✮
✮
✮Sejak pertemuan di perpustakaan itu, Tasya tak bisa menghilangkan sosok Vino dari pikirannya. Bukan karena dia jatuh cinta pada pandangan pertama-tidak, Tasya tahu betul itu bukan jenis perasaan yang dia rasakan. Namun, ada sesuatu tentang Vino yang menarik, seolah-olah dia adalah teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan. Setiap kali dia mengingat tatapan kosong Vino, Tasya semakin penasaran.
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan rutinitas kampus terus berjalan. Suatu pagi, Tasya sedang menuju kelas desain grafis, salah satu mata kuliah yang diambilnya di luar program utama. Dia suka seni, meski tidak sehebat mahasiswa jurusan desain lainnya. Baginya, seni adalah pelarian dari logika yang kaku, ruang di mana dia bisa mengekspresikan dirinya tanpa batas.
Saat masuk ke dalam kelas, Tasya tak menyangka akan melihat Vino di sana, duduk di kursi paling belakang. Dia tampak tenggelam dalam dunia sketsanya, seperti saat mereka pertama kali bertemu di perpustakaan. Tasya ragu sejenak sebelum memutuskan untuk duduk di tempat yang tidak terlalu jauh dari Vino, berharap bisa mengamatinya tanpa terlihat aneh.
Kelas dimulai dengan pembahasan tentang seni visual dan elemen-elemen desain. Dosen yang bersemangat menjelaskan berbagai teori, tapi perhatian Tasya terus terbagi. Sesekali, dia mencuri pandang ke arah Vino yang tetap fokus pada bukunya. Ada rasa penasaran yang semakin besar. Apakah Vino pernah berbicara dengan orang lain? Kenapa dia selalu terlihat begitu tertutup?
Saat istirahat tiba, Tasya memutuskan untuk memberanikan diri. "Hei," sapanya pelan, berdiri di depan meja Vino.
Vino mendongak perlahan. Tatapan matanya masih sama-kosong, tenang, tetapi tajam. Sejenak dia hanya menatap Tasya tanpa ekspresi, lalu akhirnya mengangguk sedikit sebagai tanda bahwa dia mendengar.
"Lo anak baru, kan? Gue Tasya," lanjutnya, berusaha tersenyum meski sedikit gugup.
Vino kembali menatap sketsanya sebelum menjawab dengan suara rendah, "Vino."
Hening melingkupi mereka selama beberapa detik. Tasya merasakan rasa canggung yang aneh, namun dia tak ingin menyerah begitu saja. "Lo suka gambar, ya? Dari tadi gue liat lo nggak berhenti sketsa."
Vino mengangguk singkat lagi, tapi tidak menambah penjelasan apa pun. Dia tampak seperti seseorang yang enggan membuka diri, seolah takut ada yang masuk terlalu dalam ke kehidupannya.
"Apa lo ngambil kelas ini karena tertarik sama desain?" Tasya bertanya lagi, mencoba membuat percakapan mereka berjalan. Mungkin, jika dia bisa menemukan topik yang tepat, Vino akan terbuka.
Namun, yang didapatkannya hanyalah anggukan singkat dan gumaman. "Iya."
Percakapan itu terhenti begitu saja, dan Tasya memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh. Dia kembali ke kursinya dengan perasaan campur aduk-antara kecewa dan semakin penasaran. Kenapa Vino begitu sulit diajak bicara? Apa ada sesuatu yang menghalanginya untuk terbuka?
---
Hari-hari berikutnya berjalan tanpa banyak kejadian berarti. Tasya terus memperhatikan Vino dari kejauhan, berharap bisa menemukan celah untuk mengenalnya lebih dalam. Namun, seperti yang sudah diduganya, Vino tetaplah misteri-seseorang yang lebih suka menyendiri, terisolasi dari dunia luar, tenggelam dalam kertas dan pensilnya.
Suatu sore, Tasya kembali ke perpustakaan untuk menyelesaikan tugas. Dia memilih tempat yang sama seperti biasanya, di dekat jendela. Namun, tak lama setelah dia duduk, Vino tiba-tiba muncul lagi. Tanpa berkata apa-apa, Vino duduk di meja yang sama, persis seperti sebelumnya. Tasya hanya bisa menatapnya dalam diam, bingung dengan kehadiran Vino yang tiba-tiba.
Mereka tak banyak bicara, tapi kehadiran Vino di dekatnya mulai terasa seperti sesuatu yang... alami. Meski tak ada percakapan panjang, Tasya merasa ada sesuatu yang berbeda dalam kebersamaan mereka yang sunyi itu. Ada ketenangan yang aneh, seolah Vino dan Tasya sama-sama nyaman dalam kebisuan.
Namun, kebisuan itu pecah ketika Vino tiba-tiba berkata pelan, "Gue nggak suka keramaian."
Tasya menoleh, sedikit terkejut. Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah Vino ucapkan padanya. "Kenapa?" tanya Tasya hati-hati.
Vino terdiam, menatap keluar jendela sejenak sebelum menjawab, "Keramaian selalu bikin gue nggak nyaman. Terlalu banyak suara, terlalu banyak orang."
Tasya mengangguk, mencoba memahami. "Gue ngerti. Kadang gue juga lebih suka sendiri."
Untuk pertama kalinya, Vino menoleh dan menatap Tasya, seolah ada sesuatu dalam kata-kata itu yang menarik perhatiannya. Tatapannya tidak lagi sekosong sebelumnya, meski masih sulit ditebak. "Lo juga suka sendiri?"
Tasya mengangguk. "Iya, kadang gue butuh waktu buat sendiri. Tapi gue juga butuh temen buat ngomong. Kalau sendirian terus, bisa gila juga, kan?"
Vino tidak langsung menjawab, tapi matanya menatap jauh, seolah merenungkan sesuatu. "Mungkin...," gumamnya pelan.
Tasya merasakan ada sedikit kemajuan. Meski percakapan mereka singkat, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Vino mulai membuka sedikit celah dari dinding yang mengelilinginya, dan Tasya yakin, di balik misteri itu, ada cerita yang lebih dalam.
---
Hari-hari berikutnya, mereka berdua sering bertemu di perpustakaan. Tanpa banyak kata, tanpa janji yang diucapkan, tapi mereka selalu duduk di meja yang sama. Ada kedamaian dalam kebersamaan mereka, meski sunyi. Tasya mulai merasa nyaman berada di dekat Vino, dan perlahan-lahan, dia mulai melihat sisi lain dari Vino-sisi yang lebih lembut, meski masih tertutup rapat.
Namun, di balik kedamaian itu, Tasya tahu, ada sesuatu yang tersembunyi dalam diri Vino. Sesuatu yang belum dia ungkapkan. Dan Tasya bertekad, dia akan menemukan apa yang disembunyikan Vino. Sebab, di balik segala misteri itu, Tasya mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa penasaran.
Bersambung...
gimana nieehhh bestiee ceritanyaa??kalo mau kritik bolehh ya
jangan lupa voteee yaaa
감사합니다
KAMU SEDANG MEMBACA
The Love Sempiternal
Teen Fiction--- Kisah ini bukan tentang cinta pada pandangan pertama, melainkan cinta yang tumbuh perlahan, seperti embun pagi yang menetes di dedaunan, seiring waktu, mengukir garis-garis halus di kanvas kehidupan. Tasya, gadis yang selalu berpijak pada logika...