkat.
Vini tersenyum, tapi di balik senyumnya ada pertanyaan yang sudah lama mengganggu pikirannya. Sudah beberapa minggu sejak Vino mulai membuka diri, tapi setiap kali topik tentang keluarganya muncul, Vino selalu menutup kembali pintu hatinya, seolah masih ada banyak hal yang belum diungkapkan.
“Keluarga lo… masih sering nyariin lo, Vin?” Vini akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, meski dia tahu ini topik sensitif.
Vino tidak langsung menjawab. Matanya tetap menatap senja di luar jendela, seolah mencari jawaban dari warna langit yang perlahan berubah gelap. “Kadang-kadang,” gumamnya. “Tapi gue udah mulai jarang pulang. Gue nggak kuat lagi, Vin. Setiap kali gue pulang, gue merasa terjebak lagi di dalam lingkaran itu.”
Vini merasakan ketegangan di balik kata-kata Vino. Dia tahu Vino ingin lepas, tapi keluarganya seperti rantai yang terus menariknya kembali. “Apa mereka nggak bisa ngerti kalau lo butuh ruang buat jadi diri lo sendiri?”
Vino tersenyum pahit, menoleh ke arah Vini. “Mereka nggak pernah ngerti, dan mungkin nggak akan pernah ngerti. Bagi mereka, gue cuma alat untuk memenuhi ambisi mereka. Gue harus jadi sempurna, harus jadi yang terbaik. Gue nggak punya pilihan.”
Vini ingin membantah, ingin mengatakan bahwa setiap orang punya pilihan. Tapi dia tahu, realita tidak selalu seindah itu. Keluarga bisa menjadi tempat teraman atau penjara terburuk, dan Vino terjebak di antara keduanya.
Setelah beberapa saat keheningan, Vino akhirnya mengalihkan pandangannya dari jendela dan menatap Vini dengan tatapan yang lebih dalam, lebih personal dari biasanya. “Gue benci ngomong soal keluarga. Itu terlalu... rumit. Tapi lo, Vin... lo beda.”
Vini merasakan sesuatu bergetar di dalam dirinya. “Beda gimana maksud lo?”
Vino menatap Vini lebih lama dari yang biasanya dia lakukan, dan kali ini ada kejujuran yang kuat di balik matanya. “Gue nggak pernah merasa setenang ini sama siapa pun sebelumnya. Lo bikin gue ngerasa… lebih hidup. Mungkin itu alasan kenapa gue tunjukkin sisi diri gue yang biasanya gue sembunyiin.”
Vini tertegun. Ini adalah kali pertama Vino begitu terbuka secara emosional, dan kata-katanya langsung menghantam jantung Vini. Dia mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi sulit bagi Vini untuk menyusun kalimat saat hatinya berdebar begitu kencang.
“Gu-gue senang kalau bisa bikin lo ngerasa lebih baik,” jawab Vini pelan. “Gue cuma mau lo tau kalau lo nggak sendirian. Lo nggak harus ngelewatin semuanya sendirian.”
Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap. Seolah ada percakapan tanpa kata-kata yang terjadi di antara mereka—sebuah pemahaman yang lebih dalam dari sekadar ucapan biasa.
Namun, momen itu pecah saat telepon Vino tiba-tiba berdering keras, mengganggu keheningan yang mulai terasa hangat di antara mereka. Vino mengangkat teleponnya dengan wajah kaku, dan ketika dia melihat nama di layar, wajahnya berubah tegang.
“Ayah gue,” gumamnya pelan sebelum menjawab panggilan itu. “Ya, halo?”
Vini bisa mendengar suara berat dari seberang telepon, tapi dia tak bisa memahami apa yang dikatakan. Wajah Vino berubah semakin kaku dengan setiap kalimat yang keluar dari telepon. Sesekali, dia merespons dengan gumaman singkat, tapi tatapannya kini dipenuhi ketegangan.
Setelah beberapa menit, Vino menutup telepon dan meletakkannya di meja dengan kasar. Wajahnya tampak pucat, dan ada amarah yang tertahan di balik ekspresi dinginnya.
“Ada apa, Vin?” tanya Vini, khawatir.
Vino terdiam sejenak, lalu mendesah panjang. “Mereka mau gue balik ke rumah. Sekarang.”
“Apa yang terjadi?” Vini mencoba mencari tahu, tapi Vino hanya menggeleng, tampak terlalu marah untuk menjelaskan lebih lanjut.
“Masalah lama. Dan mereka nggak akan biarin gue hidup tenang sampai gue nurut,” ujar Vino dengan suara rendah, penuh frustrasi. “Gue udah muak dengan semua ini, Vini.”
Vini merasa hatinya mencelos. Dia ingin menenangkan Vino, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. “Lo nggak harus balik kalau lo nggak mau. Lo bisa—”
“Gue nggak punya pilihan, Vini!” Vino tiba-tiba membentak, suaranya tajam, memotong kalimat Vini dengan kasar. Mata Vino kini berkilat dengan kemarahan yang sudah lama dia pendam. “Gue selalu nggak punya pilihan!”
Vini terdiam, tersentak oleh reaksi Vino yang begitu tiba-tiba. Seketika, Vino menyadari bahwa dia telah berbicara terlalu keras, dan rasa bersalah terlukis di wajahnya. “Maaf…” ujarnya lirih, suaranya kini terdengar lebih lemah. “Gue nggak bermaksud…”
Vini menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Nggak apa-apa,” jawabnya pelan, meski hatinya sedikit terluka. “Gue ngerti lo lagi marah.”
Vino menghela napas panjang, lalu berdiri dari kursinya. “Gue harus pergi. Gue harus balik ke rumah, walaupun gue nggak mau. Lo jangan khawatir, oke?”
Vini hanya bisa mengangguk, merasa tak berdaya saat melihat punggung Vino yang perlahan menjauh dari kafe. Hatinya sakit melihat Vino harus kembali ke tempat yang menyiksanya, tapi dia juga tahu bahwa Vino harus menyelesaikan ini sendiri.
Saat Vino menghilang di balik pintu kafe, Vini masih duduk di tempatnya, merasa seolah ada sesuatu yang hilang. Perasaan kosong itu semakin besar, seiring dengan kekhawatirannya yang semakin dalam.
Dalam hati, Vini tahu—cinta ini semakin kuat, tapi bersamanya datang juga rasa takut yang semakin nyata. Takut bahwa Vino akan tersesat dalam kehidupannya yang kelam, tanpa pernah bisa menemukan jalan keluar.
Dan untuk pertama kalinya, Vini merasa takut kehilangan Vino.
Bersambung...
votee bestttt terimakasiii👇👇
KAMU SEDANG MEMBACA
The Love Sempiternal
Teen Fiction--- Kisah ini bukan tentang cinta pada pandangan pertama, melainkan cinta yang tumbuh perlahan, seperti embun pagi yang menetes di dedaunan, seiring waktu, mengukir garis-garis halus di kanvas kehidupan. Tasya, gadis yang selalu berpijak pada logika...